Muqaddimah
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah untuk saling mengenal Q.S. 49 (al-Hujurat)
:13. Namun demikian, kita juga akan menemukan dalam al-Qur’an bahwa secara
esensial manusia dan kemanusiaan adalah
satu (Kana al-nās ummah wāhidah) seperti terdapat dalam Q.S. 2:213, 10:19, 21:92, 22:52.
Kemudain terjadi keberagaman seperti yang disinggung ayat di atas disebabkan
interaksi dengan ruang dan waktu yang berbeda-beda, maka aktualisasi prilaku,
adat, tradisi dan kebudayaan pun menjadi beragam. Dan karena manusia hidup
dalam multi ruang dan waktu, maka kompleksitas adat kebiasaan, tradisi, tata
nilai menjadi sesuatu yang niscaya dan kodrati. Dan seperti yang diungkapkan Jakob
Sumarjo bahwa “hidup dalam ruang waktu tertentu dengan tata nilai yang lain
merupakan pengkhianatan terhadap kodratnya sendiri” (Jakob Sumarjo: 2002).
Manusia hidup di dunia bersamaan dengan masanya, budayanya dan adat
kebiasaannya.
Oleh karena itu, keberagaman dalam kehidupan
manusia merupakan keniscayaan sejarah yang tak bisa dibantah, termasuk dalam
wilayah agama dan pemahaman keagamaan. Hal ini sering menimbulkan
kesalahfahaman diantara penganut agama. Persoalan lain timbul ketika agama
sering dihadapkan dengan budaya/ adat, yang seolah-olah bertentangan satu sama
lainnya. Secara historis dialektika antara agama dan budaya mengalami berbagai
bentuk, mulai dari yang harmonis, sampai konflik antara “penjaga” kesucian
agama dengan “penjaga” kelestarian budaya.
Di era pluralisme dan multikulturalism ini,
dialektika antara agama dan budaya sudah tidak bisa dihindari lagi. Untuk itu,
diperlukan “cara pandang” baru yang bisa mengharmonisken hubungan keduanya.
Cara pandang (paradigma) ini harus bisa melihat keduanya sebagai sesuatu yang
positif bagi kehidupan manusia, sehingga satu sama lain saling melengkapi dan
tidak saling menegasikan.
‘Urf sebagai Landasan Hukum Islam (Syari’ah)
Adat kebiasaan/ tradisi ini terbentuk secara
alamian dan dalam jangka waktu yang sangat lama. Adat/ tradisi terbentuk karena
terjadinya pengulangan yang terus menerus. Pengulangan tersebut dilakukan
karena secara esensial tindakan itu memiliki manfaat dan nilai yang baik bagi
kehidupan manusia. Jika proses pengulangan tersebut dilakukan secara sukarela, maka
aktivitas tersebut mengalami penguatan (reinforcement). Dengan demikian,
secara teoritis kebiasaan tersebut secara universal bernilai baik, di manapun
dan kapanpun.
Pada sisi lain, terdapat pula tindakan manusia
yang secara esensial mengandung keburukan (madlarat) bagi manusia. Perbuatan
tersebut dilakukan secara berualng-ulang dan kemudaian mengalami penguatan, sehingga
pada akhirnya menjadi tradisi/adat. Proses pengulangan dan penguatan itu misalnya
terjadi melalui paksaan/ tekanan dan dorongan dari kekuasaan. Tradisi semacam ini
dalam pandangan ulama ushul fiqih dinamakan dengan ‘urf fasid/ ādah bathilah (adat kebiasaan yang buruk). Adat kebiasaan
seperti ini sudah tentu bertentangan dengan syari’ah. Dan selama manusia
berpegang pada hati nurani, maka manusia akan berontak terhadap kebiasaan yang fasid
tersebut.
Dalam kaitanya dengan pembahasan ini,
dialektika sering terjadi manakala ‘urf/ tradisi berhadapan dengan syari’ah
(hukum Islam) yang juga memiliki tata nilai tersendiri. Ketegangan ini sering
terjadi ketika gerakan pemurnian (purifikasi) agama masuk pada wilayah tradisi/
adat. Untuk itu, perlu dijelaskan mengenai ‘urf sebagai dasar penetapan hukum
syari’ah, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih dan kesalahfahaman.
Dari dua model ‘urf di atas, model pertamalah
yang menjadi landasan bagi syari’ah untuk menjadikan ‘urf sebagai dasar
penetapan hukum (Islam). Dalam ushul fiqh terdapat kaidah dasar al-Ādah al-Muhakamah (adat atau kebiasaan tersebut merupakan dasar
bagi penetapan hukum syari’ah) (Abdul Wahab Khallaf: 1968). ‘Urf yang dimaksud
merupakan tradisi/ adat yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Jika dikaji seacra geneologi terdapat perbedaan
yang mendasar antara ‘urf dengan al ‘ādah. Secara etimologi (bahasa) misalnya, al-‘urf sering
disepadankan dengan kata al ‘ādah. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih dalam ternyata terdapat perbedaan
yang mencolok antara ‘urf dan ‘ādah. Dalam Al-Qur’an kata ‘urf
yang berasal dari kata ‘arafa (fiil madhi) seakar dengan
kata ma’rūf
dan ma’rifah yang diungkapkan dalam konotasi positif. Setidaknya ada dua
ungkapan dalam al-Qur’an yang menyebutkan kata ‘urf. Ungkapan pertama yaitu
pada QS. 7 (Al-A’rāf): 199 “Khudzil ‘afwa wa’mur bi al-‘urf wa a’ridl
‘an al-jahilin” (bersikaplah pemaaf, perintahkan dengan ‘urf dan
berpalinglah dari orang-orang yang jahil). Ayat ini berkaitan dengan perintah
Allah kepada Nabi Muhammad untuk memerintah dengan ‘urf. Kemudian yang
kedua, yaitu pada QS. 77 (al-Mursalat) ayat pertama “Wa al-mursalāt ‘urfa” (demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa
kebaikan). Di sini ada dua kemungkinan makna ‘urf dalam arti ma’rūf atau berturut-turut (tatabu’). Ayat ini
berkaitan dengan para malaikat yang diutus
dengan membawa ‘urf (Ibnu Katsir).
Dari dua keterangan tersebut, maka ‘urf
bermakna adat yang ma’rūf (al-adah al ma’rufah) dilawankan dengan kata al-ādah al-jahiliyah. Al-ādah al-jahiliyah jika diambil dari
lanjutan surat Al-A’raf ayat 193-203 sebenarnya berkaitan dengan sistem
kepercayaan Jahiliyah yang sangat tidak masuk akal. Disinilah perbedaan antara
‘urf dengan ‘adah bisa dilihat secara jelas. Al-‘ādah bisa bermakna baik dan buruk, sedangkan ‘urf
merujuk pada makna yang baik.
Dalam pandangan Syahrur, hukum Islam (syari’ah)
dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah yang ditetapkan (manthūq) dan wilayah yang didiamkan (maskūt), maka bagi Syahrur wilayah kedua ini adalah
wilayah ma’rūf/ ‘urf
(Syahrur: 1997). Hal ini sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh yang
memberikan pengertian ma’rūf sebagai sesuatu yang diketahui (ma’arūfathu al-‘uqūl) dan munkar sebagai sesuatu yang diinkari akal
(mā anankarthu al-‘uqūl). Atau juga yang melihat ma’rūf sebagai semua yang dianggap baik di dalam
syari’at (kullu ma yahsun fi al-syar’) (al-Jurjani: 283). Dengan
demikian dapat dibedakan antara ma’rūf dan ‘urf. ‘Urf berada pada wilayah maskūt, sedangkan ma’ruf berada pada wilayah manthūq dan maskūt (didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh syariat
(Aan Radeana: 2003).
Dalam kaca mata Ibnu Taimiyah, dua konsep ini
relepan dengan teori fitrah munazzalah dan fitrah mazbūlah (Nurholis Madjid:1992). Teori ini didasarkan
pada QS. 30 (al-Rūm): 30, yang mensyaratkan kesamaan al-Dῑn dengan fitrah manusia yang keduanya merupakan
fitrah Allah. (Fa aqim wajhaka li al-dῑn hanῑfā fithrāt Allah al-latῑ fathara al-nās alayha, “maka hadapkanlah wajahmu pada agama Allah
dengan lurus sebagai fitrah Allah dimana manusia diciptakan di atas fitrah itu”).
Dῑn
itu adalah fitrah muazzalah yang me-manthūq-an keajiban-kewajiban, yang halal dan yang
haram dll. Sedangkan fitrah sebagai dasar penciptaan manusia adalah fitrah
majbūllah
(fitrah yang ditabiatkan) yang akan melahirkan ‘urf/ tradisi.
Jika dilihat dengan teori kebudayaan, maka
dialektika di atas merupakan akibat dari adanya ketegangan antara immanensi
dan transesdensi potensi manusia. Van Peursen kemudian menjelaskan bahwa
ketegangan tersebut sebagai upaya manusia untuk ke luar dari arus alam raya
tempat kehidupan manusia, untuk menilai alamnya sendiri dan kemudian
mengubahnya (Peursen:1992). Ketegangan tersebut terjadi akibat dari perpaduan
unsur lahir dan batin yang ada pada manusia, sebagai hakikat hidup manusia itu
sendiri.
Kebudayaan sebagai hasil karya, karsa dan
cipta manusia merupakan aktualisasi dari proses perpaduan antara unsur jasmani
dan rohani manusia. Mukti Ali kemudian menjelaskan bahwa menjadi manusia
berarti membudaya. Manusia melahirkan diri dalam alam jasmani. Dia merohanikan
diri dengan dan dalam alam jasmani. Hanya dengan keluarlah, manusia itu dapat
mendalam. Itulah sebabnya manusia mendirikan monumen, bangunan-bangunan besar,
menciptakan kesusastraan, musik patung, lukisan dan lain-lain (Mukti Ali: 1984).
Apa yang diungkapkan Mukti Ali di atas adalah
wujud penjasmanian ruhani yang merupakan
fungsi eksistennsial manusia sebagai khalifah. Sedangkan proses peruhanian
jasmani terjadi ketika manusia melakukan kegiatan-kegiatan ibadah (mahdoh)
(Aan Radeana:2003). Oleh karena itu, proses perohanian jasmani merupakan fungsi
utama manusia sebagai ‘abid. Alhasil, semua kegiatan manusia
termasuk ibadah adalah proses kebudayaan dan tidak heran jika terjadi perbedaan
dan keragaman.
Dari uraian di atas, maka terdapat korelasi
positif antara tradisi (dalam pengertian ‘urf) dengan syari’ah. Keduanya
tidak bisa dipertentangkan, melainkan saling melengkapi. Agama sebagai sumber hukum syari’ah dan
budaya sebagai sumber hukum tradisi, bisa hidup berdampingan satu sama lain
tampa saling menegasikan.[]
[1] Penulis adalah Dosen Fak. Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
dan Sekretaris Yayasan Sinergi Anak Negeri Bandung (SAN-B)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar