ABSTRAK
Tajdid merupakan proses yang tidak perhan berhenti. Ia akan
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam
ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di
tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif. Islam seringkali dimaknai
penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin”, agama yang
senantiasa sesuai disetiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya,
seringkali dihadapkan pada dilema antara normanivitas teks dengan realitas
sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah adalah cara pandang
terhadap teks (al-Qur’an dan as-Sunnah).
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga
paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani dan ‘irfani. Ketiga
paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antara teks dan kontes, sehingga
menghadirkan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”.
KEY WORD
Tajdid, Paradigma, Bayani,
Burhani, ‘Irfani, Manhaj Tarjih
A.
Latar
Belakang
Pengetahuan dan peradaban
manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai
bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami
pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak
terlepas dari biangkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah
yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Oleh karena itu, pergeseran paradigm (shifting paradigm) merupakan
tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan konstektual bahkan berdaya
guna. Ilmu pengetahuan termasuk juga agama, bila membuktikan dirinya sebagai
bagian dari peradaban dan historisitas manusia yang senan tiasa berubah dan
berkembang.
Perkembangan peradaban manusia
kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme. Agama-agama
yang selama ini mapan dengan dirinya, teryata mengalami problemketika ketika berhadapan
dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu maka, harus ada
redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senatiasa relevan
dengan peradaban manusia (Mohammad Sabri: 1995: 35-46)
Tantangasn selanjutnya adalah
datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal (little
tradition). Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan (grand
culture), berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat
masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal (local
wisdom) yang secara turun-temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai
satu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya
(kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan.
Dalam konteks Muhammadiyah,
meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang mutlak dilakukan. Sikap
Muhammadiyah terhadap persoalan budaya misalnya, lebih bersifat monolitik.
Kecenderungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah
yakni gerakan Islam murni, disamping identitas lainnya sebagai gerakan
modernisme.
Sadar akan kelemahan itu, maka
Muhammadiyah mencoba untuk merumuskan ulang pandangan teologisnya, terutama
pandangannya mengenai kebudayaan. Pilihan teologi yang monolitik terhadap
persoalan budaya ini kemudian dikaji ulang. Wacana ini merebak mengiringi
Muktamar di Banda Aceh pada tahun 1995. Momentum ini menjadi tonggak awal
Muhammadiyah untuk merumuskan strategi gerakan dan dakwah (nalar gerakan),
sehingga selalu relevan dengan kebutuhan zman. Konsekuensinya, seluruh bangunan
paradgmatik yang selama ini dipegang Muhammadiyah mengalami pergeseran dan
penyempurnaan. Tajdid (pembaharuan) sebagai nalar gerakan Muhammadiyah bisa
masuk pada ranah epistemologi gerakan, sehingga Muhammadiyah bisa mengkritisi
sirinya sendiri.
B.
Perumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana model gerakan
tajdid Muhammadiyah?
2.
Bagaimana prinsip dan
karakteristik tajdid dalam Muhammadiyah?
3.
Metodologi apa yang
digunakan dalam reorientasi gerakan tajdid Muhammadiyah?
C.
Muhammadiyah
dan Gerakan Tajdid
1.
Pengertian
Tajdid
Secara bahasa (etimologi)
tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid
(pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid
berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran
ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun
eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1). Dalam
pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui
interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap
ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan
dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha
yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan
historisitas kehidupan manusia.
Dalam konteks Muhammadiyah,
tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan
kaum muslimin untuk kembali kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid
dalam perspektif Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh
Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan
bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari
praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap
syirik. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni
(Lihat Azhar Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan
bahwa Muhammadiyah mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab,
dinamisasi di tengah-tengah arus utama umat Islam yang terkungkung dalam
belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti
dari pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat al-Maun yang
dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR
1990: 43)
2.
Prindip
Dasar Tajdid
Secara garis besar, prinsip
dasar pembaharuan Islam termasuk Muhammadiyah setidaknya terdapat dua unsur
yang saling berkaitan. Pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an
dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci dengan menemukan
substansi ajaran baik yang bersifat aqidah maupun dengan penerapan praksisnya. Kedua,
upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan
pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman yang kontemporer.
Dalam kaitan dengan
pembaharuan (tajdid), terdapat lima agenda penting yang menjadi focus
Muhammadiyah dengan melakukan gerakannya, yaitu:
a.
Tajdid al-Islam yang
menyangkut tandhifal-aqidah yaitu purifikasi terhadap ajaran Islam
(Sujarwanto 1990: 232). Tandhifal-aqidah ini berusaha untuk membersihkan
ajaran-ajaran Islam dari unsur takhayul, bid’ah dan khurafat
(TBC).
b.
Pembaharuan yang
menyangkut masalah teologi. Dalam bidang teologi, Muhammadiyah sudah sewajarnya
untuk mengkaji ulang konsep-konsep teologi yang lebih responsif dan tanggap
terhadap persoalan zaman. Pembaharuan yang dilakukan adalah untuk membicarakan
persoalan-persoalan kemanusiaan, di samping persoalan-persoalan ke-Tuhanan.
c.
Karena Islam menyangkut
persoalan dunia dan akherat, ideologi dan pengetahuan serta dimensi yang
menyangkut kehidupan manusia, maka tajdid diorientasikan pada pengembangan
serta peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia (Islam).
d.
Pembaharuan Islam
mengangkut organisasi. Gerakan umat Islam harus rapi, terorgansir dan memiliki
manajemen yang professional, sehingga mampu bersaing dengan yang lainnya.
e.
Pembaharuan dalam
bidang etos kerja. Point ini juga menjadi focus perhatian Muhammadiyah karena
etos kerja umat Islam saat berdirinya Muhammadiyah sangat rendah.
3.
Karakteristik
Tajdid Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, tajdid
sudah merupakan nalar dan karekter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid
sudah menjadi tema yang mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam
kenyatannya, gerakan tajdid muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing
merupakan tanggapan terhadap persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya.
Persoalan yang dimaksud muncul dalam bentuk, pertama, tantangan
kemunduran umat Islam dan yang kedua, tantangan yang muncul dari
kemajuan umat Islam. (Maryadi Abdullah 2000: 26). Atas dasar itu, maka tajdid
mengemban amanah sebagai berikut:
a.
Mengembalikan semua
bentuk keagamaan kepada contoh masa awal Islam. Hal ini dilakukan untuk membentengi keyakinan aqidah
Islam serta bentuk-bentuk ibadah yang lain yang berasal dari ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini
dinamakan dengan purifikasi.
b.
Dengan landasan
universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat zaman dengan perkembangan
kehidupan manusia. Dalamm hal ini, biasanya dilakuakan pada aspek-aspek
non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan, muamalah, dan persoalan-persoslan
kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal dengan gerakan modernisasi atau
dinamisasi.
Kerangka tersebut sesuai
dengan rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah
pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan formulasi ini, maka
Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama,
pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua,
pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke
depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja
dalam persyarikatan Muhammadiyah (BRM
1997: 47-48).
Dialektika epistmologi ini
berkembang dengan kontektualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin,
sehingga selalu sesuai dengan semangat perubahan yang terjadi di masyarakat.
Kontektualisasi merupakan upaya dialogis antara agama yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh teks suci/ wahyu, dengan realitas kesejarahan manusia
(sosio-historis) yang terbingkai dalam ranah budaya atau peradaban. Kedua
dimensi ini diharapkan bisa berjalan berdampingan seningga membentuk simponi
sosial yakni humanitas, dan religiusitas.
D. Kerangka Metodologi
Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya, metodologi
adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah
diperlukan pendekatan (logic of axplanation and logic of discovery),
berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang
dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani sesuai
dengan objek kajiannya-apakah teks, ilham atau ralitas berikut seluruh masalah-masalah
yang menyangkut aspek trans-historis, trans-kultural dan trans-religius.
Pemikiran keislaman Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang
sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial,
mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Muhammadiyah juga berusaha membuka
ruang bagi keragaman pemikiran. Setidaknya ada tiga kecenderungan besar
pemikiran dalam Muhammadiyah yaitu: pertama, arus pemikiran keagamaan rasional humanis
(Mutoharun Jinan 2000: 45). Kelompok ini menyerukan agar Muhammadiyah tidak
terpaku pada pemahaman agama yang sempit, doktrinan dan rijid. Kedua, arus
pemikiran keagamaan yang spiritual mistik. (Mutoharun Jinan 2000: 45). Pola
pemikiran semacam ini dipelopori oleh kaum muda Muhammadiyah. Wacana spiritual
di Muhammadiyah melahirkan liberalism pemikiran dan pemahaman islam yang justru
masuk ke jantung agama (the heart of
religion). Ketiga, kecenderungan pemikiran yang formalism-spiritual.
(Mutoharun Jinan 2000: 46) Model pemikiran ini, menjadi mainstream pemikiran di Muhammadiyah dengan gerakan purifikasinya.
Pola yang dikembangkan golongan formalisme spiritual adalah dengan melalui
pendekatan bayani yang sangat literal-rekstualis.
Untuk menjebatani ragam
pemikiran ini, Muhammadiyah harus lebih akomodatif dan terbuka terhadap tiga
ragam pemikiran yang berkembang tersebut. Ketiga pemikiran ini selayaknya
dipertentangkan, tetapi harus dipelihara serta dipertautkan secara kritis
dialektis, sehingga bisa saling melengkapi serta saling menutupi kekurangan
satu sama lain.
Untuk itu, Muhammadiyah
merumuskan manhaj pemikiran islam dengan memadukan ketiga pendekatan yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga pendekatan ini akan
dijelaskan kemudian. Paradigma bayani, bisa mewakili pemikiran yang
formalistic-spiritual. Paradigm burhani, mewakili pola rasional humanistic. Dan
paradigm ‘irfani bisa mengakomodir pemikiran yang memiliki corak spiritual
mistik.
1.
Pendekatan
Bayani
Paradigma bayani (penerapan
analisius tekstual), diharapkan dapat menggali landasan normative al-Qur’an dan
sunnah serta dapat mengungkapkan kandungan makna teks normative tersebut,
sehingga memberikan relevansi hukum (Hendar Riyadi 2003: PR 24 Februari).
Formulasi ideologis dari nalar bayani adalah teks-teks kitab suci yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah, sebab untuk menguasai pesan agama tentunya harus
menguasai bahasa Arab (Ahmad Baso 2009: 79), sebagai bahasa yang digunakan
dalam kitab suci (al-Qur’an dan sunnah).
Pendekatan bayani ini lebih
banyak digunakan oleh para puqaha;
mutakalimin dan Ushuliyin. Bayani
adalah pendekatan untuk: pertama, memahami dan menganalisa teks guna
menemukan tau mendapatkan makna yang dikandung dalam atau (dikehendaki) lafdz, Kedua, istinbath hukum-hukum dari Al-nusus diniyah dan Al-Qur’an pada khususnya.
Dalam pendekatan bayani,
pendekatan teks demikian kuat, maka peran akal hanya bebas sebagai alat
pembenaran atau justifikasi atas teks
difahami atau diinterpretasikan.
2.
Pendekatan
Burhani
Burhani adalah pengetahuan
yang diperoleh dari indera, perabaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan
rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan
rasio melalui instrument logika, (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses
dan lain-lain) dan metode diskursif (bathiniyah)
(Ahmad Baso 2009: 79). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan
hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani ini,
teks dan realitas berada dalam satu wilayah yang mempengaruhi. Teks tidak
berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan realitas yang mengelilingi dan mengadakannya,
sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Karena burhani menjadikan
realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dengan pendekatan ini, ada dua
ilmu penting yaitu ilmu al-lisan dan
ilmu al-mantiq. Yang pertama
membicarakan lafz-lafz, kafiyah, susunan,
dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang
dapat digunakan untuk menyampaikan makna serta cara merangkainya dalam diri
manusia. Kedua, ilmu al-mantiq
membahas tentang mufradhat dan susunan yang dengan itu dapat disampaikan segala
sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu
tersebut, atau apa yang mungkin mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum
dirinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk
menentukan cara kerja akal, atau cara menacapai kebenaran yang mungkin
diperoleh darinya.
Oleh karena itu, untuk
memahami realitas kehidupan keagamaan dan sosial ke-Islaman, menjadi lebih
memadai bila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), seperti yang menjadi ketetpan Munas Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang (BRM 2002).
Pendekatan sosiologi digunakan
dalam pemikiran Islam digunakan untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari
sudut pandang interaksi antar anggota masyarakat. dengan metode ini, konteks
sosial suatu perilaku keberaagamaan dapat didekati secara lebih tepat dengan
metode ini pula dapat dilakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat
untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta
budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga
dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah)
yang erata kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, konsep-konsep,
nilai-nilai dan pandangan-pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati
idealitas masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula membutuhkan
kesinambungan sejarah (histories).
Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan
yang akan dating berada dalam satu kaitan yang dalam satu kesatuan gerak yang
uth (kontinutas dan perubahan). Kesatuan gerak ini berguna agar pembaharuan
pemikiran Islam di Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada jejak
kesinambungan historis antara pemikiran Islam lama yang baik dengan lahirnya
pemikiran keIslaman yang baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam
pendekatan burhani, empat pendekatan—tarikhiyyah,
sosiulujiyyah, thaqafiyyah, dan antrufulujiyah—berada
dalam satu posisi yang saling berhubungan secara dialektika dan saling
membentuk jaringan keilmuan.
Yang menjadi titik tekan dalam
nalar burhani adalah korespondensi; yakni kesesuaian antara rumusan-rumusan
yang diciptakan akal manusia dengan hukum-hukum alam (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-ta’biah) (Amin Abdullah
2001). Disamping itu juga ada aspek koherensi yaitu keruntutan dan keteraturan
berpikir logis dan upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan rumusan-rumusan dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun
akal manusia.
3.
Pendekatan
‘Irfani
Sementara itu, melalui
pendekatan ‘irfani (perenialis-ersoteris-intuitif)
diharapkan mampu mengungkap hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan
konteks (Hendar Riyadi 2003: PR 24 Februari). ‘Irfan mencoba untuk mencari
makna hakikat dibalik sebuah teks. Dan ini tidak dapat dilakukan oleh paradigm
bayani dan burhani tadi. ‘Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain: ‘ilmu atau ma’rifah, metode ilham
dan kashf yang telah dikenal jauh
sebelum Islam, para ahli al-‘irfan
mempermudah masalah ini melalui pembeciraannya mengenai, al-naql dan al-tawzif;
upaya menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ibrah-nya untuk memperbanyak makna. Jadi, pendekatan ‘irfan adalah
salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifin dan ’arifin untuk mengeluarkan makna batin dari lafz dan ibrah; ‘irfan
juga merupakan istinbath al-ma’rifah
al-qalbiyah dari Al-Qur’an (Hendar Riyadi 2003).
Pendekatan ‘irfan adalah
pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrument pengenalan batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan
intuisi. Sedangkan metode yang
digunakan meliputi manhaj kashfi, dan
manhaj ikhtisafi. manhaj kashfi disebut
juga manhaj ma’rifah yang tidak
menggunakan inder atau akal, tetapi kashf dengan riyadh
dan mujahadah. Manhaj ikhtisafi
disebut juga al-mumathilah (analogi) yaitu metode untuk menyikap dan menemukan
rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup:
pertama, analogi berdasarkan angka
atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dan seterusnya. Kedua, tamthil yang
meliptui silogisme dan induksi. Dan Ketiga,
surah dan askhal.
Pendekatan ‘irfani juga
menolak atau menghindar dari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun
tidak berusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannnya dari
persoalan-persoalan agama dan dengan ‘irfani pula irfaniyyun lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak
dibalik sya’riah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah, wa al-ramziyah).
Dengan memperhatikan dua metode diatas, dapat diketahui bahwa sumber
pengetahuan dalam ‘irfan mencakup ilham/ intuisi dan teks (yang dicari makna
batinnya melalui ta’wil) (Amin
Abdullah 2002).
Contoh kongkrit dari
pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah
ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bathiniyah) harus dipadu secara kreatif, harmonis
dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah
aldhawuqiyyah). Dengan perpaduan tersebut, pengetahuan yang diperoleh
menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasul SAW. dalam menerima wahyu Al-Qur’an merupakan contoh
kongkrit dari pengetahuan ‘irfan. Namun dengan keyakinan yang dipegang selama
ini, ‘irfan dikembangkan dalam kerangka ittiba’al-rasul.
Implikasi ‘irfan dalam konteks
pemikiran Islam, adalah menghampiri agama-agama pada tataran subtantif dan
esensi spiritualitasnya dan menggabungkannya dengan penuh kesadaran akan adanya
pengalaman keagamaan orang lain (the
ortheness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi
dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan pada Tuhan yang trans-historis,
trans-historis, dan trans religious dibagi dengan rasa empati dan simpati
kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan
terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang
disinari oleh pancaran fitrah illahiyah.
Ketiga pendekatan itu,
dirumuskan Muhammadiyah guna lebih mengembangkan pola gerakan tajdid yang lebih
dinamis dan peka zaman. Ketiga pendekatan di atas memiliki hubungan yang erat,
sehingga tidak bisa digunakan salah satunya dengan tidak yang lainnya. Hubungan
ini bisa membentuk lingkaran dialogis yang melingkar (sirkular-dialektika). Memahami teks (bayani) tidak terlepas dari
pemahaman konteks, tidak terlepas dari pemahaman teks itu sendiri. Sementara
pemahaman makna terdalam (‘irfani) memerlukan pemahaman terhadap teks dan
konteks sekaligus.
Berikut digambarkan
hubungannya yang dialektis antara ketiga nalar tadi yakni bayani, burhani,
‘irfani.
Gambar 2
Model Hubungan
Sirkural-Dialektis
E. Langkah Operasional
Pengembangan Pemikiran Islam
Tiga pendekatan di atas adalah
warisan yang tak ternilai harganya dalam khazanah pemikiran Islam. Ketiga
pendekatan ini pula masih banyak dipergunakan para pengkaji Islam dikalangan
Islam itu sendiri (insider), dan
sebahagian dikalangan non-muslim (out
sider). Ada perkembangan menarik dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu
terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana muslim dari berbagai kalangan untuk
mengupayakan adanya proses pemanduan pemahaman. Para cendikiawan melihat ada
peluang dan kemungkinan-kemungkinan menggabungkan ketiga pendekatan tadi dalam
upaya memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi
dan menerima antar pendekatan (al-akhdu
wal al-‘ita’ bainal manahij), kesinambungan (al-ittisal), saling mempengaruhi (al-ihtikak) dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istidam).[1]
Sebagaimana yang termaktub dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan,
wilayah pemikiran keagamaan hanya bertumpu pada pada wilayah kala, falsafah,
tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi permasalahan dalam pemikiran Islam
kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas, tetapi, jauh lebih
kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktek-praktek
sosial keislaman serta tekanan pada wilayah etika dan moralitas (akhlak). Oleh
karena itu, pemikiran kontemporer perlu memahami seluruh realitas persoalan
keislaman kontemporer dalam kerangka mengantisipasi gerak perubahan zaman, era
industrialisasi, dan globalisasi budaya dan agama.
Pembaharuan (tajdid) dan
perkembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan-persoalan
sosial keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sain dan
tekhnologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika, bio tekhnologi, serta
isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia
(HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spritualitas keagamaan,
penguatan kesadaran moralitas public, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar
agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagaamaan
dalam bidang pendidikan serta pengajaran serta isu-isu kontemporer lainnya yang
bersifat kekini-kinian.
Apabila pada wilayah
pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana
bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara bayani,
burhani, dan ‘irfani? Setelah memperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas,
langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan pola
hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis
hubungan antara ketiganya, yaitu parallel, linier, dan spiral (Ahmad Baso 2002:
.)
Jika bentuk hubungan antara
ketiganya dipilih dalam bentuk parallel, dimana masing-masing ketiga bentuk
pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan
yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang
akan diraih juga akan minim. Bentuk hubungan parallel mengasumsikan bahwa dalam
diri seorang muslim terdapat tiga jensi metodologi berdiri sendiri dan tidak
berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika lebih
memungkinkan berada pada wilayah bayani, maka digunakan pendekatan bayani dan
tidak berani memberi masukan dan hasil temuan pendekatan metodologi keislaman
yang lain, yaitu burhani dan ‘irfani. Meskipun demikian, sekecil apapun hasil
yang diperoleh dari metode hubungan yang bersifat parallel ini, masih jauh
lebih baik dari pada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal
jenis metodelogi lainnya.
Sedangkan hubungan linier,
pada akhirnya adalah kebuntuan, karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola
pendekatan linier mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi
tersebut menjadi primadona. Seorang muslim akan menafikan masukan yang
diberikan / disumbangkan oleh metodologi lain, karena lebih menyukai salah satu
metodo dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang dipilih dianggap
sebagai sebuah pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada
gilirannya akan menghantarkan seorang pada kebuntuan. Doktrin keilmuan yang
terpilah-pilah itu, dimana tradisi berfikir bayani, tidak akan mengenal tradisi
berfikir burhani atau’irfani dan begitu sebaliknya.(Ahmad Baaso 2002)
Hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Model hubungan pararel Model hubungan
linier
Jika diamati, maka akan Pada Akhirnya akan ada
satu
Berjalan masing-masing kecenderungan,
paradigma tertentu
Tabel 3
Pola Hubungan Bayani, Burhani dan ‘Irfani
Keduanya baik yang parallel
maupun yang linier bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) bagu muat Islam
diera kontemporer. Pendekatan parallel tidak akan membawa wawasan dan gambaran
baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya
sendiri-sendiri dan itulah yang dikenal dengan istilah truth claim (klaim kebenaran atau monopoli kebenaran). Sedangkan
pendekatan linier yang mengasumsikan adanya finalitas akan menjebak seseorang
atau kelompok pada situasi-situasi eklusif-folmes.
Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer baru dapat membenarkan seorang
muslim pada pilihan antara satu dari kedua pendekatan di atas. Kedua pilihan
tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan ‘kematangan religiusitas’
seseorang apalagi kelompok. Hubungan yang lebih baik antara keduanya adalah
hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan
keilmuan yang digunakan dalam pemikiran ke-Islam-an sadar dan memahami
keterbatasn, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing. Dan
sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan
begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidakpastian, dan kesalahan yang ada pada
masing-masing metodologi, dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh
masukan dari pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Corak hubungan yang
bersifat spiral tidak menunjukan adanya finalitas dan ekslusivitas, karena
finalitas dalam kasus-kasus tertentu hanya menghantarkan seseorang dan kelompok
muslim pada jalan buntu (dead lock)
yang cenderung menyebabkan ketidak harmonisan hubungan antara sesama muslim.
Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possiblelitas
(kemungkinan-kemungkinan baru) yang lebih kondusif untuk menjawab
persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
Dengan mengadopsi tiga
paradigma bayani burhani dan ‘irfani ini, gerak langkah Muhammadiyah sebagai
organisasi yang berwatak tajdid semakin leluasa. Alur gerakan purifikasi dalam
tubuh Muhammadiyah juga bisa dikaji ulang, terutama relevansi dan efektivitas
dakwahnya menghadapi era pluralisme dan multikulturalisme ini. Perubahan
paradigm gerakan ini, berdampak pada munculnya arah gerakan baru di
Muhammadiyah untuk mengkaji ulang dialektika agama dan budaya yang cenderung
monolitik. Gerakan ini bermuara pada upaya post-puritanisme Muhammadiyah yang
lebih berpandangan multikulturalistik terhadap persoalan-persoalan budaya
(tradisi).
F.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan beberapa hal antara lain:
1.
Model gerakan tajdid Muhammadiyah
termaktub dalam rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada
wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan foemulasi
ini, maka Muhammadiyah menyatanaj bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama,
pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua,
pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke
depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja
dalam persyarikatan Muhammadiyah.
2.
Prinsip dasar tajdidi
di Muhammadiyah adalah pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an
dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci. Kedua, upaya
untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan
pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman.
3.
Reorientasi yang
dilakukan Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan yakni bayani, burhani dan
‘irfani. Paradigma ‘irfanimerupakan langkah baru yang dipakai Muhammadiyah
dalam melakukan gerakan tajdid.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Baso, Kritik Nalar Al-Jabiri : Sumber,
Batas-batas, dan Manifestasi, Jurnal Teks, Vol. I Tgl. 1 Maret 2002,
Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan
Keislaman, 1993, MIZAN, Bandung.
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, edisi
Senin 24 Februari 2003.
Ibnu Salim dkk, Studi
Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, 1998, LSI UMS, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Ke Arah Perubahan Paradigma Kitab Suci, Jurnal
Al-JAmiah Vol. 39, Juli-Desember 2001.
Maryadi Abdulah Aly, Muhammadiyah
dalam Kritik, 2000, Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta.
Mohamad Sabri, Keberagamaan yang
Saling Menyapa; Perpektif Filsafat Perenial, 1995, ITTAQA Press, Yogyakarta.
Mutoharun
Jinan, Dialektika Muhammadiyah dengan
Budaya Lokal, dalam kompas edisi September 2000.
Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan
Doktrin dan Keagamaan Umat, 1997, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sukrianto AR. Dan Abdul Munir Mulkhan, Pergumulan
Pemikiran dalam Muhammadiyah , 1990, SIPRES, Yogyakarta.
Sujarwanto, Haidar Nashir, dkk., Muhammadiyah
dan Tanangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, 1990, Tirta Wacana,
Yogyakarta.
Tanfizh
Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah XXII, Berita Resmi Muhammadiyah No Khusus,
1990.
PP
Muhammadiyah, Tahfidz Keputusan Munas
Tarjih Tahun 2002, Berita Resmi Muhammadiyah No. 22 thn. 2002 Edisi
Djulhizah 1422 H / Maret 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar