Rabu, 17 September 2014

AGAMA DAN POLITIK (Kasus ADS di Kuningan)




AGAMA DAN MASALAH PUBLIK

Menyusur Kisah dari Cigugur

                Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan  curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. [1] Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.

Kamis, 17 April 2014

KRITIK NALAR ISLAM


KRITIK NALAR ISLAM

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Masa renaisance  pada abad pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca peristiwa tersebut, weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi agama “gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari teosentris menjadi antroposentris. Otoritas kini berada pada diri manusia, dominasi agama “wahyu” berakhir dengan  kemampuan akal manusia. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massif, membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut dengan modernitas.
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa (Barat), berbanding terbalik dengan dunia Islam. Dunia Islam di masa ini tengah mengalami kemunduran peradaban. Oleh karena itu, secara tidak langsung moderenisasi Barat memberikan dampak hingga ke dunia Arab (Islam). Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan dunia Islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, dunia Islam sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas: Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain-lan. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dan lain-lan. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain-lan.[1]