A. PENDAHULUAN
Dalam
percaturan Ilmu kalam/ Teologi Islam dikenal pelbagai aliran atau faham dalam
teologi. Aliran dalam Ilmu kalam ini lahir setelah terjadinya pertempuran
antara Ali dan Muawiyah. Setelah terjadinya tahkim (perjanjian damai antara
kedua belah pihak yang diawali oleh pihak Muawiyah) yang kemudian memberikan
kekuasasaan pada pihak Muawiyah, ada sekelompok orang dari golongan Ali yang
tidak sepakat dengan hasil tahkim tersebut. Kemudian mereka ke luar dari
pengikutnya Ali dan menganggap bahwa Ali dan pengikutnya serta kelompok
Muawiyah dan siapa saja yang terlibat dalam tahkim berdosa besar dan hukumnya
kafir. Kelompok ini dalam teologi/ Kalam disebut dengan Khawarij.
Bermula dari khawarij ini kemudian
berkembang lagi aliran yang mencoba untuk menetlalisir pandangan Khawarij
dengan mencoba menyerahkan segala urusan termasuk Tahkim kepada Allah SWT. Mereka
ini disebut golongan Murji’ah. Dari dua kelompok ini bekembang lagi beberapa
aliran diantarnya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Ironisnya,
persoalan-persoalan aqidah/ teologi dalam Islam, itu lahir dari
persoalan-persoalan politik. Peristiwa Tahkim yang itu murni persoalan politik,
bisa berkembang jauh menjadi persoalan aqidah/ teologis. Inilah realitas
historis yang harus kita sikapi secara kritis.
Pada
tulisan kali ini, penulis mencoba untuk memaparkan beberapa pandangan teologis
dari kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah merupakan aliran teologis yang cukup besar dan
memiliki pengaruh yang luar biasa di zamannya. Kaum Mu’tazilah adalah golongan
yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah.
Dalam pembahasanya, aliran ini banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat
nama “kaum rasionalis Islam.”
Berikut
ini akan dipaparkan sejarah dan beberapa pandangan yang menjadi ikon dari
aliran Mu’tazlah yang mengedepankan rasionalitas.
B. SEJARAH LAHIRNYA
ALIRAN MU’TAZILAH
Secara
bahasa, Mu’tazilah berasal dari kata “I’tazal”, yang artinya ‘memisahkan diri’.
Jadi kaum Mu’tazilah adalah kaum yang menyisihkan atau memisahkan diri.[1]
Analisa
yang dimajukan oleh mutakalimin tentang pemberian nama Mu’tazilah ini cukup
beragam, sehingga lahir beberapa persi/ pendapat. Kronologis lahirnya
Mu’tazilah yang biasa dicatat dalam buku-buku ‘Ilm al-kalam berpusat pada
peristiwa dialog yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn
‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil bin ‘Ata’ selalu mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Pada suatu
hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa
besar. Sebagaimana diketahui, golongan Khawarij memandang mereka kafir, sedangkan
kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir,
Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir.” Kemudian
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di mesjid
di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri
mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).” Dengan demikian ia serta tema-temannya, kata
al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[2]
Ada
pendapat lain yang dikemukakan Ahmad Amin bahwa munculnya nama Mu’tazilah
sebenarnya terjadi sebelum adanya peristiwa Washil bin ‘Ata’ dan Hasan Basri
dan tentu sebelum adanya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Penamaan
Mu’tazilah ini karena adanya sekelompok orang yang bersifat netral dalam
persoalan-persoalan politik yang terjadi pada masa Utsman Bin Affan dan Ali bin
Abi Tholib.[3]
Aliran
Mu’tazilah ini lahir kurang lebih pada tahun 120 Hijriyah pada abad permulaan
ke dua Hijrah di kota Basyrah.[4]
Pada abad ke-3, ke-4 dan ke-5 Hijriyah, tepatnya pada masa ke-khalifahan Ma’mun
bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tasim bin Harun Ar-Rasyid dan Al-Watsik bin
Al-Mu’tasim, paham ini berkembang dengan pesat. Kelompok ini sesungguhnya
enggan dikatakan Mu’tazilah, tetapi mereka menamakan dirinya “Ahli keadilan dan ke-Esaan atau ketauhidan (ahlu adl wa tauhid).[5]
Golongan
Mu’Tazilah ini secara nyata sebagai
aliran teologi hari ini sudah tidak nampak lagi, akan tetapi secara substansi
aliran ini terus berkembang hingga pelosok dunia Islam, termasuk di Indonesia
ini. Faham yang cenderung rasional ini, kini dianut oleh banyak umat Islam, terutama oleh golongan Islam modern,
moderat dan Islam Liberal.
C. POKOK-POKOK PIKIRAN
MU’TAZILAH
Untuk
melihat rasionalitas pandangan teologi Mu’tazilah dapat dilihat dari
ajaran-ajaran pokok yang berasal darinya. Harun Nasution menamakan ajaran itu
dengan nama “Pancasilanya
Mu’tazilah”, karena memang memiliki 5 pokok pikiran teologi. Setiap orang yang
memeluk aliran Mu’tazilah diharuskan untuk memegang kepada lima ajaran, bahkan
seluruh Firqah-firqah Mu’tazilah yang sudah pecah kepada 22 golongan (menurut
Al-Bagdadi) yang mana tetap berpegang dan bergabung kepada lima pokok ajaran,
yaitu:
a.
Tauhid
(Ke-Esaan)
Tauhid
di sini maksudnya meng-Esa-kan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang hal
itu menjadi pegangan bagi aqidah Islam.
Orang-orang
Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid karena mereka berusaha semaksmal mungkin
mempertahankan prinsip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang
menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa dihindari juga serangan dari
agama dualism dan Trinitas.[6]
Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah
adalah:
-
Sifat-sifat Tuhan
tidak bersifat Qadim, kalau sifat itu qadim berarti Allah itu berbilang-bilang,
sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal adalah Maha
Esa.
-
Mereka “Menafikan”
meniadakan sifat-sifat Allah, sebab bila
Allah bersifat dan sifatnya itu macam-macam pasti Allah itu berbilang.
-
Allah bersifat
‘alimin, Qadiran, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya
demkian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
-
Allah tidak dapat
diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
-
Merereka menolak
aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme, dan Trinitas.
-
Tuhan itu Esa bukan
bende bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
b.
Al-Adlu
(keadilan)
Manusia
adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia harus
mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya, kalau perbuatan itu baik
diberi Tuhan kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah jelas akan
diberi Tuhan siksaan, inilah yang mereka maksudkan keadilan. Lebih jauhnya tentang
keadilan ini, mereka berpendapat :
-
Tuhan menguasai
kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.
-
Manusia bebas
berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yhang dijadikan Tuhan pada
diri manusia.
-
Makhluk diciptakan
Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.
-
Tuhan tidak
melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang
disuruh-Nya.
-
Kaum
Mu’tazilahtidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi
Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.
-
Manusia daoat
dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.
c.
Wa’d
wal Wa’id ( janji dan Ancaman)
Prinsip
janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan
keadilan Tuhan, sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuahan atas segala
perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak
terlalu menjalankan kehidupannya.
Ajarannya
ialah:
-
Orang Mu’min yang
berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
-
Di akhirat tidak
aka nada Syafaat sebab syafaat berlawanan dengan Al-Wa’du wal wa’id (janji dan ancaman).
-
Tuhan pasti akan
membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa
terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
d.
Al-Manzilah
Bainal Manzilataini (tempat di antara dua)
Sebagai
diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat di antara dua tempat yang
dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang baik, yaitu
orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak Musyrik, maka
mereka dinamai Fasik dan nanti akan ditempatkan di suatu tempat yang berada di
antara surge dan neraka.
Orang-orang
fasik ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk
ke surga yang penuh kenikmatan.
e.
Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan)
Prinsip ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan
dengan amalan lahir dan dengan prinsip ini pula membuat heboh dunia Islam
selama 300 tahun, pada abad permulaan Islam, sebab menurut mereka: “Orang yang
menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenarkan serta
diluruskan”, kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat
untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.
Dalam melaksanakan
Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang kepada Al-Hadits yang berbunyi:
Artinya:
“Siapa
di antaramu yang melihat kemungkinan maka rubahlah dengan tanganmu.”
Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa
kaum Mu’tazilah telah pernah membunuh ulama-ulama Islam di antaranya Ulama
Islam yang terkenal Syekh Buwaithi seorang ulama penganti Imam Syafi’i dalam
suatu “peristiwa Qur’an Makhluk.”
Pandangan
rasional kaum Mu’tazilah lainnya dapat dilihat dari uraian mengenai kedudukan
antara akal dan wahyu. Dalam kajian ini, ada empat hal yang dipertanyakan dalam
aliran-aliran dalam ilmu kalam, yaitu; (1) tentang mengetahui Tuhan, (2) mengetahui Tuhan, (3) mengetahui baik dan
buruk, (4) dan mengetahui kewajiban menerjakan yang baik dan menjauhi yang
jahat. Keempat masalah ini menurut Mu’tazilah dapat diketahui dengan Akal.[7]
Mu’tazilah
berpendapat bahwa manusia dengan akalnya dapat mengetahui Tuhan dan sebagai
konsekwensinya manusia wajib bertuhan sebelum datangnya wahyu. Dalam hal ini
Mu’tazilah menghendaki bahwa seluruh manusia harus bertuhan, dan tidak ada alasan
untuk tidak bertuhan, kerena akal bisa mengetahui adanya Tuhan. Hal ini
sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan pada antropolog.
Namun
demikian selakipun akal mampu mengetahui adanya Tuhan, dia tidak bisa
menunjukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga Tuhan yang digambarkan akal
bisa berubah-ubah. Untuk itu, perlu kiranya bantuan wahyu untuk menunjukan
Tuhan yang sesunggungya.[8]
Dengan demikian wahyu teteap berfungsi, selain untuk member informasi, juga
sebagai konfirmasi atau penegasan terhadap temuan akal.
Demikian
pula terhadap pengetahuan mengenai baik dan buruk. Akal memang dapat mengetahui
sebagian yang baik dan yang jahat, sekalipun tanpa informasi dari wahyu.
Misalnya mencuri adalah perbuatan jahat, karena ia bisa merugikan orang lain.
Begitu pula berbakti pada orang tua adalah perbuatan baik, karena meraka
memiliki jasa yang besar pada kita.
Namun demikian masih banyak pula perbuatan
baik da buruk yang tidak bisa diketahui oleh akal, melainkan harus mendapat
informasi dari wahyu. Terhadap hal-hal yang tidak bisa diketahu oleh akalkaum Mu’tazilah bepegang teguh pada informasi yang
disampaikan wahyu. Dan dalam hal ini, Tuhan wajib mengirmpak wahnyunya.
Pendapat
lain yang juga penting bahwa Tuhan wajib mengirimkan Rasul dan menurunkan wahyu
untuk membantu manusia dalam mengatasi ketidaktahuannya. .[9]
Jika hal ini tidak dilakukan oleh Tuhan, maka Tuhan tidak berbuat baik kepada
umatnya, sedangkan dalam faham Mu’tazilah, Tuhan harus berbuat baik pada
manusia (al-Shalah wa al-ashlan)
Dari
uraian di atas, jelas sekali bertapa dominannya peran akal dalam membangun
keyakian teologinya.
D.
KRITIK
TERHADAP MU’TAZILAH
Paham
yang cenderung rasional ini ternyata menui kritik, terutama dari kalangan
Asy‘ariyah. Gojongan Asy’ariyah ini merupakan lawan dari golongan Mu’tazilah.
Bahkan pendirinya sendiri Hasan Al-Asy’ari merupakan tokoh Mu’tazilah yang ke luar
karena ketidak puasannya terhadap Mu’tazilah.
Sebab-sebab
kenapa Al-Asy’ari ke luar dari Mu’tazilah ini di sebutkan oleh Al-Subki dan Ibn
‘Asakir, ialah bahwa, suatu ketka Al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Rasulullah
dan beliu mengatakan bahwa mazhab ahl
haditslah yang benar dan Mu’tazilah salah. Dari mimpi itu kemudian beliau
merenung dan kemudan berdebat dengan
gurunya Washil bin Al-Juba’i.
Berikut
ini kutipan dialog antara Al juba’i dengan Al-Asy’ari:
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang
berikut: mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
Al-juba’i : Yang mukminmendapat tingkatan yang
baik di surge, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin mendapat tempat
yang lebih tinggi di surga, mungkinkah iru?
Al-Juba’i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat
yang tinggi di surga itu karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum
memiliki kepatuhanyang serupa itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak itu mengatakankepada Tuhan:
“Itu bukan salahku. Kiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan
perbuatan-peruatan baik seperti yang
dilakukan orang mukmin”.
Al-Juba’i : Allah Akan menjawab; “ Aku tahu
bahwa juka engkau terus hdup, engkau akan berbuat dosa. Dan oleh karena itu,
kamu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau
sampai pada umur tenggung jawab”.
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan:
“Engkau ketahui masa depanku, sebagaimana engkau ketahui masa depannya. Mengapa
Engkau tidak juga mencabut nyawaku demi kepentingan ku.
Dari sini terpaksa
al-Juba’i diam.[10]
Dari
sini maka Al-Asy’ari kemudian ke luar, melepaskan seluruh pendirian yang pernah
ia pegang semasa Mu’tazilah. dan kemudian dia membuat kitab “al-Ibanah” yang isinya bayak membantah
faham yang dipegang Mu’tazilah. diantara kritik yang disampaikannya adalah:
1.
Bahwa kaum
Mu’tazilah telah melakukan taklid terhadap para pendahulunya. Mereka menta’wil
al-Quran berdasarkan tafsir para pendahulunya, padahal sama sekali Allah tidak
memberikan otoritas pada mereka.
2.
Mereka menentang
riwayat sahabat dan dari nabi mengenai melihat Allah di akhirat. Padahal ada
hadits dari sanad yang berlainan (mutawatir0 yang mengatakan demikian.
3.
Menentang siksa
kubur dan orang kafir yang dsiksa di dalam kubur. Padahal persoalan ini telah
disepakati oleh para sahabat dan tabi’in.
4.
Pendapat bahwa
al-Qur’an itu adalah mahluk. Pendapat ini dekat sekali dengan pendapat
orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah tidak lain hanyalah
perkataan manusia”.
5.
Dan ketetapan bahwa
hambalah yangenciptakan kejahatannya. Dan Allah tidak mencptakan kejahatan. Ini
dekat sekali dengan faham orang Majusi yang menetapkan adanya dua pencipta,
yaitu pencipta kebaikan dan pencpta keburukan.
6.
Kritik juga terjadi
pada paham bahwa manusia memiliki kekuasaan untuk melakukan segala sesuatu.[11]
Serta banyak lagi kritik yang diontarkan
al-Asy’ari berkaitan dengan paham yang selama ini dipegang oleh Mu’tazilah.
Al-Asy’ari kemudian mencoba untuk menyandarkan seluruh pendapat dan
keyakinannya pada Kitab Allah, Sunnah nabi, serta apa saja yang diriwayatkan
oleh pada sahabat, tabi’in dan para ahli hadits. Dan dia berpegang pada semua
pendapat yang dipedomani oleh Imam Ahmad ibn Hambal serta menjauhi orang-orang
yang menentangnya.[12]
Dengan demikian jelas bahwa al-Asy’ari datang untuk menghidupkan kembali metode
berpikir Imam Ahmad.
E.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang mengedepankan aspek
rasionalitas manusia. Sehingga disebut juga dengan aliran rasional dalam teolog
Islam. Karena dia berpegang teguh pada rasio manusia, maka wahyu dimata
Mu’tazilah merupakan alat konfirmasi dan informasi untuk akal dalam melakukan
pengabdiannya kepada Tuhan.
Selain itu, Mu’tazilah juga memiliki 5
pegangan yang menjadi pondasi teologisnya yakni: Tauhid, Keadilan Tuhan (al- ‘Adl), janji dan ancaman (al-Wa’ad wa al-Wa’id), Manjilah Baina Manjilatain dan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar. Kelima unsur
ini menjadi pegangan bagi seluruh pengikut Mu’tazilah.
DAFTAR
PUSTAKA.
Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1995, Rajawali Pers, Jakarta.
Ahmad Amir, Fajar
Islam Kairo, 1965, Al-Nahdah.
Harun Nasetion, Teologi
Islam, 2002, UI Press, Jakarta
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
1996, LOGOS, Jakarta.
Zaenuddin, Ilmu
tauhid Lengkap, 1996, Rineka Cipta, Jakarta,
[1] Zaenuddin, Ilmu tauhid Lengkap, 1996, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 50.
[2] Harun Nasetion, Teologi Islam, 2002, UI Press, Jakarta, hlm. 40.
[3] Ahmad Amir, Fajar Islam Kairo, 1965, Al-Nahdah, hlm. 290
[4] Zaenuddin, Op.Cit.,
hlm. 51.
[5] Ibid.
[6] Ibid. hlm. 54
[7] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, 1995, Rajawali Pers, Jakarta,
hlm. 63
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Lihat Harun Nasution, Op.
Cit., hlm . 67, yang dikutif dari teks “Fii
Ilm al-Kalam”, hlm 182
[11] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam,
1996, LOGOS, Jakarta, hlm. 190-191
[12] Ibid., hlm. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar