Jumat, 23 November 2012

‘URF VERSUS SYARI’AH; Dialektika Agama dengan Budaya




Oleh: Maman Lukmanul Hakim[1]
Muqaddimah
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah untuk saling mengenal Q.S. 49 (al-Hujurat) :13. Namun demikian, kita juga akan menemukan dalam al-Qur’an bahwa secara esensial manusia dan kemanusiaan  adalah satu (Kana al-nās ummah wāhidah) seperti terdapat dalam Q.S. 2:213, 10:19, 21:92, 22:52. Kemudain terjadi keberagaman seperti yang disinggung ayat di atas disebabkan interaksi dengan ruang dan waktu yang berbeda-beda, maka aktualisasi prilaku, adat, tradisi dan kebudayaan pun menjadi beragam. Dan karena manusia hidup dalam multi ruang dan waktu, maka kompleksitas adat kebiasaan, tradisi, tata nilai menjadi sesuatu yang niscaya dan kodrati. Dan seperti yang diungkapkan Jakob Sumarjo bahwa “hidup dalam ruang waktu tertentu dengan tata nilai yang lain merupakan pengkhianatan terhadap kodratnya sendiri” (Jakob Sumarjo: 2002). Manusia hidup di dunia bersamaan dengan masanya, budayanya dan adat kebiasaannya.
Oleh karena itu, keberagaman dalam kehidupan manusia merupakan keniscayaan sejarah yang tak bisa dibantah, termasuk dalam wilayah agama dan pemahaman keagamaan. Hal ini sering menimbulkan kesalahfahaman diantara penganut agama. Persoalan lain timbul ketika agama sering dihadapkan dengan budaya/ adat, yang seolah-olah bertentangan satu sama lainnya. Secara historis dialektika antara agama dan budaya mengalami berbagai bentuk, mulai dari yang harmonis, sampai konflik antara “penjaga” kesucian agama dengan “penjaga” kelestarian budaya.
Di era pluralisme dan multikulturalism ini, dialektika antara agama dan budaya sudah tidak bisa dihindari lagi. Untuk itu, diperlukan “cara pandang” baru yang bisa mengharmonisken hubungan keduanya. Cara pandang (paradigma) ini harus bisa melihat keduanya sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan manusia, sehingga satu sama lain saling melengkapi dan tidak saling menegasikan.


‘Urf sebagai Landasan Hukum Islam (Syari’ah)
Adat kebiasaan/ tradisi ini terbentuk secara alamian dan dalam jangka waktu yang sangat lama. Adat/ tradisi terbentuk karena terjadinya pengulangan yang terus menerus. Pengulangan tersebut dilakukan karena secara esensial tindakan itu memiliki manfaat dan nilai yang baik bagi kehidupan manusia. Jika proses pengulangan tersebut dilakukan secara sukarela, maka aktivitas tersebut mengalami penguatan (reinforcement). Dengan demikian, secara teoritis kebiasaan tersebut secara universal bernilai baik, di manapun dan kapanpun.
Pada sisi lain, terdapat pula tindakan manusia yang secara esensial mengandung keburukan (madlarat) bagi manusia. Perbuatan tersebut dilakukan secara berualng-ulang dan kemudaian mengalami penguatan, sehingga pada akhirnya menjadi tradisi/adat. Proses pengulangan dan penguatan itu misalnya terjadi melalui paksaan/ tekanan dan dorongan dari kekuasaan. Tradisi semacam ini dalam pandangan ulama ushul fiqih dinamakan dengan ‘urf fasid/ ādah bathilah (adat kebiasaan yang buruk). Adat kebiasaan seperti ini sudah tentu bertentangan dengan syari’ah. Dan selama manusia berpegang pada hati nurani, maka manusia akan berontak terhadap kebiasaan yang fasid tersebut.
Dalam kaitanya dengan pembahasan ini, dialektika sering terjadi manakala ‘urf/ tradisi berhadapan dengan syari’ah (hukum Islam) yang juga memiliki tata nilai tersendiri. Ketegangan ini sering terjadi ketika gerakan pemurnian (purifikasi) agama masuk pada wilayah tradisi/ adat. Untuk itu, perlu dijelaskan mengenai ‘urf sebagai dasar penetapan hukum syari’ah, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih dan kesalahfahaman.
Dari dua model ‘urf di atas, model pertamalah yang menjadi landasan bagi syari’ah untuk menjadikan ‘urf sebagai dasar penetapan hukum (Islam). Dalam ushul fiqh terdapat kaidah dasar al-Ādah al-Muhakamah (adat atau kebiasaan tersebut merupakan dasar bagi penetapan hukum syari’ah) (Abdul Wahab Khallaf: 1968). ‘Urf yang dimaksud merupakan tradisi/ adat yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dikaji seacra geneologi terdapat perbedaan yang mendasar antara ‘urf dengan al ‘ādah. Secara etimologi (bahasa) misalnya, al-‘urf sering disepadankan dengan kata al ‘ādah. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih dalam ternyata terdapat perbedaan yang mencolok antara ‘urf dan ‘ādah. Dalam Al-Qur’an kata ‘urf  yang berasal dari kata ‘arafa (fiil madhi) seakar dengan kata ma’rūf dan ma’rifah yang diungkapkan dalam konotasi positif. Setidaknya ada dua ungkapan dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata ‘urf. Ungkapan pertama yaitu pada QS. 7 (Al-A’rāf): 199 “Khudzil ‘afwa wa’mur bi al-‘urf wa a’ridl ‘an al-jahilin” (bersikaplah pemaaf, perintahkan dengan ‘urf dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil). Ayat ini berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk memerintah dengan ‘urf. Kemudian yang kedua, yaitu pada QS. 77 (al-Mursalat) ayat pertama “Wa al-mursalāt ‘urfa” (demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan). Di sini ada dua kemungkinan makna ‘urf dalam arti ma’rūf atau berturut-turut (tatabu’). Ayat ini berkaitan dengan para malaikat  yang diutus dengan membawa ‘urf (Ibnu Katsir).
Dari dua keterangan tersebut, maka ‘urf bermakna adat yang ma’rūf (al-adah al ma’rufah) dilawankan dengan kata al-ādah al-jahiliyah. Al-ādah al-jahiliyah jika diambil dari lanjutan surat Al-A’raf ayat 193-203 sebenarnya berkaitan dengan sistem kepercayaan Jahiliyah yang sangat tidak masuk akal. Disinilah perbedaan antara ‘urf dengan ‘adah bisa dilihat secara jelas. Al-‘ādah bisa bermakna baik dan buruk, sedangkan ‘urf merujuk pada makna yang baik.
Dalam pandangan Syahrur, hukum Islam (syari’ah) dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah yang ditetapkan (manthūq) dan wilayah yang didiamkan (maskūt), maka bagi Syahrur wilayah kedua ini adalah wilayah ma’rūf/ ‘urf (Syahrur: 1997). Hal ini sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh yang memberikan pengertian ma’rūf sebagai sesuatu yang diketahui (ma’arūfathu al-‘uqūl) dan munkar sebagai sesuatu yang diinkari akal (mā anankarthu al-‘uqūl). Atau juga yang melihat ma’rūf sebagai semua yang dianggap baik di dalam syari’at (kullu ma yahsun fi al-syar’) (al-Jurjani: 283). Dengan demikian dapat dibedakan antara ma’rūf dan ‘urf. ‘Urf berada pada wilayah maskūt, sedangkan ma’ruf berada pada wilayah manthūq dan maskūt (didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh syariat (Aan Radeana: 2003).
Dalam kaca mata Ibnu Taimiyah, dua konsep ini relepan dengan teori fitrah munazzalah dan fitrah mazbūlah (Nurholis Madjid:1992). Teori ini didasarkan pada QS. 30 (al-Rūm): 30, yang mensyaratkan kesamaan al-Dn dengan fitrah manusia yang keduanya merupakan fitrah Allah. (Fa aqim wajhaka li al-dn hanfā fithrāt Allah al-lat fathara al-nās alayha, “maka hadapkanlah wajahmu pada agama Allah dengan lurus sebagai fitrah Allah dimana manusia diciptakan di atas fitrah itu”). Dn itu adalah fitrah muazzalah yang me-manthūq-an keajiban-kewajiban, yang halal dan yang haram dll. Sedangkan fitrah sebagai dasar penciptaan manusia adalah fitrah majbūllah (fitrah yang ditabiatkan) yang akan melahirkan ‘urf/ tradisi.
Jika dilihat dengan teori kebudayaan, maka dialektika di atas merupakan akibat dari adanya ketegangan antara immanensi dan transesdensi potensi manusia. Van Peursen kemudian menjelaskan bahwa ketegangan tersebut sebagai upaya manusia untuk ke luar dari arus alam raya tempat kehidupan manusia, untuk menilai alamnya sendiri dan kemudian mengubahnya (Peursen:1992). Ketegangan tersebut terjadi akibat dari perpaduan unsur lahir dan batin yang ada pada manusia, sebagai hakikat hidup manusia itu sendiri.
Kebudayaan sebagai hasil karya, karsa dan cipta manusia merupakan aktualisasi dari proses perpaduan antara unsur jasmani dan rohani manusia. Mukti Ali kemudian menjelaskan bahwa menjadi manusia berarti membudaya. Manusia melahirkan diri dalam alam jasmani. Dia merohanikan diri dengan dan dalam alam jasmani. Hanya dengan keluarlah, manusia itu dapat mendalam. Itulah sebabnya manusia mendirikan monumen, bangunan-bangunan besar, menciptakan kesusastraan, musik patung, lukisan dan lain-lain (Mukti Ali: 1984).
Apa yang diungkapkan Mukti Ali di atas adalah wujud penjasmanian ruhani  yang merupakan fungsi eksistennsial manusia sebagai khalifah. Sedangkan proses peruhanian jasmani terjadi ketika manusia melakukan kegiatan-kegiatan ibadah (mahdoh) (Aan Radeana:2003). Oleh karena itu, proses perohanian jasmani merupakan fungsi utama manusia sebagai ‘abid. Alhasil, semua kegiatan manusia termasuk ibadah adalah proses kebudayaan dan tidak heran jika terjadi perbedaan dan keragaman.
Dari uraian di atas, maka terdapat korelasi positif antara tradisi (dalam pengertian ‘urf) dengan syari’ah. Keduanya tidak bisa dipertentangkan, melainkan saling melengkapi.  Agama sebagai sumber hukum syari’ah dan budaya sebagai sumber hukum tradisi, bisa hidup berdampingan satu sama lain tampa saling menegasikan.[]



[1] Penulis adalah Dosen Fak. Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Sekretaris Yayasan Sinergi Anak Negeri Bandung (SAN-B)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar