Jumat, 23 November 2012

REORIENTASI GERAKAN TAJDID MUHAMMADIYAH



ABSTRAK
Tajdid merupakan proses yang tidak perhan berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif. Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin”, agama yang senantiasa sesuai disetiap tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara normanivitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks (al-Qur’an dan as-Sunnah).
 

Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni bayani, burhani dan ‘irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antara teks dan kontes, sehingga menghadirkan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”.

KEY WORD
Tajdid, Paradigma, Bayani, Burhani, ‘Irfani, Manhaj Tarjih



A.       Latar Belakang
Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak terlepas dari biangkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigm (shifting paradigm) merupakan tuntutan sejarah, sehingga senantiasa relevan dan konstektual bahkan berdaya guna. Ilmu pengetahuan termasuk juga agama, bila membuktikan dirinya sebagai bagian dari peradaban dan historisitas manusia yang senan tiasa berubah dan berkembang.
Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme. Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, teryata mengalami problemketika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senatiasa relevan dengan peradaban manusia (Mohammad Sabri: 1995: 35-46)
Tantangasn selanjutnya adalah datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal (little tradition). Agama sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan (grand culture), berhadapan dengan sistem nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal (local wisdom) yang secara turun-temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai satu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan perpecahan.
Dalam konteks Muhammadiyah, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang mutlak dilakukan. Sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya misalnya, lebih bersifat monolitik. Kecenderungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam murni, disamping identitas lainnya sebagai gerakan modernisme.
Sadar akan kelemahan itu, maka Muhammadiyah mencoba untuk merumuskan ulang pandangan teologisnya, terutama pandangannya mengenai kebudayaan. Pilihan teologi yang monolitik terhadap persoalan budaya ini kemudian dikaji ulang. Wacana ini merebak mengiringi Muktamar di Banda Aceh pada tahun 1995. Momentum ini menjadi tonggak awal Muhammadiyah untuk merumuskan strategi gerakan dan dakwah (nalar gerakan), sehingga selalu relevan dengan kebutuhan zman. Konsekuensinya, seluruh bangunan paradgmatik yang selama ini dipegang Muhammadiyah mengalami pergeseran dan penyempurnaan. Tajdid (pembaharuan) sebagai nalar gerakan Muhammadiyah bisa masuk pada ranah epistemologi gerakan, sehingga Muhammadiyah bisa mengkritisi sirinya sendiri.

B.       Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.      Bagaimana model gerakan tajdid Muhammadiyah?
2.      Bagaimana prinsip dan karakteristik tajdid dalam Muhammadiyah?
3.      Metodologi apa yang digunakan dalam reorientasi gerakan tajdid Muhammadiyah?

C.       Muhammadiyah dan Gerakan Tajdid
1.       Pengertian Tajdid
Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1). Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan historisitas kehidupan manusia.
Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang dianggap syirik. Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)



2.      Prindip Dasar Tajdid
Secara garis besar, prinsip dasar pembaharuan Islam termasuk Muhammadiyah setidaknya terdapat dua unsur yang saling berkaitan. Pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci dengan menemukan substansi ajaran baik yang bersifat aqidah maupun dengan penerapan praksisnya. Kedua, upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman yang kontemporer. 
Dalam kaitan dengan pembaharuan (tajdid), terdapat lima agenda penting yang menjadi focus Muhammadiyah dengan melakukan gerakannya, yaitu:
a.       Tajdid al-Islam yang menyangkut tandhifal-aqidah yaitu purifikasi terhadap ajaran Islam (Sujarwanto 1990: 232). Tandhifal-aqidah ini berusaha untuk membersihkan ajaran-ajaran Islam dari unsur takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC).
b.      Pembaharuan yang menyangkut masalah teologi. Dalam bidang teologi, Muhammadiyah sudah sewajarnya untuk mengkaji ulang konsep-konsep teologi yang lebih responsif dan tanggap terhadap persoalan zaman. Pembaharuan yang dilakukan adalah untuk membicarakan persoalan-persoalan kemanusiaan, di samping persoalan-persoalan ke-Tuhanan.
c.       Karena Islam menyangkut persoalan dunia dan akherat, ideologi dan pengetahuan serta dimensi yang menyangkut kehidupan manusia, maka tajdid diorientasikan pada pengembangan serta peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia (Islam).
d.      Pembaharuan Islam mengangkut organisasi. Gerakan umat Islam harus rapi, terorgansir dan memiliki manajemen yang professional, sehingga mampu bersaing dengan yang lainnya.
e.       Pembaharuan dalam bidang etos kerja. Point ini juga menjadi focus perhatian Muhammadiyah karena etos kerja umat Islam saat berdirinya Muhammadiyah sangat rendah.


3.      Karakteristik Tajdid Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, tajdid sudah merupakan nalar dan karekter gerakan umat Islam. Oleh karena itu, tajdid sudah menjadi tema yang mendarah daging pada pendiri Muhammadiyah. Dalam kenyatannya, gerakan tajdid muncul dalam pelbagai bentuk, yang masing-masing merupakan tanggapan terhadap persoalan yang terjadi dinamisasi lingkungannya. Persoalan yang dimaksud muncul dalam bentuk, pertama, tantangan kemunduran umat Islam dan yang kedua, tantangan yang muncul dari kemajuan umat Islam. (Maryadi Abdullah 2000: 26). Atas dasar itu, maka tajdid mengemban amanah sebagai berikut:
a.       Mengembalikan semua bentuk keagamaan kepada contoh masa awal Islam. Hal ini  dilakukan untuk membentengi keyakinan aqidah Islam serta bentuk-bentuk ibadah yang lain yang berasal  dari ajaran-ajaran di luar Islam. Gerakan ini dinamakan dengan purifikasi.
b.      Dengan landasan universalitas Islam, tajdid dimaksudkan sebagai upaya untuk mengeimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan semangat zaman dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalamm hal ini, biasanya dilakuakan pada aspek-aspek non-ibadah, seperti sosial kemasyarakatan, muamalah, dan persoalan-persoslan kemanusiaan yang lainnya. Gerakan ini dikenal dengan gerakan modernisasi atau dinamisasi.
Kerangka tersebut sesuai dengan rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan formulasi ini, maka Muhammadiyah menyatakan bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua, pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah (BRM  1997: 47-48).
Dialektika epistmologi ini berkembang dengan kontektualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga selalu sesuai dengan semangat perubahan yang terjadi di masyarakat. Kontektualisasi merupakan upaya dialogis antara agama yang dalam hal ini direpresentasikan oleh teks suci/ wahyu, dengan realitas kesejarahan manusia (sosio-historis) yang terbingkai dalam ranah budaya atau peradaban. Kedua dimensi ini diharapkan bisa berjalan berdampingan seningga membentuk simponi sosial yakni humanitas, dan religiusitas.

D.      Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya, metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of axplanation and logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani sesuai dengan objek kajiannya-apakah teks, ilham atau ralitas berikut seluruh masalah-masalah yang menyangkut aspek trans-historis, trans-kultural dan trans-religius. Pemikiran keislaman Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Muhammadiyah juga berusaha membuka ruang bagi keragaman pemikiran. Setidaknya ada tiga kecenderungan besar pemikiran dalam Muhammadiyah yaitu: pertama, arus pemikiran keagamaan rasional humanis (Mutoharun Jinan 2000: 45). Kelompok ini menyerukan agar Muhammadiyah tidak terpaku pada pemahaman agama yang sempit, doktrinan dan rijid. Kedua, arus pemikiran keagamaan yang spiritual mistik. (Mutoharun Jinan 2000: 45). Pola pemikiran semacam ini dipelopori oleh kaum muda Muhammadiyah. Wacana spiritual di Muhammadiyah melahirkan liberalism pemikiran dan pemahaman islam yang justru masuk ke jantung agama (the heart of religion). Ketiga, kecenderungan pemikiran yang formalism-spiritual. (Mutoharun Jinan 2000: 46) Model pemikiran ini, menjadi mainstream pemikiran di Muhammadiyah dengan gerakan purifikasinya. Pola yang dikembangkan golongan formalisme spiritual adalah dengan melalui pendekatan bayani yang sangat literal-rekstualis.
Untuk menjebatani ragam pemikiran ini, Muhammadiyah harus lebih akomodatif dan terbuka terhadap tiga ragam pemikiran yang berkembang tersebut. Ketiga pemikiran ini selayaknya dipertentangkan, tetapi harus dipelihara serta dipertautkan secara kritis dialektis, sehingga bisa saling melengkapi serta saling menutupi kekurangan satu sama lain.
Untuk itu, Muhammadiyah merumuskan manhaj pemikiran islam dengan memadukan ketiga pendekatan yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga pendekatan ini akan dijelaskan kemudian. Paradigma bayani, bisa mewakili pemikiran yang formalistic-spiritual. Paradigm burhani, mewakili pola rasional humanistic. Dan paradigm ‘irfani bisa mengakomodir pemikiran yang memiliki corak spiritual mistik.

1.         Pendekatan Bayani
Paradigma bayani (penerapan analisius tekstual), diharapkan dapat menggali landasan normative al-Qur’an dan sunnah serta dapat mengungkapkan kandungan makna teks normative tersebut, sehingga memberikan relevansi hukum (Hendar Riyadi 2003: PR 24 Februari). Formulasi ideologis dari nalar bayani adalah teks-teks kitab suci yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, sebab untuk menguasai pesan agama tentunya harus menguasai bahasa Arab (Ahmad Baso 2009: 79), sebagai bahasa yang digunakan dalam kitab suci (al-Qur’an dan sunnah).
Pendekatan bayani ini lebih banyak digunakan oleh para puqaha; mutakalimin dan Ushuliyin. Bayani adalah pendekatan untuk: pertama, memahami dan menganalisa teks guna menemukan tau mendapatkan makna yang dikandung dalam atau (dikehendaki) lafdz, Kedua, istinbath hukum-hukum dari Al-nusus diniyah dan Al-Qur’an pada khususnya.
Dalam pendekatan bayani, pendekatan teks demikian kuat, maka peran akal hanya bebas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks difahami atau diinterpretasikan.

2.        Pendekatan Burhani
Burhani adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, perabaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrument logika, (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses dan lain-lain) dan metode diskursif (bathiniyah) (Ahmad Baso 2009: 79). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Dalam pendekatan burhani ini, teks dan realitas berada dalam satu wilayah yang mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan realitas yang mengelilingi dan mengadakannya, sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dengan pendekatan ini, ada dua ilmu penting yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kafiyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna serta cara merangkainya dalam diri manusia. Kedua, ilmu al-mantiq membahas tentang mufradhat dan susunan yang dengan itu dapat disampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum dirinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara menacapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan keagamaan dan sosial ke-Islaman, menjadi lebih memadai bila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), seperti yang menjadi ketetpan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang (BRM 2002).
Pendekatan sosiologi digunakan dalam pemikiran Islam digunakan untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antar anggota masyarakat. dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberaagamaan dapat didekati secara lebih tepat dengan metode ini pula dapat dilakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erata kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan-pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati idealitas masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula membutuhkan kesinambungan sejarah (histories). Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan yang akan dating berada dalam satu kaitan yang dalam satu kesatuan gerak yang uth (kontinutas dan perubahan). Kesatuan gerak ini berguna agar pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada jejak kesinambungan historis antara pemikiran Islam lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keIslaman yang baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam pendekatan burhani, empat pendekatan—tarikhiyyah, sosiulujiyyah, thaqafiyyah, dan antrufulujiyah—berada dalam satu posisi yang saling berhubungan secara dialektika dan saling membentuk jaringan keilmuan.
Yang menjadi titik tekan dalam nalar burhani adalah korespondensi; yakni kesesuaian antara rumusan-rumusan yang diciptakan akal manusia dengan hukum-hukum alam (al-mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-ta’biah) (Amin Abdullah 2001). Disamping itu juga ada aspek koherensi yaitu keruntutan dan keteraturan berpikir logis dan upaya yang terus-menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan rumusan-rumusan dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun akal manusia.

3.        Pendekatan ‘Irfani
Sementara itu, melalui pendekatan ‘irfani (perenialis-ersoteris-intuitif) diharapkan mampu mengungkap hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks (Hendar Riyadi 2003: PR 24 Februari). ‘Irfan mencoba untuk mencari makna hakikat dibalik sebuah teks. Dan ini tidak dapat dilakukan oleh paradigm bayani dan burhani tadi. ‘Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain: ‘ilmu atau ma’rifah, metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam, para ahli al-‘irfan mempermudah masalah ini melalui pembeciraannya mengenai, al-naql dan al-tawzif; upaya menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ibrah-nya untuk memperbanyak makna. Jadi, pendekatan ‘irfan adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifin dan ’arifin untuk mengeluarkan makna batin dari lafz dan ibrah; ‘irfan juga merupakan istinbath al-ma’rifah al-qalbiyah dari Al-Qur’an (Hendar Riyadi 2003).
Pendekatan ‘irfan adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrument pengenalan batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Sedangkan metode yang digunakan meliputi manhaj kashfi, dan manhaj ikhtisafi. manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah yang tidak menggunakan inder atau akal, tetapi kashf  dengan riyadh dan mujahadah. Manhaj ikhtisafi disebut juga al-mumathilah (analogi) yaitu metode untuk menyikap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: pertama, analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dan seterusnya. Kedua, tamthil yang meliptui silogisme dan induksi. Dan Ketiga, surah dan askhal.
Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindar dari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannnya dari persoalan-persoalan agama dan dengan ‘irfani pula irfaniyyun lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak dibalik sya’riah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah, wa al-ramziyah). Dengan memperhatikan dua metode diatas, dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irfan mencakup ilham/ intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil) (Amin Abdullah 2002).
Contoh kongkrit dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bathiniyah) harus dipadu secara kreatif, harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah aldhawuqiyyah). Dengan perpaduan tersebut, pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah. Pengalaman batin Rasul SAW. dalam menerima wahyu Al-Qur’an merupakan contoh kongkrit dari pengetahuan ‘irfan. Namun dengan keyakinan yang dipegang selama ini, ‘irfan dikembangkan dalam kerangka ittiba’al-rasul.
Implikasi ‘irfan dalam konteks pemikiran Islam, adalah menghampiri agama-agama pada tataran subtantif dan esensi spiritualitasnya dan menggabungkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the ortheness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan pada Tuhan yang trans-historis, trans-historis, dan trans religious dibagi dengan rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah illahiyah.
Ketiga pendekatan itu, dirumuskan Muhammadiyah guna lebih mengembangkan pola gerakan tajdid yang lebih dinamis dan peka zaman. Ketiga pendekatan di atas memiliki hubungan yang erat, sehingga tidak bisa digunakan salah satunya dengan tidak yang lainnya. Hubungan ini bisa membentuk lingkaran dialogis yang melingkar (sirkular-dialektika). Memahami teks (bayani) tidak terlepas dari pemahaman konteks, tidak terlepas dari pemahaman teks itu sendiri. Sementara pemahaman makna terdalam (‘irfani) memerlukan pemahaman terhadap teks dan konteks sekaligus.
Berikut digambarkan hubungannya yang dialektis antara ketiga nalar tadi yakni bayani, burhani, ‘irfani.


 









Gambar 2
Model Hubungan Sirkural-Dialektis


E.       Langkah Operasional Pengembangan Pemikiran Islam
Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam khazanah pemikiran Islam. Ketiga pendekatan ini pula masih banyak dipergunakan para pengkaji Islam dikalangan Islam itu sendiri (insider), dan sebahagian dikalangan non-muslim (out sider). Ada perkembangan menarik dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemanduan pemahaman. Para cendikiawan melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan menggabungkan ketiga pendekatan tadi dalam upaya memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi dan menerima antar pendekatan (al-akhdu wal al-‘ita’ bainal manahij), kesinambungan (al-ittisal), saling mempengaruhi (al-ihtikak) dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istidam).[1] Sebagaimana yang termaktub dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan, wilayah pemikiran keagamaan hanya bertumpu pada pada wilayah kala, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi permasalahan dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas, tetapi, jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktek-praktek sosial keislaman serta tekanan pada wilayah etika dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, pemikiran kontemporer perlu memahami seluruh realitas persoalan keislaman kontemporer dalam kerangka mengantisipasi gerak perubahan zaman, era industrialisasi, dan globalisasi budaya dan agama.
Pembaharuan (tajdid) dan perkembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan-persoalan sosial keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sain dan tekhnologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika, bio tekhnologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas public, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagaamaan dalam bidang pendidikan serta pengajaran serta isu-isu kontemporer lainnya yang bersifat kekini-kinian.
Apabila pada wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara bayani, burhani, dan ‘irfani? Setelah memperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu parallel, linier, dan spiral (Ahmad Baso 2002: .)
Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk parallel, dimana masing-masing ketiga bentuk pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim. Bentuk hubungan parallel mengasumsikan bahwa dalam diri seorang muslim terdapat tiga jensi metodologi berdiri sendiri dan tidak berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika lebih memungkinkan berada pada wilayah bayani, maka digunakan pendekatan bayani dan tidak berani memberi masukan dan hasil temuan pendekatan metodologi keislaman yang lain, yaitu burhani dan ‘irfani. Meskipun demikian, sekecil apapun hasil yang diperoleh dari metode hubungan yang bersifat parallel ini, masih jauh lebih baik dari pada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodelogi lainnya.
Sedangkan hubungan linier, pada akhirnya adalah kebuntuan, karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linier mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut menjadi primadona. Seorang muslim akan menafikan masukan yang diberikan / disumbangkan oleh metodologi lain, karena lebih menyukai salah satu metodo dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang dipilih dianggap sebagai sebuah pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya akan menghantarkan seorang pada kebuntuan. Doktrin keilmuan yang terpilah-pilah itu, dimana tradisi berfikir bayani, tidak akan mengenal tradisi berfikir burhani atau’irfani dan begitu sebaliknya.(Ahmad Baaso 2002)
Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Model hubungan pararel                                  Model hubungan linier











 










Jika diamati, maka akan                        Pada Akhirnya akan ada satu
Berjalan masing-masing               kecenderungan, paradigma  tertentu

Tabel 3
Pola Hubungan Bayani, Burhani dan ‘Irfani


Keduanya baik yang parallel maupun yang linier bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) bagu muat Islam diera kontemporer. Pendekatan parallel tidak akan membawa wawasan dan gambaran baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang dikenal dengan istilah truth claim (klaim kebenaran atau monopoli kebenaran). Sedangkan pendekatan linier yang mengasumsikan adanya finalitas akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eklusif-folmes. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer baru dapat membenarkan seorang muslim pada pilihan antara satu dari kedua pendekatan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan ‘kematangan religiusitas’ seseorang apalagi kelompok. Hubungan yang lebih baik antara keduanya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran ke-Islam-an sadar dan memahami keterbatasn, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing. Dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidakpastian, dan kesalahan yang ada pada masing-masing metodologi, dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral tidak menunjukan adanya finalitas dan ekslusivitas, karena finalitas dalam kasus-kasus tertentu hanya menghantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidak harmonisan hubungan antara sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possiblelitas (kemungkinan-kemungkinan baru) yang lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
Dengan mengadopsi tiga paradigma bayani burhani dan ‘irfani ini, gerak langkah Muhammadiyah sebagai organisasi yang berwatak tajdid semakin leluasa. Alur gerakan purifikasi dalam tubuh Muhammadiyah juga bisa dikaji ulang, terutama relevansi dan efektivitas dakwahnya menghadapi era pluralisme dan multikulturalisme ini. Perubahan paradigm gerakan ini, berdampak pada munculnya arah gerakan baru di Muhammadiyah untuk mengkaji ulang dialektika agama dan budaya yang cenderung monolitik. Gerakan ini bermuara pada upaya post-puritanisme Muhammadiyah yang lebih berpandangan multikulturalistik terhadap persoalan-persoalan budaya (tradisi).
             
F.       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:
1.      Model gerakan tajdid Muhammadiyah termaktub dalam rumusan tarjih yang menyebutkan bahwa tajdid menyangkut pada wilayah pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (dianmisasi). Dengan foemulasi ini, maka Muhammadiyah menyatanaj bahwa tajdid meliputi tiga dimensi. Pertama, pemurnian aqidah dan ibadah serta pembentukan akhlakul karimah. Kedua, pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif, prograsif dan berwawasan ke depan. Dan ketiga, pengembangan kepemimpinan, organisasi dan etos kerja dalam persyarikatan Muhammadiyah.
2.      Prinsip dasar tajdidi di Muhammadiyah adalah pertama, seruan terhadap skriptualisme (al-Qur'an dan Sunnah) dengan menekankan otoritas mutlak teks suci. Kedua, upaya untuk mereinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan pemahaman-pemahaman baru seiring dengan tuntutan zaman. 
3.      Reorientasi yang dilakukan Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan yakni bayani, burhani dan ‘irfani. Paradigma ‘irfanimerupakan langkah baru yang dipakai Muhammadiyah dalam melakukan gerakan tajdid.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Baso, Kritik Nalar Al-Jabiri : Sumber, Batas-batas, dan Manifestasi, Jurnal Teks, Vol. I Tgl. 1 Maret 2002, 

Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, 1993, MIZAN, Bandung.

Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, edisi Senin 24 Februari 2003.

Ibnu Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, 1998, LSI UMS, Yogyakarta.

M. Amin Abdullah, Al-Ta’wil al-Ilmi : Ke Arah Perubahan Paradigma Kitab Suci, Jurnal Al-JAmiah Vol. 39, Juli-Desember 2001.

Maryadi Abdulah Aly, Muhammadiyah dalam Kritik, 2000, Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta.

Mohamad Sabri, Keberagamaan yang Saling Menyapa; Perpektif Filsafat Perenial, 1995, ITTAQA Press, Yogyakarta.

Mutoharun Jinan, Dialektika Muhammadiyah dengan Budaya Lokal, dalam kompas edisi September 2000.

Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, 1997, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sukrianto AR. Dan Abdul Munir Mulkhan, Pergumulan Pemikiran dalam Muhammadiyah , 1990, SIPRES, Yogyakarta.

Sujarwanto, Haidar Nashir, dkk., Muhammadiyah dan Tanangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, 1990, Tirta Wacana, Yogyakarta.

Tanfizh Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah XXII, Berita Resmi Muhammadiyah No Khusus, 1990.

PP Muhammadiyah, Tahfidz Keputusan Munas Tarjih Tahun 2002, Berita Resmi Muhammadiyah No. 22 thn. 2002 Edisi Djulhizah 1422 H / Maret 2002.





[1] Lihat, M. Amin Abdullah, Dinamika Islam… OP. Cit. hlm. 150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar