ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA
(Dialektika Agama dan Nilai-Nilai Filosofis Sunda)
Diajukan
untuk memenugi syarat dalam melajutkan studi S3 pada program studi Religious
Studies pada PPS. UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Oleh:
Maman
Lukmanul Hakim
BANDUNG
2012
ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA
(dialektika Agama dan Nilai-Nilai Filosofis Sunda)
A.
Latar Belakang Masalah
Secara umum kebudayaan atau kultur terejawantahkan dalam tiga
aspek. Pertama, sebagai suatu kelompok ide-ide atan gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan sebagainya (cultural system).
Kedua, sebagai satu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia (social system).
Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1]
Sunda sebagai salah satu etnis/ suku bangsa juga memiliki corak
kebudayaan tertentu yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Indonesia
ini. Kebudayaan dalam aspek pertama
yakni berupa ide, gagasan, norma (etika) dan aturan-aturan termanifestasikan
dalam kehidupan masyarakatnya. Lebih jelas lagi dapat dilihat dalam struktur dan kultur masyarakat yakni etnis Sunda. Struktur dan kultur tersebut
tentu ada sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Setiap bangsa termasuk etnis Sunda
harus mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah pandangan hidup (way of life).
Pandangan hidup atau filsafat hidup adalah konsep yang dimiliki seseorang atau
golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan
segala masalah kehidupan di dunia. Filsafat hidup ini kemudian menjadi landasan
atau dasar suatu masyarakat dalam melakukan berbagai aktifitas dalam
kehuidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial. Dengan filsafat / pandangan hidup inilah
suatu bangsa akan melihat persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah
serta cara memecahkan persoalan-persoalan yang ada dihadapannya.
Ajip Rosidi pernah
mengungkapkan bahwa pandangan hidup orang sunda terbagi menjadi
lima aspek diantaranya: Pertama, pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi; orang Sunda
berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa
sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta.
Kedua, pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan
masyarakat; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan
kerja sama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai
musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Semangat bekerjasama dalam
masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama,
sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota
masyarakat.
Ketiga, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam; orang Sunda
beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada
manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan
digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi
kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul
malapetaka dan kesengsaraan.
Keempat, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan
itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan
di bawah Sang
Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal.
Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahluk-Nya, karena itu
manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan.
Dan kelima, pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan
kepuasan batiniah; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan
kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras
dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada
kecepatan menyelesaikannya.[2]
Jika mempelajari filsafat hidup orang Sunda, sedikitnya mengandung
dua kepentingan, pertama kepentingan dalam sekala nasional dan global,
dan kedua kepentingan untuk suku Sunda itu sendiri. Orang Sunda tumbuh
sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang dalam lingkup lemah
cai (tanah air)-nya yang kini dikenal sebagai Jawa Barat.
Dalam masalah politik dan kepemimpinan khususnya budaya politik, juga tidak terlepas dari pandangan, termasuk pandangan hidup orang Sunda. Pandangan hidup orang Sunda sebagai pribadi
tercermin dalam beberapa babasan seperti “kudu
hade gogog hade tagog” yaitu harus baik budi bahasa dan baik tingkah lakunya. Segala
perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan sebagai salah satu upaya
mengendalikan diri. Hal ini terbukti ketika terjadinya perseteruan politik pada
akhir masa Orde Baru, kota Bandung tetap aman dan terkendali. Proses politik
yang memanas diseputaran Ibu Kota tidak sampai
pada Bandung sebagai puseur Sunda (Jawa Barat).
Dalam budaya Sunda pemimpin diartikan sebagai pusat yang
dikelilingi oleh para pengikut. Hubungan pengikut dan pemimpin di sini adalah
hubungan dependen atau saling berkaitan (hubungan ketergantungan kepada
sang pusat, yaitu pemimpin). Pusat, atau pemimpin dalam konteks ini memiliki
posisi lebih tinggi dari pada
para pengikutnya. Relasi keduanya bersifat suprior-imperior, dapat dikatakan bahwa posisi pemimpin di atas dan pengikut di
bawah. Pemimpin diposisi atas, karena memang mempunyai kelebihan . Karena
kelebihan atau keistimewaan yang dimilikinya tersebut, maka setiap pemimpin
dikatakan memiliki “isi”, sedangkan para pengikutnya adalah “wadah” atau
tempat. Pada mulanya si pemimpin sendiri juga merupakan sebuah wadah, tetapi
karena bakat dan usahanya, maka wadah itu penuh isi.[3]
Kualitas kepemimpinan Sunda terletak pada kualitas pemimpinnya.
Pemimpin yang memiliki
kualitas lebih (ilmu) akan mengalirkan ilmu tersebut, sesuai dengan potensi
wadah-wadah itu sendiri. Namun, tidak setiap pengikut berkembang sama seperti
pendahulunya, tetapi pengikut itu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri
menjadi “pusat” baru dengan membentuk lingkungan pengikut sendiri. Penyebaran
“pusat” ini dilakukan secara bebas dan sukarela oleh para pengikut, sesuai
dengan potensi masing-masing.
Masyarakat Sunda mengakui bahwa pemimpin Sunda yang disegani,
artinya pemimpin yang penuh dengan kualitas atau isi. Pemimpin seperti ini
pasti akan mempunyai para pengikut yang tersebar di mana-mana. Mereka kemudian
lama kelamaam dapat berdiri secara independent sebagai pusat-pusat baru
yang merdeka, dalam arti bahwa para murid hanya punya ikatan dengan guru-pusat,
tetapi tidak punya ikatan apapun antara sesama murid atau pengikut.
Dari sisi kepemimpinan nasional, etnis Sunda yang merupakan etnis kedua di
negeri ini belum bisa menunjukan eksistensinya dikancah nasional. Padahal
secara sosiologis dan geografis Sunda memiliki keunggulan dibanding dengan etnis
lain misalnya Melayu atau Minang. Atas dasar itu maka penelitian ini difokuskan
pada etika kepemimpinan Sunda sebagai upaya mengungkap sesuatu yang tersembunyi
(nalar) yang melingkupi Masyarakat Sunda.
Penelitian ini
dilakukan karena secara faktual terjadi gap antara nilai-nilai etis-filosofis
terkait kepemimpinan Sunda dengan realitas yang terjadi dimana orang Sunda
belum bisa berbicara banyak terkait kepemimpinan nasional.
B.
Perumusan Masalah
Etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua yang berada di Indonesia ini. Secara politis
dan geografis, Sunda memiliki peran strategis dalam kepemimpinan nasional. Realitasnya,
orang Sunda jarang sekali mengambil peran-peran strategis itu. Ketika orang Sunda
“manggung” terkadang meraka melepaskan identitas kesundaannya. Dalam penelitian
ini penulis hendak melihat landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda. Bagaiman
sesungungnya orang Sunda melihat kepemimpinan?
Dari rumusan masalah di atas maka penulis
turunkan dalan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda?
2.
Apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan
kepemimpinannya?
3.
Sejauh Mana Pengeruh Etika Kepemimpinan Sunda dalam realitas
kehidupan kontemporer?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di
atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda.
2.
Untuk mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan
kepemimpinannya.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh mana pengeruh
etika
kepemimpinan
Sunda dalam realitas kehidupan
kontemporer?
D.
Kegunaan Penelitian
1.
Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat mambantu
mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya filsafat moral (etika) diantaranya:
a.
penelitian ini dapat memperkaya khajanah rujukan dalam mempelajari
filsafat lokal khususnya filsafat Sunda.
b.
Secara psikologis, masyarakat sunda yang nota bene merupakan komunitas terbesar kedua dapat merumuskan konsepsi dasar kepemimpinannya.
c.
Selain itu, dapat pula menjadi bahan ajar dalam mata kuliah Etika
II yang lebih menitikberaktan pada aspek etika masyarakat lokal.
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat membantu mengembangkan aspek praktis
dari ilmu filsafat diantaranya:
a.
Penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sunda khususnya dan
masyarakat umum.
b.
Secara ilmiah etika kepemimpinan sunda ini telah terumuskan maka
secara praktis masyarakat bisa mengembangkannya sesuai dengan realitas zaman.
E.
Kajian Riset Sebelumnya
Secara umum, riset atau penelitian yang sudah dilakukan pada
masyarakat Sunda lebih bersipat umum, misalnya: Pertama, kajian yang
dilakukan oleh Hidayat Suryalaga yang memfokuskan pada filsafat sunda secara
umum. Kedua, Suwarsih WarnaƩn dkk., mengkaji Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti
Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Ketiga, Yus Rusyana dkk,
memfokuskan kajian pada Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam
Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini.
Ajip Rosidi juga melakukan pelbagai penelitian
tentang Sunda dari berbagai segi sosiologis,
politis, filosofis dan psikologis. Kemudian kajian dari Dewi Kurniasih yang
membahas tentang Kepemimpinan Politik Orang Sunda. Serta
penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Sunda sebagai objek kajiannya.
Dalam penelitian ini pembahasan difokuskan pada aspek kerifan-kearifan
lokal (local wisdom) Sunda yang menginspirasi model kepemimpinan orang
Sunda. Local wisdom ini menjadi
landasan etis-filosofis orang Sunda dalam menghadapi isu kepemimpinan.
Adapun teori yang dipakai dalam penelitian
ini adalah teori kritik nalar. Teori ini dipakai untuk mengungkap struktur
nalar yang digunakan sebuah komunitas atau kelompok yang secara sadar atau
tidak sadar mempengaruhi pandangan hidup, sikap dan prilaku kelompok tersebut.
F.
Kerangka Teori.
Seperti
yang telah diketahui kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan sosial, baik sebagai komunitas etnis, budaya, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini didasarkan
atas asumsi bahwa faktor kepemimpinan akan turut menentukan tercapai atau tidaknya
tujuan kelompok atau negara yang terwujud dalam sebuah model kebijakan dan pembangunan.
Dalam
usaha memahami pola kepemimpinan dalam budaya Sunda, sebenarnya ada dua konsep
pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, konsep “strategic elite”
dari yang dipopulerkan oleh Suzanna Keller (1963) dan kedua, konsep “solidaririty
makers dan administrator” dari yang sipelopori oleh Herbert Feith
(1962)[4]
Suzanna
Keller bertitik tolak dari anggapan bahwa dalam setiap sektor kehidupan dalam
masyarakat itu terdapat sekelompok orang yang dianggap tokoh/ elitnya. Akan
tetapi, tidak semua anggota kelompok elit itu berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Di antara kelompok elit yang memiliki pengaruh kepada masyarakat
itu, disebut “strate elite”. Sedangkan Herbert Feith mengemukakan bahwa
ada tipe kepemimpinan lain yang disebut tipe administror yang mengutamakan
pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial dan organisasi negara pada umumnya.
Tipe kepemimpinan administrator itu dapat kita lihat dalam diri mantan Wakil
Presiden RI,Bung Hatta dan juga Juanda (yang notabene orang Sunda)[5]
Figur pemimpin
ideal yang diharapkan orang Sunda adalah seorang pemimpin yang dapat membawa
fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan
kolektif dapat tercapai dengan tetap menjaga nilai sosial kultural Sunda. Hal
inilah yang seringkali menjadi dasar bahwa otoritas tradisional dapat diterima
masyarakat tanpa mempersoalkan legitimasinya, begitu pula dalam hal
kepemimpinan Sunda.
Pendekatan di
atas, setidaknya dapat menerangkan peranan pemimpin Sunda dalam situasi
institusional atau konteks sosial kulturalnya. Hal ini sangat relevan dengan
studi perbandingan tentang pelbagai tipe kepemimpinan dalam belbagai situasi kultural.
Kepemimpinan Sunda masih memerlukan citra kepemimpinan yang bersifat
kharismatik disamping mitos-mitos orang
diciptakan disekitarnya.
Secara
teoritis tipologi kepemimpinan Sunda bisa dilihat dari dua model di atas. Untuk
bisa menggali secara mendalam landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda,
maka perlu kiranya penulis menggali strtuktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda. Untuk membongkar struktur nalar tersebut maka
digunakanlah teori ‘Kritik Nalar’ yang di populerkan Mohamad Abed Al-Jabiri
dalam membongkara nalar Arab (naqd al-aql al-arabi) dan Muhammad Arkoun
dalam membongkar nalar Islam (naqd al-aql al-islami). Dengan menggunakan
kritik nalar tersebut diharapkan bisa mengungkap selubung-selubung ideologis
yang membatasi orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.
G. Hipotesis
Jika asumsi tersebut dihubungkan dengan
masalah penelitian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa hipotesis sebagai
berikut:
1. Secara teoritis masyarakat Sunda memiliki
struktur nalar etis-filosofis yang menjadi nalar dalam kehidupan.
2. Sikap dan prilaku kepemimpinan orang Sunda dipengaruhi
oleh etika kepemimpinan
Sunda yang sudah menjadi nalar dalam kehidupan
masyarakatnya.
H.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode/ pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan
lebih bersifat teoritis dan tidak memelukan variabel pengubah data (yang
biasanya dipake dalam penelitian kuantitatif).
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer diambil dari sumber pustaka
yang ditulis oleh orang Sunda yang relepan dengan kajian ini. Selain itu juga
data ini diambil dari hasil wawancara dengan tokoh atau masyarakat terkait
dengan tema penelitian ini.
b. Data sekunder
Data sekunder diambil dari sumber pustaka yang mendukung pada penelitian
ini.
3. Jenis data
Data yang dukumpulkan dalam penelitian ini daalah data
kualitatif yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik dan
konsep-konsep yang terkait dengan etika kepemimpiana Sunda. Selain itu, data
juga berbentuk pendapat dan pandangan tokoh berkaitan dengan konsep di atas.
4. Teknik pengumpulan data
Adapun
tehnik pengumpulan data melalui dua cara, yaitu book survey dan
wawancara. Book survey dilakukan karena data-data yang diambil dari penelitian
ini berasal dari buku dan model pustaka yang lain. Guna melengkapi data pustaka
tersebut, kemudian dilakukan wawancara kepada para tokoh Sunda dan pemerhati/
ahli kesundaan. Dari dua langkah ini diharapkan data yang terkumpul dalam
penelitian ini akan saling melengkapi.
5. Pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian kualitatif analisis data yang
dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara induktif dengan alasan bahwa: Pertama,
penelitian kualitatif memperhatikan kenyataan-kenyataan ganda sebagaimana
terdapat dalam data. Kedua, hubungan peneliti dan objek menjadi
eksplisit. Ketiga, latar peneliti menjadi lebih jelas sehingga makna
kontekstual dari data bisa terungkap. Dan keempat, hubungan antara fakta
atau gejala dapat diungap secara mendalam.[6]
Adapun tahapan yang ditempuh dalam proses analisis data
adalah sebagai berikut:
a. Pemrosesan satuan data. Dalam tahapan ini
peneliti mempelajari seluruh data yang terkumpul, diklasifikasi sesuai dengan
tipe dan karakteristiknya. Dalam tahapan ini dilakukan reduksi dengan memilih
hal-hal yang pokok yang sesuai dengan tema/ masalah yang penting.
b. Kategorisasi. Dalam proses ini peneliti
membuat keriteria-keriteria masalah sebagai pedoman dalam tahap kategorisasi
ini.
c. Penafsiran data. Target dari penafsiran
data ini adalah diperoleh deskrifsi komprehensif mengenai masalah dlam
penelitian ini.
I.
Sumber Bacaan/ Referansi:
1. Abdul Rozak, (2000), Teologi Kebatinan Sunda, Bandung, Kiblat.
2. Adimihardja, K.
(1986). Kepemimpinan dalam Kebudayaan Sunda. Makalah. Depdikbud.
3. Antlov, H.
(2003). Negara dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta:
LAPPERA Pustaka Utama.
4. Burns, J. M.
(1979). Leadership. New York & London: Harper & Row Publisher.
5. Ekadjati, Edi.
S. (1995). Kebudayaan Sunda (suatu pendekatan sejarah). Jakarta: Pustaka
Jaya.
6. Geertz, C.
(1992). Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius.
7. Hatch, E.
(1973). Theoris of man and culture. New York & London:Columbia
University Press.
8. Hidayat
Suryalaga, Filsafat Sunda, 2010, Yayasan Nurhidayah, Bandung.
9. Kavanagh, D.
(1982). Kebudayaan Politik. Jakarta: Bina Aksara.
10. Kiss Berthan, Etika, (19 ) Kinisius, Yogyakarta,
11. Koentjaraningrat.
(1985). Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
12. Liddle, W.R.
(1996). Leadership and Culture
in Indonesia. Sydney: Allen
& Unwin.
13. Lubis, N.H.
(1998). Kehidupan Kaum Menak
Priangan 1800-1942. Bandung:Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
14. Mulder, N.
(2001). Mistisisme Jawa; Ideologi
di Indonesia. Yogyakarta:
LkiS.
15. Permana, S.
(2003). Politik Indonesia: Konspirasi
Elit dan Perlawanan Rakyat (kumpulan tulisan). Bandung: CEPLAS.
16. Rusli, K.M.
& Fauzi, R. (et.al). (1991). Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
17. Rosidi, A.
(1984). Manusia Sunda; Sebuah
Esai tentang Tokoh-tokoh Sastra dan Sejarah. Jakarta: Inti Idayu Press.
18. _____________,
(2002). Sejarah dan Budaya Politik. Bandung:
Satya Historika.
19. _____________,
(2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung: Satya Historika.
20. Sumardjo, J.
(2003). Simbol-simbol Artefak
Budaya Sunda; tafsir-tafsir pantun Sunda. Bandung: Kelir.
21. Suwarsih WarnaƩn dkk, Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin
dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987).
22. Warnaen, S.
(1986). Pandangan Hidup Orang
Sunda Satu Hasil Studi Awal. Makalah Depdikbud.
23. Yus Rusyana dkk, (1988/1989) Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti
Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini, Depdikbud..
[1] Lihat
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I , 1987, UI Press, Jakarta,
hlm. 41
[2] Lihat Aip
Rosidi, Kajian tentang Filsafat Sunda, Indoculture online,
[3] Lihat, Dewi
Kurniasih, Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Majalah Ilmiah, UNIKOM
Vol.5.
[4] Adimihardja,
K. (1986). Kepemimpinan dalam Kebudayaan Sunda. Makalah. Depdikbud
[5] Dewi
Kurniasih, Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Majalah Ilmiah, UNIKOM,
Vol. 5 Bandung, hlm 129-130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar