Jumat, 23 November 2012

ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA



ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA
(Dialektika Agama dan Nilai-Nilai Filosofis Sunda)





Diajukan untuk memenugi syarat dalam melajutkan studi S3 pada program studi Religious Studies pada PPS. UIN Sunan Gunung Djati Bandung











Oleh:
Maman Lukmanul Hakim












BANDUNG
2012





ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA
(dialektika Agama dan Nilai-Nilai Filosofis Sunda)

A.      Latar Belakang Masalah
Secara umum kebudayaan atau kultur terejawantahkan dalam tiga aspek. Pertama, sebagai suatu kelompok ide-ide atan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan sebagainya (cultural system). Kedua, sebagai satu komplek aktivitas serta tindakan  berpola dari manusia (social system). Dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia.[1]
Sunda sebagai salah satu etnis/ suku bangsa juga memiliki corak kebudayaan tertentu yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Indonesia ini.  Kebudayaan dalam aspek pertama yakni berupa ide, gagasan, norma (etika) dan aturan-aturan termanifestasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Lebih jelas lagi dapat dilihat dalam struktur dan kultur masyarakat yakni etnis  Sunda. Struktur dan kultur tersebut tentu ada sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap bangsa termasuk etnis Sunda  harus mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah pandangan hidup (way of life). Pandangan hidup atau filsafat hidup  adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam suatu masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah kehidupan di dunia. Filsafat hidup ini kemudian menjadi landasan atau dasar suatu masyarakat dalam melakukan berbagai aktifitas dalam kehuidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial.  Dengan filsafat / pandangan hidup inilah suatu bangsa akan melihat persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara memecahkan persoalan-persoalan yang ada dihadapannya.
Ajip Rosidi  pernah mengungkapkan bahwa pandangan hidup orang sunda terbagi menjadi lima aspek diantaranya: Pertama, pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi; orang Sunda berpandangan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta.
Kedua, pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerja sama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Semangat bekerjasama dalam masyarakat harus dipupuk dan dikembangkan. Harus saling hormat dan bertatakrama, sopan dalam berkata, sikap dan kelakuan. Harus saling sayangi sesama anggota masyarakat.
Ketiga, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam; orang Sunda beranggapan bahwa lingkungan alam memberikan manfaat yang maksimal kepada manusia apabila dijaga kelestariannya, dirawat serta dipelihara dengan baik dan digunakan hanya secukupnya saja. Kalau alam digunakan secara berlebihan apalagi kalau tidak dirawat dan tidak dijaga kelestariannya, maka akan timbul malapetaka dan kesengsaraan.
Keempat, Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan; sejak pra-Islam, orang Sunda percaya akan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Sang Hyang Tunggal, Guriang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha Mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahluk-Nya, karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada Tuhan.
Dan kelima, pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah; orang Sunda menghindari persaingan, lebih mengutamakan kerjasama untuk kepentingan bersama. Lebih menghargai musyawarah. Bekerja keras dan tidak mudah menyerah. Lebih mengutamakan mutu hasil kerja daripada kecepatan menyelesaikannya.[2]
Jika mempelajari filsafat hidup orang Sunda, sedikitnya mengandung dua kepentingan, pertama kepentingan dalam sekala nasional dan global, dan kedua kepentingan untuk suku Sunda itu sendiri. Orang Sunda tumbuh sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang dalam lingkup lemah cai (tanah air)-nya yang kini dikenal sebagai Jawa Barat.
Dalam masalah politik dan kepemimpinan khususnya budaya politik, juga tidak terlepas dari pandangan, termasuk pandangan hidup orang Sunda. Pandangan hidup orang Sunda sebagai pribadi tercermin dalam beberapa babasan seperti kudu hade gogog hade tagog yaitu harus baik budi bahasa dan baik tingkah lakunya. Segala perkataan harus dipertimbangkan sebelum diucapkan sebagai salah satu upaya mengendalikan diri. Hal ini terbukti ketika terjadinya perseteruan politik pada akhir masa Orde Baru, kota Bandung tetap aman dan terkendali. Proses politik yang memanas diseputaran Ibu Kota tidak sampai pada Bandung sebagai puseur Sunda (Jawa Barat).
Dalam budaya Sunda pemimpin diartikan sebagai pusat yang dikelilingi oleh para pengikut. Hubungan pengikut dan pemimpin di sini adalah hubungan dependen atau saling berkaitan (hubungan ketergantungan kepada sang pusat, yaitu pemimpin). Pusat, atau pemimpin dalam konteks ini memiliki posisi lebih tinggi dari pada para pengikutnya. Relasi keduanya bersifat suprior-imperior, dapat dikatakan bahwa posisi pemimpin di atas dan pengikut di bawah. Pemimpin diposisi atas, karena memang mempunyai kelebihan . Karena kelebihan atau keistimewaan yang dimilikinya tersebut, maka setiap pemimpin dikatakan memiliki “isi”, sedangkan para pengikutnya adalah “wadah” atau tempat. Pada mulanya si pemimpin sendiri juga merupakan sebuah wadah, tetapi karena bakat dan usahanya, maka wadah itu penuh isi.[3]
Kualitas kepemimpinan Sunda terletak pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang memiliki kualitas lebih (ilmu) akan mengalirkan ilmu tersebut, sesuai dengan potensi wadah-wadah itu sendiri. Namun, tidak setiap pengikut berkembang sama seperti pendahulunya, tetapi pengikut itu diberi kesempatan untuk mengembangkan diri menjadi “pusat” baru dengan membentuk lingkungan pengikut sendiri. Penyebaran “pusat” ini dilakukan secara bebas dan sukarela oleh para pengikut, sesuai dengan potensi masing-masing. 
Masyarakat Sunda mengakui bahwa pemimpin Sunda yang disegani, artinya pemimpin yang penuh dengan kualitas atau isi. Pemimpin seperti ini pasti akan mempunyai para pengikut yang tersebar di mana-mana. Mereka kemudian lama kelamaam dapat berdiri secara independent sebagai pusat-pusat baru yang merdeka, dalam arti bahwa para murid hanya punya ikatan dengan guru-pusat, tetapi tidak punya ikatan apapun antara sesama murid atau pengikut.  
Dari sisi kepemimpinan nasional, etnis Sunda yang merupakan etnis kedua di negeri ini belum bisa menunjukan eksistensinya dikancah nasional. Padahal secara sosiologis dan geografis Sunda memiliki keunggulan dibanding dengan etnis lain misalnya Melayu atau Minang. Atas dasar itu maka penelitian ini difokuskan pada etika kepemimpinan Sunda sebagai upaya mengungkap sesuatu yang tersembunyi (nalar) yang melingkupi Masyarakat Sunda.
Penelitian ini dilakukan karena secara faktual terjadi gap antara nilai-nilai etis-filosofis terkait kepemimpinan Sunda dengan realitas yang terjadi dimana orang Sunda belum bisa berbicara banyak terkait kepemimpinan nasional.


B.       Perumusan Masalah
Etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua  yang berada di Indonesia ini. Secara politis dan geografis, Sunda memiliki peran strategis dalam kepemimpinan nasional. Realitasnya, orang Sunda jarang sekali mengambil peran-peran strategis itu. Ketika orang Sunda “manggung” terkadang meraka melepaskan identitas kesundaannya. Dalam penelitian ini penulis hendak melihat landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda. Bagaiman sesungungnya orang Sunda melihat kepemimpinan?
Dari rumusan masalah di atas maka penulis turunkan dalan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.      Bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda?
2.      Apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya?
3.      Sejauh Mana Pengeruh Etika Kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan  kontemporer?

C.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana struktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda.
2.      Untuk mengkaji dan menganalisis apa yang menjadi landasan etis orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.
3.      Untuk mengkaji dan menganalisis sejauh mana pengeruh etika kepemimpinan Sunda dalam realitas kehidupan  kontemporer?

D.      Kegunaan Penelitian
1.      Secara akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat mambantu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya filsafat moral (etika) diantaranya:
a.       penelitian ini dapat memperkaya khajanah rujukan dalam mempelajari filsafat lokal khususnya filsafat Sunda.
b.      Secara psikologis, masyarakat sunda yang nota bene merupakan komunitas terbesar kedua dapat merumuskan konsepsi dasar  kepemimpinannya.
c.       Selain itu, dapat pula menjadi bahan ajar dalam mata kuliah Etika II yang lebih menitikberaktan pada aspek etika masyarakat lokal.

2.      Secara praktis, hasil penelitian ini dapat membantu mengembangkan aspek praktis dari ilmu filsafat diantaranya:
a.       Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat umum.
b.      Secara ilmiah etika kepemimpinan sunda ini telah terumuskan maka secara praktis masyarakat bisa mengembangkannya sesuai dengan realitas zaman.

E.       Kajian Riset Sebelumnya
Secara umum, riset atau penelitian yang sudah dilakukan pada masyarakat Sunda lebih bersipat umum, misalnya: Pertama, kajian yang dilakukan oleh Hidayat Suryalaga yang memfokuskan pada filsafat sunda secara umum. Kedua, Suwarsih WarnaƩn dkk., mengkaji Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Ketiga, Yus Rusyana dkk, memfokuskan kajian pada Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini.
Ajip Rosidi juga melakukan pelbagai penelitian tentang Sunda dari berbagai segi sosiologis, politis, filosofis dan psikologis. Kemudian kajian dari Dewi Kurniasih yang membahas tentang Kepemimpinan Politik Orang Sunda. Serta penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Sunda sebagai objek kajiannya.
Dalam penelitian  ini pembahasan difokuskan pada aspek kerifan-kearifan lokal (local wisdom) Sunda yang menginspirasi model kepemimpinan orang Sunda.  Local wisdom ini menjadi landasan etis-filosofis orang Sunda dalam menghadapi isu kepemimpinan.
Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kritik nalar. Teori ini dipakai untuk mengungkap struktur nalar yang digunakan sebuah komunitas atau kelompok yang secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi pandangan hidup, sikap dan prilaku kelompok tersebut.

F.       Kerangka Teori.
Seperti yang telah diketahui kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan sosial, baik sebagai komunitas etnis, budaya, maupun kehidupan  berbangsa dan bernegara. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa faktor kepemimpinan akan turut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan kelompok atau negara yang terwujud dalam sebuah model kebijakan dan pembangunan.
Dalam usaha memahami pola kepemimpinan dalam budaya Sunda, sebenarnya ada dua konsep pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, konsep “strategic elite” dari yang dipopulerkan oleh Suzanna Keller (1963) dan kedua, konsep “solidaririty makers dan administrator” dari yang sipelopori oleh Herbert Feith (1962)[4]
Suzanna Keller bertitik tolak dari anggapan bahwa dalam setiap sektor kehidupan dalam masyarakat itu terdapat sekelompok orang yang dianggap tokoh/ elitnya. Akan tetapi, tidak semua anggota kelompok elit itu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Di antara kelompok elit yang memiliki pengaruh kepada masyarakat itu, disebut “strate elite”. Sedangkan Herbert Feith mengemukakan bahwa ada tipe kepemimpinan lain yang disebut tipe administror yang mengutamakan pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial dan organisasi negara pada umumnya. Tipe kepemimpinan administrator itu dapat kita lihat dalam diri mantan Wakil Presiden RI,Bung Hatta dan juga Juanda (yang notabene orang Sunda)[5]
Figur pemimpin ideal yang diharapkan orang Sunda adalah seorang pemimpin yang dapat membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan kolektif dapat tercapai dengan tetap menjaga nilai sosial kultural Sunda. Hal inilah yang seringkali menjadi dasar bahwa otoritas tradisional dapat diterima masyarakat tanpa mempersoalkan legitimasinya, begitu pula dalam hal kepemimpinan Sunda.
Pendekatan di atas, setidaknya dapat menerangkan peranan pemimpin Sunda dalam situasi institusional atau konteks sosial kulturalnya. Hal ini sangat relevan dengan studi perbandingan tentang pelbagai tipe kepemimpinan dalam belbagai situasi kultural. Kepemimpinan Sunda masih memerlukan citra kepemimpinan yang bersifat kharismatik disamping mitos-mitos orang diciptakan disekitarnya.
Secara teoritis tipologi kepemimpinan Sunda bisa dilihat dari dua model di atas. Untuk bisa menggali secara mendalam landasan etis-filosofis kepemimpinan Sunda, maka perlu kiranya penulis menggali strtuktur nalar etis-filosofis masyarakat Sunda. Untuk membongkar struktur nalar tersebut maka digunakanlah teori ‘Kritik Nalar’ yang di populerkan Mohamad Abed Al-Jabiri dalam membongkara nalar Arab (naqd al-aql al-arabi) dan Muhammad Arkoun dalam membongkar nalar Islam (naqd al-aql al-islami). Dengan menggunakan kritik nalar tersebut diharapkan bisa mengungkap selubung-selubung ideologis yang membatasi orang Sunda dalam mengejawantahkan kepemimpinannya.

G.      Hipotesis
Jika asumsi tersebut dihubungkan dengan masalah penelitian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut:
1.      Secara teoritis masyarakat Sunda memiliki struktur nalar etis-filosofis yang menjadi nalar dalam kehidupan.
2.      Sikap dan prilaku kepemimpinan orang Sunda dipengaruhi oleh etika kepemimpinan Sunda yang sudah menjadi nalar dalam kehidupan masyarakatnya.

H.      Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode/ pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan lebih bersifat teoritis dan tidak memelukan variabel pengubah data (yang biasanya dipake dalam penelitian kuantitatif).

2.      Sumber Data
a.       Data primer
Data primer diambil dari sumber pustaka yang ditulis oleh orang Sunda yang relepan dengan kajian ini. Selain itu juga data ini diambil dari hasil wawancara dengan tokoh atau masyarakat terkait dengan tema penelitian ini.
b.      Data sekunder
Data sekunder diambil dari sumber pustaka yang mendukung pada penelitian ini.

3.      Jenis data
Data yang dukumpulkan dalam penelitian ini daalah data kualitatif yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik dan konsep-konsep yang terkait dengan etika kepemimpiana Sunda. Selain itu, data juga berbentuk pendapat dan pandangan tokoh berkaitan dengan konsep di atas.

4.      Teknik pengumpulan data
Adapun tehnik pengumpulan data melalui dua cara, yaitu book survey dan wawancara. Book survey dilakukan karena data-data yang diambil dari penelitian ini berasal dari buku dan model pustaka yang lain. Guna melengkapi data pustaka tersebut, kemudian dilakukan wawancara kepada para tokoh Sunda dan pemerhati/ ahli kesundaan. Dari dua langkah ini diharapkan data yang terkumpul dalam penelitian ini akan saling melengkapi.

5.      Pengolahan dan analisis data
Dalam penelitian kualitatif analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara induktif dengan alasan bahwa: Pertama, penelitian kualitatif memperhatikan kenyataan-kenyataan ganda sebagaimana terdapat dalam data. Kedua, hubungan peneliti dan objek menjadi eksplisit. Ketiga, latar peneliti menjadi lebih jelas sehingga makna kontekstual dari data bisa terungkap. Dan keempat, hubungan antara fakta atau gejala dapat diungap secara mendalam.[6]
Adapun tahapan yang ditempuh dalam proses analisis data adalah sebagai berikut:
a.       Pemrosesan satuan data. Dalam tahapan ini peneliti mempelajari seluruh data yang terkumpul, diklasifikasi sesuai dengan tipe dan karakteristiknya. Dalam tahapan ini dilakukan reduksi dengan memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan tema/ masalah yang penting.
b.      Kategorisasi. Dalam proses ini peneliti membuat keriteria-keriteria masalah sebagai pedoman dalam tahap kategorisasi ini.
c.       Penafsiran data. Target dari penafsiran data ini adalah diperoleh deskrifsi komprehensif mengenai masalah dlam penelitian ini.




I.         Sumber Bacaan/ Referansi:
1.      Abdul Rozak, (2000), Teologi Kebatinan Sunda, Bandung, Kiblat.
2.      Adimihardja, K. (1986). Kepemimpinan dalam Kebudayaan Sunda. Makalah. Depdikbud.
3.      Antlov, H. (2003). Negara dalam Desa; Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama.
4.      Burns, J. M. (1979). Leadership. New York & London: Harper & Row Publisher.
5.      Ekadjati, Edi. S. (1995). Kebudayaan Sunda (suatu pendekatan sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
6.      Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius.
7.      Hatch, E. (1973). Theoris of man and culture. New York & London:Columbia University Press.
8.      Hidayat Suryalaga, Filsafat Sunda, 2010, Yayasan Nurhidayah, Bandung.
9.      Kavanagh, D. (1982). Kebudayaan Politik. Jakarta: Bina Aksara.
10.  Kiss Berthan, Etika, (19   )  Kinisius, Yogyakarta,
11.  Koentjaraningrat. (1985). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
12.  Liddle, W.R. (1996). Leadership and Culture in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
13.  Lubis, N.H. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung:Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
14.  Mulder, N. (2001). Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
15.  Permana, S. (2003). Politik Indonesia: Konspirasi Elit dan Perlawanan Rakyat (kumpulan tulisan). Bandung: CEPLAS.
16.  Rusli, K.M. & Fauzi, R. (et.al). (1991). Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
17.  Rosidi, A. (1984). Manusia Sunda; Sebuah Esai tentang Tokoh-tokoh Sastra dan Sejarah. Jakarta: Inti Idayu Press.
18.  _____________, (2002). Sejarah dan Budaya Politik. Bandung: Satya Historika.
19.  _____________, (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. Bandung: Satya Historika.
20.  Sumardjo, J. (2003). Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda; tafsir-tafsir pantun Sunda. Bandung: Kelir.
21.  Suwarsih WarnaĆ©n dkk, Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987).
22.  Warnaen, S. (1986). Pandangan Hidup Orang Sunda Satu Hasil Studi Awal. Makalah Depdikbud.
23.  Yus Rusyana dkk, (1988/1989) Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini,  Depdikbud..




[1] Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I , 1987, UI Press, Jakarta, hlm. 41
[2] Lihat Aip Rosidi, Kajian tentang Filsafat Sunda, Indoculture online,
[3] Lihat, Dewi Kurniasih, Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Majalah Ilmiah, UNIKOM Vol.5.
[4] Adimihardja, K. (1986). Kepemimpinan dalam Kebudayaan Sunda. Makalah. Depdikbud
[5] Dewi Kurniasih, Kepemimpinan Politik Orang Sunda, Majalah Ilmiah, UNIKOM, Vol. 5 Bandung, hlm 129-130.
[6] Lihat Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, 2007, Rosda Karya, Bandung, hlm. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar