Oleh: Maman Lukmanul Hakim, M.Ag.
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik.Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. an-Nahl: 125).
Maraknya
kekerasan yang timbul di masyarakat akhir-akhir ini disinyalir bernuansa SARA, baik agama, suku maupun ras. Hal ini
terjadi mengingat setiap kelompok/ golongan memiliki doktrin dan anggapan
sebagai kelompok yang paling unggul dan benar. Anggapan
inilah yang mendorong komunitas menjadi lebih permisif dan mudah tersinggung,
sehingga melahirkan gesekan dan konflik sosial. Suku, ras dan agama sebagai
identitas tak terpisahkan dari proses interaksi sosial. SARA menjadi media
identifikasi diri di tengah-tengah pluralitas dan heterogenitas. Identitas
tersebut kemudian terinternalisasi dalam diri yang merefleksi dalam sikap dan
prilaku kehidupan sehari-hari.
Dalam
terminologi filsafat, identitas diri dan orang lain sering didefinisikan dalam
eksistensi biner. Eksistensi
biner mengandaikan adanya “aku” dan “kamu” dalam posisi yang saling berhadapan
(oposisi biner). Oposisi biner sebagai cara pandang terhadap orang lain ini, membawa
konsekuensi sosial;
bagaimana subjek mendefinisikan dirinya dan memandang serta memberlakukan “yang
lain” (the other). Prinsip
keyakinan, pandangan hidup, agama dan suku yang menjadi identitas diri
melahirkan sikap yang merasa
diri paling benar dan sebaliknya memandang rendah (salah)
orang lain bahkan meniadakan eksistensinya. Oleh kerena itu dalam era multikultural
ini mengakui adanya perbedaan saja tidaklah cukup, akan tetapi lebih dari itu yakni mengakui dan memberi ruang bagi
eksistensi yang lain. Koeksistensi
yang dibangun di atas trusth dan kebersamaan seharusnya menjadi pijakan
dalam membangun kehidupan
di era multikultural ini..
Pluralisme dan multikulturaisme sebagai babak baru
peradaban manusia didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi
membuka ruang, sekat dan batas budaya menjadi satu, sehingga kini manusia hidup
di ruang penuh keragaman. Pelbagai budaya, suku, ras, agama dan
ideologi-ideologi asing kini hidup di tengah-tengah kita, perlahan tapi pasti
mengaburkan identitas diri. Fenomena ini tentu menuntut individu untuk bersikap
arif, bijak dan hati-hati terhadap eksistensi yang lain (the other).
Sikap dan perilaku ini tidaklah mudah, mengingat
sebuah masyarakat tentu memiliki tata nilai, norma dan standar kebenaran yang
selama ini dipegang. Moral dan tata nilai ini bersumber dari budaya, ras/ suku bahkan agama. Tata nilai ini sering dijadikan
standar dalam menilai pihak lain (the other), sehingga yang lain di luar komunitasnya berada dalam posisi yang salah. Wal hasil,
cara pandang seperti ini menimbulkan ketegangan
dan perselisihan. Lebih jauh lagi melahirkan konflik yang melibatkan
banyak masa (social conflict). Pada era multikultur seperti ini, agama (termasuk Islam) menghadapi beberapa persoalan
atau masalah baru.