“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik.Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. an-Nahl: 125).
Maraknya
kekerasan yang timbul di masyarakat akhir-akhir ini disinyalir bernuansa SARA, baik agama, suku maupun ras. Hal ini
terjadi mengingat setiap kelompok/ golongan memiliki doktrin dan anggapan
sebagai kelompok yang paling unggul dan benar. Anggapan
inilah yang mendorong komunitas menjadi lebih permisif dan mudah tersinggung,
sehingga melahirkan gesekan dan konflik sosial. Suku, ras dan agama sebagai
identitas tak terpisahkan dari proses interaksi sosial. SARA menjadi media
identifikasi diri di tengah-tengah pluralitas dan heterogenitas. Identitas
tersebut kemudian terinternalisasi dalam diri yang merefleksi dalam sikap dan
prilaku kehidupan sehari-hari.
Dalam
terminologi filsafat, identitas diri dan orang lain sering didefinisikan dalam
eksistensi biner. Eksistensi
biner mengandaikan adanya “aku” dan “kamu” dalam posisi yang saling berhadapan
(oposisi biner). Oposisi biner sebagai cara pandang terhadap orang lain ini, membawa
konsekuensi sosial;
bagaimana subjek mendefinisikan dirinya dan memandang serta memberlakukan “yang
lain” (the other). Prinsip
keyakinan, pandangan hidup, agama dan suku yang menjadi identitas diri
melahirkan sikap yang merasa
diri paling benar dan sebaliknya memandang rendah (salah)
orang lain bahkan meniadakan eksistensinya. Oleh kerena itu dalam era multikultural
ini mengakui adanya perbedaan saja tidaklah cukup, akan tetapi lebih dari itu yakni mengakui dan memberi ruang bagi
eksistensi yang lain. Koeksistensi
yang dibangun di atas trusth dan kebersamaan seharusnya menjadi pijakan
dalam membangun kehidupan
di era multikultural ini..
Pluralisme dan multikulturaisme sebagai babak baru
peradaban manusia didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi
membuka ruang, sekat dan batas budaya menjadi satu, sehingga kini manusia hidup
di ruang penuh keragaman. Pelbagai budaya, suku, ras, agama dan
ideologi-ideologi asing kini hidup di tengah-tengah kita, perlahan tapi pasti
mengaburkan identitas diri. Fenomena ini tentu menuntut individu untuk bersikap
arif, bijak dan hati-hati terhadap eksistensi yang lain (the other).
Sikap dan perilaku ini tidaklah mudah, mengingat
sebuah masyarakat tentu memiliki tata nilai, norma dan standar kebenaran yang
selama ini dipegang. Moral dan tata nilai ini bersumber dari budaya, ras/ suku bahkan agama. Tata nilai ini sering dijadikan
standar dalam menilai pihak lain (the other), sehingga yang lain di luar komunitasnya berada dalam posisi yang salah. Wal hasil,
cara pandang seperti ini menimbulkan ketegangan
dan perselisihan. Lebih jauh lagi melahirkan konflik yang melibatkan
banyak masa (social conflict). Pada era multikultur seperti ini, agama (termasuk Islam) menghadapi beberapa persoalan
atau masalah baru.
Problematika Agama; antara Definisi dan Eksistensi
Masalah utama yang kini dihadapi agama-agama di era
pluralisme dan multikulturalisme ini adalah problematika definisi. Di satu sisi,
agama memiliki doktrin kebenaran mutlak hanya ada pada agamanya, dan yang lain
dianggap menyimpang/ salah. Pada sisi yang lain, dia dihadapkan pada pluralitas
keagamaan yang juga memiliki standar kebenaran tersendiri. Bahkan kebenaran agama lain (the other)
juga bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.
Kebenaran agama lain (the other) juga bersandar
pada kitab suci atau wahyu yang memiliki standar mutlak, karena kebenaran itu
diyakini datang dari Tuhan. Problem inilah yang sering melahirkan konflik. Atas
nama Tuhan dan agama, mereka tega memerangi dan membunuh manusia yang lain.
Melakukan tindakan diskrimnatif, intimidasi dan teror terhadap komunitas lain dengan dalih menegakan “kebenaran”.
Untuk menghindari konflik yang bernuansa SARA,
terlebih khusus persoalan agama, maka perlu usaha serius dari semua pihak untuk
bisa memahami dan menghargai yang lain. Kita harus menyadari bahwa di samping
sistem nilai yang kita pegang, ada pula sistem nilai lain yang juga memiliki
standar kebenaran yang tidak diragukan lagi. Untuk membangun sikap inklusif
ini, perlu kiranya keterbukaan dan kesadaran semua pihak akan eksistensi (agama)
yang lain (the other), sehingga tercapai tatanan kehidupan yang
harmonis.
Oleh kerena itu, re-definisi terhadap persoalan teologi mesti fokus
kajian bagi para pemuka agama. Teologi
yang harus dikembangkan di era pluralisme dan multikulturalisme adalah teologi
inklusif. Teologi inklusif adalah sebuah pemahaman yang mengakui, memahani dan
menghormati eksistensi/ faham dan sistem nilai lain yang hidup bersama-sama tata nilai yang kita pegang.
Tata nilai yang lain itu tidak disikapi sebagai musuh yang akan merongrong
eksistensi kita, tapi sebaliknya disikapi sebagai tata nilai yang akan
menguatkan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Persoalan lain yang juga dihadapi agama hari ini
adalah problem eksistensi. Eksistensi agama sebagai pemengang otoritas
kebenaran mulai dipertanyakan. Kemajuan sain dan teknologi tentu berkorelasi
negative dengan eksistensi agama. Manusia tidak lagi tergantung pada agama
sebagai rujukan, akan tetapi sudah beralih ke sain dan ilmu pengetahuan yang
dianggapnya lebih rasional dan bisa menjawab persoalan secara nyata. Banyak hal
yang dulunya merupakan ranah (otoritas) agama dan hanya bisa dijawab oleh
agama, kini bergeser menjadi ranah ilmu pengetahuan, sain dan teknologi. Agama
seolah telah hilang nilai kesucian dan kesakralannya. Pertanyaannya kemudian,
dimana lagi makna dan peran agama di era sain dan teknologi ini?
Ditengah-tengah menara gading ilmu pengetahuan dan
teknologi, ternyata agama masih mengambil peran strategis. Anomaly yang lahir
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata masih menyisakan
peran bagi agama. Para penikmat Ilmu dan teknologi kini terjebak pada rutinitas
sains dan paradigma ilmiah yang menjadikan dirinya sebagai “robot” bahkan budak
ilmu pengetahuan. Lambat laun, mereka mendambakan sentuhan lembut agama dan
spiritualitas. Fenomena ini kini merebak diseluruh negara pengagum teknologi,
bahkan di Indonesia sendiri fenomena tersebut mulai nampak, khususnya pada
masyarakat kelas menengah dan atas di perkotaan.
Secara historis, keberadaan (eksistensi) agama
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia disetiap jenjang peradaban. Agama
selalu hadir menjadi obat penawar bagi “kejenuhan” dalam kehidupan manusia,
termasuk di era modern seperti sekarang ini. Agama hadir mengisi ruang kosong
yang ditinggalkan peradaban luhur “akal” manusia.
Dua problematika yang di hadapi di era modern
seperti sekarang ini bisa menjadi pemicu bagi para penganut agama untuk bisa
merubah pola-pikir dan cara pandang agama sebagai obat penawar, bukan menjadi
pemicu konflik. Agama lagi-lagi ditantang eksistensinya ditengah-tengah hiruk
pikut sain dan teknologi. Memang tidak mudah, tetapi harus dimulai. Kini dan di
sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar