Sabtu, 24 November 2012

PANDANGAN TEOLOGI MU’TAZILAH




A.    PENDAHULUAN
Dalam percaturan Ilmu kalam/ Teologi Islam dikenal pelbagai aliran atau faham dalam teologi. Aliran dalam Ilmu kalam ini lahir setelah terjadinya pertempuran antara Ali dan Muawiyah. Setelah terjadinya tahkim (perjanjian damai antara kedua belah pihak yang diawali oleh pihak Muawiyah) yang kemudian memberikan kekuasasaan pada pihak Muawiyah, ada sekelompok orang dari golongan Ali yang tidak sepakat dengan hasil tahkim tersebut. Kemudian mereka ke luar dari pengikutnya Ali dan menganggap bahwa Ali dan pengikutnya serta kelompok Muawiyah dan siapa saja yang terlibat dalam tahkim berdosa besar dan hukumnya kafir. Kelompok ini dalam teologi/ Kalam disebut dengan Khawarij.
Bermula dari khawarij ini kemudian berkembang lagi aliran yang mencoba untuk menetlalisir pandangan Khawarij dengan mencoba menyerahkan segala urusan termasuk Tahkim kepada Allah SWT. Mereka ini disebut golongan Murji’ah. Dari dua kelompok ini bekembang lagi beberapa aliran diantarnya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Ironisnya, persoalan-persoalan aqidah/ teologi dalam Islam, itu lahir dari persoalan-persoalan politik. Peristiwa Tahkim yang itu murni persoalan politik, bisa berkembang jauh menjadi persoalan aqidah/ teologis. Inilah realitas historis yang harus kita sikapi secara kritis. 

Pada tulisan kali ini, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa pandangan teologis dari kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan aliran teologis yang cukup besar dan memiliki pengaruh yang luar biasa di zamannya. Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasanya, aliran ini banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.”
Berikut ini akan dipaparkan sejarah dan beberapa pandangan yang menjadi ikon dari aliran Mu’tazlah yang mengedepankan rasionalitas.

B.     SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN MU’TAZILAH
Secara bahasa, Mu’tazilah berasal dari kata “I’tazal”, yang artinya ‘memisahkan diri’. Jadi kaum Mu’tazilah adalah kaum yang menyisihkan atau memisahkan diri.[1]
Analisa yang dimajukan oleh mutakalimin tentang pemberian nama Mu’tazilah ini cukup beragam, sehingga lahir beberapa persi/ pendapat. Kronologis lahirnya Mu’tazilah yang biasa dicatat dalam buku-buku ‘Ilm al-kalam berpusat pada peristiwa dialog yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil bin ‘Ata’ selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya  Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui, golongan Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir.” Kemudian berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta tema-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[2]
Ada pendapat lain yang dikemukakan Ahmad Amin bahwa munculnya nama Mu’tazilah sebenarnya terjadi sebelum adanya peristiwa Washil bin ‘Ata’ dan Hasan Basri dan tentu sebelum adanya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Penamaan Mu’tazilah ini karena adanya sekelompok orang yang bersifat netral dalam persoalan-persoalan politik yang terjadi pada masa Utsman Bin Affan dan Ali bin Abi Tholib.[3]
Aliran Mu’tazilah ini lahir kurang lebih pada tahun 120 Hijriyah pada abad permulaan ke dua Hijrah di kota Basyrah.[4] Pada abad ke-3, ke-4 dan ke-5 Hijriyah, tepatnya pada masa ke-khalifahan Ma’mun bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tasim bin Harun Ar-Rasyid dan Al-Watsik bin Al-Mu’tasim, paham ini berkembang dengan pesat. Kelompok ini sesungguhnya enggan dikatakan Mu’tazilah, tetapi mereka menamakan dirinya “Ahli keadilan dan ke-Esaan atau ketauhidan (ahlu adl wa tauhid).[5]
Golongan Mu’Tazilah  ini secara nyata sebagai aliran teologi hari ini sudah tidak nampak lagi, akan tetapi secara substansi aliran ini terus berkembang hingga pelosok dunia Islam, termasuk di Indonesia ini. Faham yang cenderung rasional ini, kini dianut oleh banyak umat Islam, terutama oleh golongan Islam modern, moderat dan Islam Liberal.   

C.    POKOK-POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH
Untuk melihat rasionalitas pandangan teologi Mu’tazilah dapat dilihat dari ajaran-ajaran pokok yang berasal darinya. Harun Nasution menamakan ajaran itu dengan nama “Pancasilanya Mu’tazilah”, karena memang memiliki 5 pokok pikiran teologi. Setiap orang yang memeluk aliran Mu’tazilah diharuskan untuk memegang kepada lima ajaran, bahkan seluruh Firqah-firqah Mu’tazilah yang sudah pecah kepada 22 golongan (menurut Al-Bagdadi) yang mana tetap berpegang dan bergabung kepada lima pokok ajaran, yaitu:

a.      Tauhid (Ke-Esaan)
Tauhid di sini maksudnya meng-Esa-kan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang hal itu menjadi pegangan bagi aqidah Islam.
Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid karena mereka berusaha semaksmal mungkin mempertahankan prinsip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa dihindari juga serangan dari agama dualism dan Trinitas.[6]
            Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah:
-          Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat itu qadim berarti Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal adalah Maha Esa.
-          Mereka “Menafikan” meniadakan  sifat-sifat Allah, sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu macam-macam pasti Allah itu berbilang.
-          Allah bersifat ‘alimin, Qadiran, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demkian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
-          Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
-          Merereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
-          Tuhan itu Esa bukan bende bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.

b.      Al-Adlu (keadilan)
Manusia adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya, kalau perbuatan itu baik diberi Tuhan kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah jelas akan diberi Tuhan siksaan, inilah yang mereka maksudkan keadilan. Lebih jauhnya tentang keadilan ini, mereka berpendapat :
-          Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
-          Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yhang dijadikan Tuhan pada diri manusia.
-          Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
-          Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.
-          Kaum Mu’tazilahtidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
-          Manusia daoat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.

c.       Wa’d wal Wa’id ( janji dan Ancaman)
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan, sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuahan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya ialah:
-     Orang Mu’min yang berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
-     Di akhirat tidak aka nada Syafaat sebab syafaat berlawanan dengan Al-Wa’du wal wa’id (janji dan ancaman).
-     Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.

d.     Al-Manzilah Bainal Manzilataini (tempat di antara dua)
Sebagai diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat di antara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang baik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, maka mereka dinamai Fasik dan nanti akan ditempatkan di suatu tempat yang berada di antara surge dan neraka.
Orang-orang fasik ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk ke surga yang penuh kenikmatan.

e.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan)
Prinsip ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan lahir dan dengan prinsip ini pula membuat heboh dunia Islam selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta diluruskan”, kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang kepada Al-Hadits yang berbunyi:


Artinya:
Siapa di antaramu yang melihat kemungkinan maka rubahlah dengan tanganmu.”

Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum Mu’tazilah telah pernah membunuh ulama-ulama Islam di antaranya Ulama Islam yang terkenal Syekh Buwaithi seorang ulama penganti Imam Syafi’i dalam suatu “peristiwa Qur’an Makhluk.”

Pandangan rasional kaum Mu’tazilah lainnya dapat dilihat dari uraian mengenai kedudukan antara akal dan wahyu. Dalam kajian ini, ada empat hal yang dipertanyakan dalam aliran-aliran dalam ilmu kalam, yaitu; (1) tentang mengetahui Tuhan, (2)  mengetahui Tuhan, (3) mengetahui baik dan buruk, (4) dan mengetahui kewajiban menerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Keempat masalah ini menurut Mu’tazilah dapat diketahui dengan Akal.[7]
Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan dan sebagai konsekwensinya manusia wajib bertuhan sebelum datangnya wahyu. Dalam hal ini Mu’tazilah menghendaki bahwa seluruh manusia harus bertuhan, dan tidak ada alasan untuk tidak bertuhan, kerena akal bisa mengetahui adanya Tuhan. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan pada antropolog.
Namun demikian selakipun akal mampu mengetahui adanya Tuhan, dia tidak bisa menunjukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga Tuhan yang digambarkan akal bisa berubah-ubah. Untuk itu, perlu kiranya bantuan wahyu untuk menunjukan Tuhan yang sesunggungya.[8] Dengan demikian wahyu teteap berfungsi, selain untuk member informasi, juga sebagai konfirmasi atau penegasan terhadap temuan akal.
Demikian pula terhadap pengetahuan mengenai baik dan buruk. Akal memang dapat mengetahui sebagian yang baik dan yang jahat, sekalipun tanpa informasi dari wahyu. Misalnya mencuri adalah perbuatan jahat, karena ia bisa merugikan orang lain. Begitu pula berbakti pada orang tua adalah perbuatan baik, karena meraka memiliki jasa yang besar pada kita.
 Namun demikian masih banyak pula perbuatan baik da buruk yang tidak bisa diketahui oleh akal, melainkan harus mendapat informasi dari wahyu. Terhadap hal-hal yang tidak bisa diketahu oleh akalkaum  Mu’tazilah bepegang teguh pada informasi yang disampaikan wahyu. Dan dalam hal ini, Tuhan wajib mengirmpak wahnyunya.
Pendapat lain yang juga penting bahwa Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan menurunkan wahyu untuk membantu manusia dalam mengatasi ketidaktahuannya. .[9] Jika hal ini tidak dilakukan oleh Tuhan, maka Tuhan tidak berbuat baik kepada umatnya, sedangkan dalam faham Mu’tazilah, Tuhan harus berbuat baik pada manusia (al-Shalah wa al-ashlan)
Dari uraian di atas, jelas sekali bertapa dominannya peran akal dalam membangun keyakian teologinya.


D.    KRITIK TERHADAP MU’TAZILAH
Paham yang cenderung rasional ini ternyata menui kritik, terutama dari kalangan Asy‘ariyah. Gojongan Asy’ariyah ini merupakan lawan dari golongan Mu’tazilah. Bahkan pendirinya sendiri Hasan Al-Asy’ari merupakan tokoh Mu’tazilah yang ke luar karena ketidak puasannya terhadap Mu’tazilah.
Sebab-sebab kenapa Al-Asy’ari ke luar dari Mu’tazilah ini di sebutkan oleh Al-Subki dan Ibn ‘Asakir, ialah bahwa, suatu ketka Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan beliu mengatakan bahwa mazhab ahl haditslah yang benar dan Mu’tazilah salah. Dari mimpi itu kemudian beliau merenung  dan kemudan berdebat dengan gurunya Washil bin Al-Juba’i.
Berikut ini kutipan dialog antara Al juba’i dengan Al-Asy’ari:
Al-Asy’ari        : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
Al-juba’i           : Yang mukminmendapat tingkatan yang baik di surge, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari neraka.
Al-Asy’ari        : Kalau yang kecil ingin mendapat tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah iru?
Al-Juba’i          : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang tinggi di surga itu karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum memiliki kepatuhanyang serupa itu.
Al-Asy’ari        : Kalau anak itu mengatakankepada Tuhan: “Itu bukan salahku. Kiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-peruatan baik seperti  yang dilakukan orang mukmin”.
Al-Juba’i          : Allah Akan menjawab; “ Aku tahu bahwa juka engkau terus hdup, engkau akan berbuat dosa. Dan oleh karena itu, kamu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tenggung jawab”.
Al-Asy’ari        : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku, sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Mengapa Engkau tidak juga mencabut nyawaku demi kepentingan ku.
Dari sini terpaksa al-Juba’i  diam.[10]
Dari sini maka Al-Asy’ari kemudian ke luar, melepaskan seluruh pendirian yang pernah ia pegang semasa Mu’tazilah. dan kemudian dia membuat kitab “al-Ibanah” yang isinya bayak membantah faham yang dipegang Mu’tazilah. diantara kritik yang disampaikannya adalah:
1.      Bahwa kaum Mu’tazilah telah melakukan taklid terhadap para pendahulunya. Mereka menta’wil al-Quran berdasarkan tafsir para pendahulunya, padahal sama sekali Allah tidak memberikan otoritas pada mereka.
2.      Mereka menentang riwayat sahabat dan dari nabi mengenai melihat Allah di akhirat. Padahal ada hadits dari sanad yang berlainan (mutawatir0 yang mengatakan demikian.
3.      Menentang siksa kubur dan orang kafir yang dsiksa di dalam kubur. Padahal persoalan ini telah disepakati oleh para sahabat dan tabi’in.
4.      Pendapat bahwa al-Qur’an itu adalah mahluk. Pendapat ini dekat sekali dengan pendapat orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah tidak lain hanyalah perkataan manusia”.
5.      Dan ketetapan bahwa hambalah yangenciptakan kejahatannya. Dan Allah tidak mencptakan kejahatan. Ini dekat sekali dengan faham orang Majusi yang menetapkan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencpta keburukan.
6.      Kritik juga terjadi pada paham bahwa manusia memiliki kekuasaan untuk melakukan segala sesuatu.[11]
Serta banyak lagi kritik yang diontarkan al-Asy’ari berkaitan dengan paham yang selama ini dipegang oleh Mu’tazilah. Al-Asy’ari kemudian mencoba untuk menyandarkan seluruh pendapat dan keyakinannya pada Kitab Allah, Sunnah nabi, serta apa saja yang diriwayatkan oleh pada sahabat, tabi’in dan para ahli hadits. Dan dia berpegang pada semua pendapat yang dipedomani oleh Imam Ahmad ibn Hambal serta menjauhi orang-orang yang menentangnya.[12] Dengan demikian jelas bahwa al-Asy’ari datang untuk menghidupkan kembali metode berpikir Imam Ahmad.

E.     KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang mengedepankan aspek rasionalitas manusia. Sehingga disebut juga dengan aliran rasional dalam teolog Islam. Karena dia berpegang teguh pada rasio manusia, maka wahyu dimata Mu’tazilah merupakan alat konfirmasi dan informasi untuk akal dalam melakukan pengabdiannya kepada Tuhan.
Selain itu, Mu’tazilah juga memiliki 5 pegangan yang menjadi pondasi teologisnya yakni: Tauhid, Keadilan Tuhan (al- ‘Adl), janji dan ancaman (al-Wa’ad wa al-Wa’id), Manjilah Baina Manjilatain dan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar. Kelima unsur ini menjadi pegangan bagi seluruh pengikut Mu’tazilah.


DAFTAR PUSTAKA.

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1995, Rajawali Pers, Jakarta.
Ahmad Amir, Fajar Islam Kairo, 1965, Al-Nahdah.
Harun Nasetion, Teologi Islam, 2002, UI Press, Jakarta
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, 1996, LOGOS, Jakarta.
Zaenuddin, Ilmu tauhid Lengkap, 1996, Rineka Cipta, Jakarta,


[1]  Zaenuddin, Ilmu tauhid Lengkap, 1996, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 50.
[2]  Harun Nasetion, Teologi Islam, 2002, UI Press, Jakarta, hlm. 40.
[3]  Ahmad Amir, Fajar Islam Kairo, 1965, Al-Nahdah, hlm. 290
[4]  Zaenuddin, Op.Cit., hlm. 51.
[5]  Ibid.
[6]  Ibid. hlm. 54
[7]  Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1995, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 63
[8]  Ibid.
[9]  Ibid.
[10] Lihat Harun Nasution, Op. Cit., hlm . 67, yang dikutif dari teks “Fii Ilm al-Kalam”, hlm 182
[11]  Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, 1996, LOGOS, Jakarta, hlm. 190-191
[12] Ibid., hlm. 194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar