Jumat, 23 November 2012

PROBLEMATIKA AGAMA DI ERA MULTIKULTURAL


Oleh: Maman Lukmanul Hakim, M.Ag.[1]
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. an-Nahl: 125).

Maraknya kekerasan yang timbul di masyarakat akhir-akhir ini disinyalir bernuansa SARA, baik agama, suku maupun ras. Hal ini terjadi mengingat setiap kelompok/ golongan memiliki doktrin dan anggapan sebagai kelompok yang paling unggul dan benar. Anggapan inilah yang mendorong komunitas menjadi lebih permisif dan mudah tersinggung, sehingga melahirkan gesekan dan konflik sosial. Suku, ras dan agama sebagai identitas tak terpisahkan dari proses interaksi sosial. SARA menjadi media identifikasi diri di tengah-tengah pluralitas dan heterogenitas. Identitas tersebut kemudian terinternalisasi dalam diri yang merefleksi dalam sikap dan prilaku kehidupan sehari-hari.  

Dalam terminologi filsafat, identitas diri dan orang lain sering didefinisikan dalam eksistensi biner. Eksistensi biner mengandaikan adanya “aku” dan “kamu” dalam posisi yang saling berhadapan (oposisi biner). Oposisi biner sebagai cara pandang terhadap orang lain ini, membawa konsekuensi sosial; bagaimana subjek mendefinisikan dirinya dan memandang serta memberlakukan “yang lain” (the other). Prinsip keyakinan, pandangan hidup, agama dan suku yang menjadi identitas diri melahirkan sikap yang merasa diri paling benar dan sebaliknya memandang rendah (salah) orang lain bahkan meniadakan eksistensinya. Oleh kerena itu dalam era multikultural ini mengakui adanya perbedaan saja tidaklah cukup, akan tetapi lebih dari  itu yakni mengakui dan memberi ruang bagi eksistensi yang lain. Koeksistensi yang dibangun di atas trusth dan kebersamaan seharusnya menjadi pijakan dalam membangun kehidupan di era multikultural ini..

Pluralisme dan multikulturaisme sebagai babak baru peradaban manusia didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi membuka ruang, sekat dan batas budaya menjadi satu, sehingga kini manusia hidup di ruang penuh keragaman. Pelbagai budaya, suku, ras, agama dan ideologi-ideologi asing kini hidup di tengah-tengah kita, perlahan tapi pasti mengaburkan identitas diri. Fenomena ini tentu menuntut individu untuk bersikap arif, bijak dan hati-hati terhadap eksistensi yang lain (the other).

Sikap dan perilaku ini tidaklah mudah, mengingat sebuah masyarakat tentu memiliki tata nilai, norma dan standar kebenaran yang selama ini dipegang. Moral dan tata nilai ini bersumber dari budaya, ras/ suku bahkan agama. Tata nilai ini sering dijadikan standar dalam menilai pihak lain (the other), sehingga yang lain di luar komunitasnya  berada dalam posisi yang salah. Wal hasil, cara pandang seperti ini menimbulkan ketegangan  dan perselisihan. Lebih jauh lagi melahirkan konflik yang melibatkan banyak masa (social conflict). Pada era multikultur seperti ini, agama (termasuk Islam) menghadapi beberapa persoalan atau masalah baru.



Problematika Agama; antara Definisi dan Eksistensi

Masalah utama yang kini dihadapi agama-agama di era pluralisme dan multikulturalisme ini adalah problematika definisi. Di satu sisi, agama memiliki doktrin kebenaran mutlak hanya ada pada agamanya, dan yang lain dianggap menyimpang/ salah. Pada sisi yang lain, dia dihadapkan pada pluralitas keagamaan yang juga memiliki standar kebenaran tersendiri. Bahkan kebenaran agama lain (the other) juga bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Kebenaran agama lain (the other) juga bersandar pada kitab suci atau wahyu yang memiliki standar mutlak, karena kebenaran itu diyakini datang dari Tuhan. Problem inilah yang sering melahirkan konflik. Atas nama Tuhan dan agama, mereka tega memerangi dan membunuh manusia yang lain. Melakukan tindakan diskrimnatif, intimidasi dan teror terhadap komunitas lain dengan dalih menegakan “kebenaran”.

Untuk menghindari konflik yang bernuansa SARA, terlebih khusus persoalan agama, maka perlu usaha serius dari semua pihak untuk bisa memahami dan menghargai yang lain. Kita harus menyadari bahwa di samping sistem nilai yang kita pegang, ada pula sistem nilai lain yang juga memiliki standar kebenaran yang tidak diragukan lagi. Untuk membangun sikap inklusif ini, perlu kiranya keterbukaan dan kesadaran semua pihak akan eksistensi (agama) yang lain (the other), sehingga tercapai tatanan kehidupan yang harmonis.

Oleh kerena itu, re-definisi terhadap persoalan teologi mesti fokus kajian bagi para pemuka agama. Teologi yang harus dikembangkan di era pluralisme dan multikulturalisme adalah teologi inklusif. Teologi inklusif adalah sebuah pemahaman yang mengakui, memahani dan menghormati eksistensi/ faham dan sistem nilai lain yang hidup bersama-sama tata nilai yang kita pegang. Tata nilai yang lain itu tidak disikapi sebagai musuh yang akan merongrong eksistensi kita, tapi sebaliknya disikapi sebagai tata nilai yang akan menguatkan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Persoalan lain yang juga dihadapi agama hari ini adalah problem eksistensi. Eksistensi agama sebagai pemengang otoritas kebenaran mulai dipertanyakan. Kemajuan sain dan teknologi tentu berkorelasi negative dengan eksistensi agama. Manusia tidak lagi tergantung pada agama sebagai rujukan, akan tetapi sudah beralih ke sain dan ilmu pengetahuan yang dianggapnya lebih rasional dan bisa menjawab persoalan secara nyata. Banyak hal yang dulunya merupakan ranah (otoritas) agama dan hanya bisa dijawab oleh agama, kini bergeser menjadi ranah ilmu pengetahuan, sain dan teknologi. Agama seolah telah hilang nilai kesucian dan kesakralannya. Pertanyaannya kemudian, dimana lagi makna dan peran agama di era sain dan teknologi ini?

Ditengah-tengah menara gading ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata agama masih mengambil peran strategis. Anomaly yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata masih menyisakan peran bagi agama. Para penikmat Ilmu dan teknologi kini terjebak pada rutinitas sains dan paradigma ilmiah yang menjadikan dirinya sebagai “robot” bahkan budak ilmu pengetahuan. Lambat laun, mereka mendambakan sentuhan lembut agama dan spiritualitas. Fenomena ini kini merebak diseluruh negara pengagum teknologi, bahkan di Indonesia sendiri fenomena tersebut mulai nampak, khususnya pada masyarakat kelas menengah dan atas di perkotaan.

Secara historis, keberadaan (eksistensi) agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia disetiap jenjang peradaban. Agama selalu hadir menjadi obat penawar bagi “kejenuhan” dalam kehidupan manusia, termasuk di era modern seperti sekarang ini. Agama hadir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan peradaban luhur “akal” manusia.

Dua problematika yang di hadapi di era modern seperti sekarang ini bisa menjadi pemicu bagi para penganut agama untuk bisa merubah pola-pikir dan cara pandang agama sebagai obat penawar, bukan menjadi pemicu konflik. Agama lagi-lagi ditantang eksistensinya ditengah-tengah hiruk pikut sain dan teknologi. Memang tidak mudah, tetapi harus dimulai. Kini dan di sini.







[1] Mahasiswa S3 Religiuos Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan penggiat QALAM Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar