Rabu, 28 November 2012

DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK NAHDLATUL ULAMA



dan Proses Sosialisasinya, 1970-2001

Studi atas Pembaruan Pemikiran Politik NU
 Asep S. Muhtadi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach). Pendekatan ini dipandang relevan karena karakteristik masalahnya yang unik dari realitas sosial dan dunia tingkah laku yang dapat mewakili informasi atau data yang dianalisisnya. Melalui pendekatan kualitatif ini juga dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata baik tertulis maupun lisan dari sejumlah orang dan perilaku yang dapat diamati. Dari sisi kejamaahannya, baik pada tingkat elit (elite level) maupun akar rumput (grassroot level), organisasi massa NU merupakan lembaga komunitas keagamaan yang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan komunitas tersebut terutama bersumber dari manusia beragama itu sendiri yang pada hakikatnya merupakan makhluk psikis, sosial dan budaya. Ketika memerankan fungsi-fungsi sosial politik, misalnya,  mereka tidak bisa menyandarkan tindakannya hanya atas etika sosial politik yang berlaku dan disepakati, tetapi juga selalu terikat pada doktrin-doktrin ajaran agama anutannya.
Selain itu, untuk menemukan hubungan-hubungan antar fakta yang muncul mengikuti perjalanan NU dari waktu ke waktu, penelitian ini juga menghimpun informasi tentang peristiwa-peristiwa sebelumnya, terutama untuk mengungkapkan fenomena komunikasi politik NU pada masa-masa yang lalu. Sejak awal Orde Baru -- dan bahkan sejak kelahirannya tahun 1926 -- NU selalu terlibat secara dinamis dalam pergumulan politik Indonesia dengan argumentasi dan latar belakang yang dipandangnya sesuai dengan peta sejarah pada masing-masing zamannya. Hal ini, salah satunya, dapat dilukisjelaskan dengan menggunakan informasi masa lalu. Sejalan dengan peristiwa-peristiwa yang dilaluinya, pendekatan politik juga digunakan untuk melakukan telaah terhadap pertimbangan-pertimbangan kekuasaan dalam kaitannya dengan eksistensi  dan peran partisipatif politik NU. Pendekatan ini dipandang perlu terutama untuk melihat relasi-relasi kekuasaan yang diperankan NU dalam konteks kehidupan politik secara nasional.

Sabtu, 24 November 2012

PANDANGAN TEOLOGI MU’TAZILAH




A.    PENDAHULUAN
Dalam percaturan Ilmu kalam/ Teologi Islam dikenal pelbagai aliran atau faham dalam teologi. Aliran dalam Ilmu kalam ini lahir setelah terjadinya pertempuran antara Ali dan Muawiyah. Setelah terjadinya tahkim (perjanjian damai antara kedua belah pihak yang diawali oleh pihak Muawiyah) yang kemudian memberikan kekuasasaan pada pihak Muawiyah, ada sekelompok orang dari golongan Ali yang tidak sepakat dengan hasil tahkim tersebut. Kemudian mereka ke luar dari pengikutnya Ali dan menganggap bahwa Ali dan pengikutnya serta kelompok Muawiyah dan siapa saja yang terlibat dalam tahkim berdosa besar dan hukumnya kafir. Kelompok ini dalam teologi/ Kalam disebut dengan Khawarij.
Bermula dari khawarij ini kemudian berkembang lagi aliran yang mencoba untuk menetlalisir pandangan Khawarij dengan mencoba menyerahkan segala urusan termasuk Tahkim kepada Allah SWT. Mereka ini disebut golongan Murji’ah. Dari dua kelompok ini bekembang lagi beberapa aliran diantarnya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Ironisnya, persoalan-persoalan aqidah/ teologi dalam Islam, itu lahir dari persoalan-persoalan politik. Peristiwa Tahkim yang itu murni persoalan politik, bisa berkembang jauh menjadi persoalan aqidah/ teologis. Inilah realitas historis yang harus kita sikapi secara kritis. 

Identitas Diri Anggota Funk

<a title="View JURNAL_PDF Punk Bandung on Scribd" href="http://www.scribd.com/doc/114321564/JURNAL-PDF-Punk-Bandung" style="margin: 12px auto 6px auto; font-family: Helvetica,Arial,Sans-serif; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 14px; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal; -x-system-font: none; display: block; text-decoration: underline;">JURNAL_PDF Punk Bandung</a><iframe class="scribd_iframe_embed" src="http://www.scribd.com/embeds/114321564/content?start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-2hggl1bw3elehwm013d3" data-auto-height="true" data-aspect-ratio="0.708333333333333" scrolling="no" id="doc_99107" width="100%" height="600" frameborder="0"></iframe>

Jumat, 23 November 2012

ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA



ETIKA KEPEMIMPINAN SUNDA
(Dialektika Agama dan Nilai-Nilai Filosofis Sunda)





Diajukan untuk memenugi syarat dalam melajutkan studi S3 pada program studi Religious Studies pada PPS. UIN Sunan Gunung Djati Bandung











Oleh:
Maman Lukmanul Hakim












BANDUNG
2012



REORIENTASI GERAKAN TAJDID MUHAMMADIYAH



ABSTRAK
Tajdid merupakan proses yang tidak perhan berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif. Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin”, agama yang senantiasa sesuai disetiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara normanivitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks (al-Qur’an dan as-Sunnah).
 

Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani dan ‘irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antara teks dan kontes, sehingga menghadirkan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”.

KEY WORD
Tajdid, Paradigma, Bayani, Burhani, ‘Irfani, Manhaj Tarjih

PROBLEMATIKA AGAMA DI ERA MULTIKULTURAL


Oleh: Maman Lukmanul Hakim, M.Ag.[1]
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. an-Nahl: 125).

Maraknya kekerasan yang timbul di masyarakat akhir-akhir ini disinyalir bernuansa SARA, baik agama, suku maupun ras. Hal ini terjadi mengingat setiap kelompok/ golongan memiliki doktrin dan anggapan sebagai kelompok yang paling unggul dan benar. Anggapan inilah yang mendorong komunitas menjadi lebih permisif dan mudah tersinggung, sehingga melahirkan gesekan dan konflik sosial. Suku, ras dan agama sebagai identitas tak terpisahkan dari proses interaksi sosial. SARA menjadi media identifikasi diri di tengah-tengah pluralitas dan heterogenitas. Identitas tersebut kemudian terinternalisasi dalam diri yang merefleksi dalam sikap dan prilaku kehidupan sehari-hari.  

Dalam terminologi filsafat, identitas diri dan orang lain sering didefinisikan dalam eksistensi biner. Eksistensi biner mengandaikan adanya “aku” dan “kamu” dalam posisi yang saling berhadapan (oposisi biner). Oposisi biner sebagai cara pandang terhadap orang lain ini, membawa konsekuensi sosial; bagaimana subjek mendefinisikan dirinya dan memandang serta memberlakukan “yang lain” (the other). Prinsip keyakinan, pandangan hidup, agama dan suku yang menjadi identitas diri melahirkan sikap yang merasa diri paling benar dan sebaliknya memandang rendah (salah) orang lain bahkan meniadakan eksistensinya. Oleh kerena itu dalam era multikultural ini mengakui adanya perbedaan saja tidaklah cukup, akan tetapi lebih dari  itu yakni mengakui dan memberi ruang bagi eksistensi yang lain. Koeksistensi yang dibangun di atas trusth dan kebersamaan seharusnya menjadi pijakan dalam membangun kehidupan di era multikultural ini..

Pluralisme dan multikulturaisme sebagai babak baru peradaban manusia didorong oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi membuka ruang, sekat dan batas budaya menjadi satu, sehingga kini manusia hidup di ruang penuh keragaman. Pelbagai budaya, suku, ras, agama dan ideologi-ideologi asing kini hidup di tengah-tengah kita, perlahan tapi pasti mengaburkan identitas diri. Fenomena ini tentu menuntut individu untuk bersikap arif, bijak dan hati-hati terhadap eksistensi yang lain (the other).

Sikap dan perilaku ini tidaklah mudah, mengingat sebuah masyarakat tentu memiliki tata nilai, norma dan standar kebenaran yang selama ini dipegang. Moral dan tata nilai ini bersumber dari budaya, ras/ suku bahkan agama. Tata nilai ini sering dijadikan standar dalam menilai pihak lain (the other), sehingga yang lain di luar komunitasnya  berada dalam posisi yang salah. Wal hasil, cara pandang seperti ini menimbulkan ketegangan  dan perselisihan. Lebih jauh lagi melahirkan konflik yang melibatkan banyak masa (social conflict). Pada era multikultur seperti ini, agama (termasuk Islam) menghadapi beberapa persoalan atau masalah baru.

‘URF VERSUS SYARI’AH; Dialektika Agama dengan Budaya




Oleh: Maman Lukmanul Hakim[1]
Muqaddimah
Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Tujuannya adalah untuk saling mengenal Q.S. 49 (al-Hujurat) :13. Namun demikian, kita juga akan menemukan dalam al-Qur’an bahwa secara esensial manusia dan kemanusiaan  adalah satu (Kana al-nās ummah wāhidah) seperti terdapat dalam Q.S. 2:213, 10:19, 21:92, 22:52. Kemudain terjadi keberagaman seperti yang disinggung ayat di atas disebabkan interaksi dengan ruang dan waktu yang berbeda-beda, maka aktualisasi prilaku, adat, tradisi dan kebudayaan pun menjadi beragam. Dan karena manusia hidup dalam multi ruang dan waktu, maka kompleksitas adat kebiasaan, tradisi, tata nilai menjadi sesuatu yang niscaya dan kodrati. Dan seperti yang diungkapkan Jakob Sumarjo bahwa “hidup dalam ruang waktu tertentu dengan tata nilai yang lain merupakan pengkhianatan terhadap kodratnya sendiri” (Jakob Sumarjo: 2002). Manusia hidup di dunia bersamaan dengan masanya, budayanya dan adat kebiasaannya.
Oleh karena itu, keberagaman dalam kehidupan manusia merupakan keniscayaan sejarah yang tak bisa dibantah, termasuk dalam wilayah agama dan pemahaman keagamaan. Hal ini sering menimbulkan kesalahfahaman diantara penganut agama. Persoalan lain timbul ketika agama sering dihadapkan dengan budaya/ adat, yang seolah-olah bertentangan satu sama lainnya. Secara historis dialektika antara agama dan budaya mengalami berbagai bentuk, mulai dari yang harmonis, sampai konflik antara “penjaga” kesucian agama dengan “penjaga” kelestarian budaya.
Di era pluralisme dan multikulturalism ini, dialektika antara agama dan budaya sudah tidak bisa dihindari lagi. Untuk itu, diperlukan “cara pandang” baru yang bisa mengharmonisken hubungan keduanya. Cara pandang (paradigma) ini harus bisa melihat keduanya sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan manusia, sehingga satu sama lain saling melengkapi dan tidak saling menegasikan.