AGAMA DAN MASALAH PUBLIK
Menyusur Kisah dari Cigugur
Cigugur adalah sebuah
desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau
bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan,
Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar
168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas
permukaan laut, dengan curah hujan
rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang
lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang
terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas
116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas
2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan,
jalan raya, pengairan, dan lain-lain. [1] Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi
peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.
Pada tahun 1848 di
tempat ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau
dikenal pula sebagai Madraisme
mengambil nama pendirinya, Pangeran
Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan
Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik
dengan kultur Islam.[2] Pada usia muda Pangeran Madrais
mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang
pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda
pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat.[3] Kisah
pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:
“…Dina burej keneh nalika juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna
masantren. Nanging kapaksa nunda teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib
(ilham) nu maparin pituduh mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira.
Teu talangke deui ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian,
mapaj-mapaj padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa
disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan
tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan, pamudjaan
djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun paguron2 taja
kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu jadi rasiah alam lahir bathin..” [4]
“… Ketika masih kecil, yaitu pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia
tinggal di pesantren. Namun terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib”
(ilham) yang memberi petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar
maupun kecil. Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum
sebagai tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat
itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan maksud
mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta alam, baik lahir
maupun batin...”
Pengembaraan
Pangeran Madrais merupakan babak
penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok
ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS
merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan
unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa
Barat seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung,
Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS
dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang tercatat dalam
buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000
orang.
Selama masa
penjajahan Belanda, Pangeran Madrais
dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal dan berbahaya. Pimpinan ADS
ditangkap untuk diadili di Kuningan dan di Tasikmalaya, namun kemudian
dibebaskan. Dari tahun 1901 sampai
1908 pimpinan ADS dibuang ke Meraoke dengan tuduhan sebagai pemberontak dan
pemeras rakyat.[5]
Setelah kembali dari pembuangan, pimpinan ADS membina kembali para pengikutnya,
yang ternyata menjadi semakin radikal dalam memperjuangkan dan melaksanakan
ajaran agamanya merki ditinggal oleh pemimpinnya. Pemerintah Belanda menganggap
ADS semakin berbahaya, karena itu Pangeran
Madrais kembali ditangkap dan dimasukan ke rumah sakit gila di Cikeumeuh,
Bogor. Penangkapan itu ternyata makin menambah solidaritas kelompok ADS untuk
tidak menyerah pada keadaan. Selama di rumah sakit jiwa Pangeran Madrais ADS tidak berhenti mengajar, meski yang diajarnya
adalah pasien penyakit jiwa. Melihat itu, pimpinan ADS dikeluarkan dari rumah
sakit tersebut karena pemerintah khawatir pasien rumah sakit terpengaruh oleh
ajarannya yang dianggap radikal. Namun demikian, pembebasan pimpinan ADS
tersebut disertai dengan ancaman agar tidak lagi melakukan kegiatan keagamaan.
Untuk tujuan tersebut, rumah kediaman pimpinan ADS, yang sekaligus merupakan
pusat kegiatan ADS, dijaga ketat selama duapuluh empat jam. Pada tahun 1926
semua petugas Belanda di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun
diperbolehkan lagi melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927
tata cara perkawinan ADS diakui secara hukum.[6]
Dari satu sisi masa-masa ini dapat dianggap sebagai masa cerah bagi
perkembangan ADS, karena mereka tidak mendapat rintangan dari pihak pemerintah Belanda, namun di sisi lain
merupakan awal kesulitan baru, karena muncul anggapan bahwa Pangeran Madrais dan ADS-nya bekerja
sama dengan - bahkan dianggap sebagai kaki tangan Belanda.
Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872
tahun Jawa, Pangeran Madrais yang
adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di
Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur.[7]
Kepemimpinan
ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran
Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat. Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada berbagai
tantangan berat. Pertama, waktu
Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais
dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van
der Plas semakin gencar. Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan
ADS dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan mempertimbangkan
keselamatan para penganutnya dari berbagai penganiayaan, pimpinan ADS yang baru
menyetujui penandatanganan surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta
keluarganya mengungsi ke Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. [8]Dari
tempat pengungsian tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para
pengikutnya untuk tetap bertahan atau menyerah. Semangat para penganut ADS
nampaknya tidak luntur dengan tekanan. Hal ini terbukti dengan pendirian
sebagian besar dari mereka yang tetap menyatakan kesetiaannya kepada ADS,
meskipun berada di bawah tekanan. Mereka menjemput pimpinan ADS dari tempat
pengungsiannya untuk dibawa kembali ke
Cigugur.
Para penganut ADS sering menganggap penindasan
penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang yang tak menyukai kehadiran
mereka. Anggapan tersebut memperburuk hubungan penganut ADS dengan umat Islam
setempat. Namun jika melihat strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan
Islam untuk kepentingan ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh
jadi penindasan terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat
Islam, namun lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti
yang juga dilakukan di Aceh. [9]
Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, Belanda
masih dua kali melakukan agresi militer. Pada tahun 1947 Cigugur kembali
dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21 Desember 1954, pusat kegiatan ADS
diserang dan dibakar oleh tentara DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal
karena hanya memusnahkan bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup
mengintimidasi. Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya
memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya dijalankan. Tahun
1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres Kebatinan Indonesia yang
disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut ADS dapat melakukan kegiatan
keagamaan mereka nyaris tanpa halangan.
Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia
dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS
ketika itu terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi pokoknya
membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri menjadi penganut
Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan ADS juga meminta para
pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan
maupun secara kolektif. Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai
akibat dari terbitnya Surat Keputusan Panitia
Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18
Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah
secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum. Penetapan
tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan
No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut memang tidak secara
langsung menyangkut pembubaran ADS, namun pada kenyataannya membuat kesulitan bagi
para penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus
berurusan dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah.
Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan tersebut menuntut para
penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum menurut tata cara agama tertentu.
Sebagai akibat peristiwa tersebut, terjadilah perpindahan masal para
penganut ADS menjadi penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah
kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai
dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang
bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi
umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang berarti, baik yang
datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Namun demikian, setelah
lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan kegiatannya, tepatnya pada tahun
1981 Pangeran Djatikusumah yang
adalah cucu Pangeran Madrais,
mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU. Secara
politis berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang mengakui eksistensi
aliran kepercayaan dalam wilayah hukum NKRI di samping lima agama yang telah
lama diakui secara resmi oleh negara. Setelah PACKU berdiri, sekitar 2.000
orang Katolik eks ADS di seluruh daerah keuskupan Bandung mengajukan surat
pernyataan mengundurkan diri dan keluar dari Katolik yang kemudian masuk
menjadi anggota PACKU. Surat pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap
jempol oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing
paroki. Peristiwa masuknya sebagian umat Katolik eks ADS menjadi anggota PACKU
dibarengi dengan terjadinya pertentangan, bukan saja pada tingkat perbedaan
pendapat melainkan juga pertentangan sikap dan tindakan, di antara mereka yang
masuk PACKU dan mereka yang tetap tinggal menjadi Katolik. Pertentangan
tersebut menemukan bentuknya yang tragis ketika hal tersebut terjadi di dalam
konteks keluarga. Sebagai ilustrasi, banyak suami-isteri yang mendadak ”perang
dingin” karena sang suami masuk PACKU tetapi isterinya tidak atau sebaliknya.
Ada pula kasus di mana kedua orangtua masuk PACKU tetapi anak-anaknya tidak,
karena begitu tegang hubungan mereka kedua orangtua tersebut tega menyetop uang
saku dan biaya sekolah anaknya yang ada di Bandung. Sebuah konflik internal
yang intens antar anggota keluarga mengenai suatu hal yang bersifat hakiki,
baik secara religius, ideologis maupun politis yang ternyata juga terdeteksi
oleh para perumus kebijakan negara.
Setahun setelah peristiwa tersebut, tanpa diduga pemerintah menganggap
PACKU sebagai neo-ADS yang telah
membubarkan diri pada tahun 1964, oleh karena itu PACKU kemudian dilarang
dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep.
44/K.2.3/8/82. Sebagai
akibat larangan tersebut, secara hukum status sekitar 2.000 orang penganut
PACKU tersebut menjadi ilegal dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically incorrect).
Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka segera kembali menjadi
Katolik yang diterima kembali dengan penuh curiga, sebagian kecil masuk Islam,
beberapa masuk Kristen Pasundan, sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta
keluarganya tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran
kepercayaan. Pada saat penelitian dilakukan pada tahun 1986, secara statistik,
jumlah mereka ada 350 orang yang dicatat dalam tabel kependudukan sebagai
kelompok lain-lain. [10] Meski saat ini jumlah
mereka tidak berkembang, namun baik secara politik dan secara hukum mereka
mempunyai ruang dan diakui sebagai bagian dari kekayaan masyarakat dan budaya
bangsa, khususnya sejak Abdurachman Wahid
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Untuk
mereka yang hirau dan giat memperjuangkan terwujudnya kerukunan antar umat
beragama di tanah air, kisah komunitas religius ADS dari Cigugur memberi
ilustrasi, betapa rentan dan sensitifnya akibat sebuah kebijakan negara ketika
melakukan intervensi dalam kehidupan beragama. Ada
dua kepentingan yang hampir tidak pernah mesra, kepentingan negara dan
kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat religius lokal seperti para
penganut ADS. Hampir semua kebijakan negara yang dibuat dalam kaitan dengan
para pemeluk ADS, baik kebijakan pemerintah kolonial Belanda, Jepang, maupun
Indonesia, hampir semuanya memihak pada kepentingan negara. Nyaris tidak ada
kebijakan negara yang menempatkan kepentingan para penganut ADS sebagai bagian
dari publik yang berhak mendapatkan
perlindungan dan pelayanan dari negara. Oleh karena itu, secara teoritik kasus
Cigugur juga menyisakan beberapa pertanyaan yang menarik sebagai bahan
permenungan secara akademik. Pertama,
apakah pengalaman iman seseorang atau suatu komunitas hanya merupakan urusan individu
atau komunitas bersangkutan, ataukah juga merupakan urusan publik yang menuntut
campur tangan negara? Kedua, jika hal
tersebut merupakan urusan publik, sejauh mana pemerintah dapat melakukan
intervensi melalui kebijakan publik? Ketiga,
secara strategis bagaimana intervensi tersebut harus dilakukan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kesadaran orang pada beberapa pemahaman
teoritik mengenai agama dengan berbagai aspeknya. Tulisan ini memfokuskan diri pada bagaimana agama
dengan berbagai aspeknya dapat difahami secara sosiologis, sehingga dapat
memahami segala implikasi yang mungkin terjadi, ketika sebuah intervensi harus
dilakukan.
Agama sebagai Kristalisasi Pengalaman Sakral
Membahas
fungsi agama tidak dapat dilepaskan dari refleksi tentang pengalaman hidup
manusia itu sendiri. Durkheim (1976:37) membedakan pengalaman manusia ke dalam pengalaman
yang suci (the sacred) dan pengalaman
yang biasa (the profane). Dalam
tulisan ini kedua pengalaman tersebut dikategorikan sebagai pengalaman yang sakral atau pengalaman iman dan pengalaman yang sekular. Kedua pengalaman tersebut berbeda satu sama lain, bahkan dalam
aspek tertentu bertentangan. Durkheim menempatkan pengalaman yang sakral ini di atas pengalaman sekular, jadi martabatnya lebih tinggi.
Menurut Durkheim pengalaman yang sakral
mempunyai ciri-ciri tersendiri, pertama,
pengalaman itu menyerukan suatu pengakuan atau kepercayaan pada kekuasaan dan
kekuatan (power and force) supra
natural yang menjadi inti dari sikap keberagamaan
atau ketakwaan. Kedua, pengalaman
sakral biasanya bersifat samar dan berwajah ganda (ambigue), bersifat fisik sekaligus moral, bersifat manusiawi tetapi
juga bersifat kosmik, beraura positif sekaligus negatif, memiliki jiwa pengasih
sekaligus pembenci, menarik dan sekaligus menyebalkan, bersifat menolong dan
sekaligus membahayakan manusia. Ketiga,
pengalaman sakral pada dasarnya tidak bersifat utilitarian yang mengandalkan
prinsip untung dan rugi. Keempat,
pengalaman sakral biasanya bersifat non empiris dan tidak terlalu melibatkan
ilmu pengetahuan (scientific knowledge)
yang dihasilkan melalui berbagai metodologi penelitiannya. Kelima, pengalaman yang sakral bersifat mendukung, memberi
kekuatan, menanamkan rasa hormat yang luhur serta mendatangkan kewajiban etis
bagi mereka yang mengalaminya.
Dari sisi yang lain dapat pula dikatakan, bahwa
pengalaman yang sakral berada di
dalam lingkup pengalaman manusia yang luar biasa dan, biasanya dialami terutama
pada saat manusia sampai pada batas kemampuannya atau suatu titik putus (breaking points). Dalam keadaan dimana
akal sehat dan ilmu pengetahuan sampai pada jalan buntu. Pada saat manusia
tidak mampu lagi memahami dan menjelaskan apa yang dialami, terutama apabila
manusia berhadapan dengan kekecewaan dan kematian. Dalam keadaan seperti itu,
manusia membutuhkan suatu transedensi bagi pengalaman-pengalaman tersebut, atau
apa yang disebut juga sebagai referensi
transendental. Proses transendensi tersebut dapat memberikan makna pamungkas atau terakhir bagi
kekecewaan dan rasa frustasi manusia. Dengan proses tersebut, manusia
dilepaskan dari keterikatannya terhadap apa yang terjadi ”kini dan di sini” dan manusia diberi harapan akan adanya kehidupan
lain di dunia ”sana dan kelak”. Di
dunia sana itulah manusia mendapat pembenaran terhadap apa yang dialaminya di
dunia sini.
Kepercayaan akan adanya sesuatu yang suci dan berada
di ”dunia sana” yang disebut pula
dunia adikodrati atau alam supranatural atau the beyond, pada hakekatnya lahir dari, pertama, pengalaman manusia untuk
berhadapan dengan hakekatnya yang paling dasar, yaitu, ketidakpastian yang mengancam
eksistensi dan keamanan diri yang berada di wilayah yang tak mampu dijangkau
dan diatasi oleh kemampuan manusiawi dan segenap akal budinya. Kedua, dari pengalaman hidup yang diliputi
oleh keterbatasan dan ketidakberdayaan yang melekat sejak lahir. Melalui proses
belajar memang kemampuan manusia meningkat, namun sampai titik tertentu, setiap
manusia akan menghadapi keterbatasan juga. Ketiga,
lahir sebagai akibat dari pengalaman manusia untuk hidup bersama dengan orang
lain. Hidup bersama menghasilkan masalah kelangkaan (scarsity) fasilitas serta sumber-sumber
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masalah ini memberi rasa kecewa dan mungkin penderitaan bagi mereka
yang tidak memperolehnya. Masalah kemiskinan adalah salah satu masalah sosial
yang muncul dari persoalan ini. Dan penderitaan semacam ini membutuhkan suatu
transendensi, sehingga manusia masih dapat bertahan hidup, sekalipun ia miskin.
Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut di atas
itulah dunia transendental masih dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Karena
pada hakekatnya manusia tidak dapat keluar dari persoalan tersebut, bahkan
manusia modern sekalipun. Dalam kaitan dengan pengalaman manusia semacam
itulah, agama secara berfungsi memberikan transendensi pengalaman-pengalaman
sehingga dapat dikatakan, bahwa pada hakekatnya agama adalah suatu pengalaman
manusia berhadapan dengan ”yang suci”.
Untuk menelaah pengalaman keagamaan tersebut terdapat dua kemungkinan, pertama, memandang pengalaman tersebut
sebagai sesuatu yang hanya dapat dialami secara kolektif. Kemungkinan kedua, memahami pengalaman sebagaimana
dialami oleh orang-orang secara perorangan. Oleh karena itu menurut Joachim
Wach (1984) ada dua cara untuk meneliti mengenai hakekat pengalaman keagamaan.
Cara pertama adalah dengan
menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte atau aliran pemikiran keagamaan itu
sendiri. Cara kedua adalah dengan
mengajukan pertanyaan dimana aku,
yaitu lingkungan potensial dimana pengalaman perseorangan berlangsung.
Wach (1984) yang juga dikutip oleh Hendropuspito
(1983: 78) menjelaskan lima kriteria yang menjadikan suatu pengalaman, dapat
dikatakan sebagai suatu pengalaman sakral atau pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan
suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai suatu realita mutlak. Realitas tersebut mempunyai ciri sebagai suatu
pengikat dan menentukan segala-galanya, maka pengalaman yang terbatas sifatnya
tidaklah dapat dianggap sebagai suatu pengalaman keagamaan, mungkin hanya
pengalaman pseudo agama. Kedua,
pengalaman keagamaan menyangkut suatu penghayatan yang di dalamnya terdapat
hubungan dinamis antara apa yang dihayati dengan orang yang menghayatinya. Ketiga, pengalaman keagamaan bersifat
sinambung (ada terus menerus), meskipun tidak tanpa terputus. Keempat, pengalaman keagamaan mempunyai
intensitas tertentu, pengalaman tersebut secara potensial adalah pengalaman
yang paling kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam yang sanggup dimiliki oleh
manusia, Terakhir, kelima, pengalaman
keagamaan diungkapkan di dalam perbuatan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai
motivasi dan dorongan yang kuat untuk berbuat sesuatu.
Agama sebagai Institusi Sosial
Secara sosiologis agama tidak hanya
dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan terhadap dunia adikodrati yang bersifat ilahi (belief
system) yang bersifat pribadi, namun juga berkaitan dengan nilai-nilai,
norma-norma, institusi-institusi, perilaku-perilaku, ritual-ritual dan
simbol-simbol yang bersifat sosial. Sampai tingkat tertentu, agama berkaitan erat dengan konstruksi sosial
dan budaya yang merupakan refleksi dari tatanan kehidupan masyarakat yang
mendukungnya. Pemahaman semacam itu dianut oleh pendukung faham fenomenologis
seperti Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966/1984). Dalam pandangan mereka semua realitas sosial, termasuk agama,
terbentuk sebagai hasil interaksi dialektis dari proses eksternalisasi - obyektivasi - dan internalisasi. Dalam buku mereka
yang berjudul The Social Construction of
Reality, Berger & Luckman
menyatakan, bahwa sebenarnya masyarakat adalah suatu gejala dialektis yang
merupakan produk manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut.
Baginya, tiada realitas yang tidak terbentuk secara sosial dan tidak ada apapun
yang tidak berdasar pada aktivitas dan kesadaran manusia. Namun pada akhirnya
manusia itu sendiri merupakan produk dari masyarakatnya.
Kerangka
pemikiran yang demikian itu dilanjutkan dalam buku mereka yang lain The Sacred Canopy (1969), yang kemudian
diterbitkan dengan judul yang lain, The
Social Reality of Religion. Menurut Berger selanjutnya, masyarakat telah ada sebelum seorang
individu lahir dan akan tetap ada ketika ia mati. Manusia tak akan hidup
terpisah dari masyarakatnya, dan demikian pula masyarakat tak akan ada tanpa
manusia-manusia yang mendukungnya. Keduanya merupakan suatu cerminan proses
dialektis yang inheren di dalam
gejala yang disebut masyarakat. Apabila karakter ini disadari, maka masyarakat
akan dapat dimengerti sebagai suatu kenyataan empiris secara lebih tepat.
Seperti telah disebutkan di muka proses dialektis tersebut terdiri dari tiga
tahap, yaitu tahap eksternalisasi, tahap
obyektivasi dan tahap internalisasi.
Proses
eksternalisasi adalah suatu proses pencurahan diri manusia ke dalam dunia ini.
Pencurahan tersebut terlaksana melalui suatu kegiatan, baik yang bersifat fisik
maupun yang bersifat mental. Proses tersebut dapat dipandang sebagai suatu
kebutuhan esensial bagi manusia sejak awal hidupnya sampai ia mati. Hal
demikian dapat dimengerti, karena suatu kehidupan manusia tidak dapat
dimengerti sebagai suatu sistem tertutup, ia membutuhkan suatu pencurahan ke
luar dirinya. Hal ini berdasar pada kenyataan, bahwa manusia dilahirkan sebagai
makhluk yang tidak sempurna sejak lahir (unfinished
at birth), makhluk yang harus mengembangkan dirinya secara terus menerus
baik secara fisik maupun mental. Dalam konteks ini, manusia harus membangun
dunia yang cocok dengan hakekat eksistensialnya, ia harus menciptakan dunianya
sendiri. Manusia tidaklah seperti makhluk-makhluk lain yang tercipta sesuai
dengan keadaan alam dimana ia hidup. Oleh karena itu, manusia tidak hanya
menciptakan benda-benda, ia juga menempatkan dirinya serta menyadari
keberadaannya. Peter Berger selanjutnya mengungkapkannya sbb: “… man not only produces a world, but he
produces himself. More precisely, he produces himself in a world.” (1969:
25). Sebagai akibat proses tersebut, manusia melahirkan kebudayaan atau culture,
yang oleh Berger dan Luckman dianggap sebagai hakekat manusia yang ke dua,
karena dalam konstalasi ini kebudayaan atau culture
adalah seluruh produk manusia. Oleh karena itu agama, dalam pandangan Berger,
adalah suatu non-material culture
yang dihasilkan oleh manusia, suatu usaha manusia dalam mana suatu dunia yang
suci didirikan.
Dalam perkembangan selanjutnya,
kebudayaan hasil ciptaan manusia itu, baik yang material maupun yang
immaterial, berubah menjadi suatu realitas yang berada di luar penguasaan
penciptanya (manusia). Realitas tersebut kemudian berubah menjadi suatu realitas objektif,
yang berada di luar diri manusia. Proses perubahan kebudayaan dari fakta subjektif
(yang berasal dari kesadaran manusia) menjadi fakta objektif disebut sebagai
proses objektivasi. Realitas objektif
yang merupakan hasil objektivasi secara sosial, dapat digunakan untuk menjaga
keteraturan di dalam masyarakat. Hal tersebut menghasilkan apa yang disebut
sebagai legitimasi. Dalam perjalanan sejarah, kata Berger, agama merupakan alat
lejitimasi yang amat efektif dan luas daya jangkauannya. Agama melejitimasikan
lembaga-lembaga sosial lainnya dengan cara menghubungkannya dengan yang suci serta realitas yang bersifat
kosmis. “…Religious
legitimation purports to relate the humanly defined reality to ultimate,
universal and secred reality”. (Berger, 1969:26)
Sebagaimana kebudayaan umumnya agama mempunyai fungsi sebagai rambu-rambu atau reminders bagi individu agar tidak
merusak keteraturan dan kesucian yang bersifat kosmis tadi. Legitimasi agama
nampak sangat jelas dan kuat terutama dalam situasi-situasi kritis, baik yang
menimpa individu seperti kematian, sakit, kemalangan, dan lain-lain, maupun
yang menimpa kelompok seperti perang dan malapetaka dan bencana alam.
Sehubungan dengan hal yang
dikemukakan di muka, maka masyarakat dapat dipandang sebagai suatu kumpulan
lembaga sosial yang mempunyai nilai dan normanya sendiri yang mengatur kehidupan
bersama. Norma dan nilai
tersebut diformulasikan dalam bentuk-bentuk peran yang harus dimainkan di dalam
masyarakat. Dengan memainkan peran tertentu, manusia menghadirkan suatu
obyektivitas institusional yang mungkin terpisah dari dirinya. Ia dapat mengenakan
dan menanggalkan peran tersebut seperti halnya memakai dan menanggalkan pakaian
atau benda-benda material lainnya. Namun yang jelas, begitu seseorang memainkan
peran tertentu sebagai suatu kenyataan obyektif, ia akan menyadari bahwa peran
tersebut akan mendikte apa yang harus
ia lakukan. Oleh karena itu, apabila ia mau melakukan peran itu dengan baik,
maka kenyataan objektif tadi harus ditarik ke dalam kesadaran dirinya menjadi
sesuatu yang bersifat internal. Upaya semacam itulah yang disebut sebagai
proses internalisasi, yakni
menjadikan sesuatu yang berada di luar diri menjadi internal. Di lihat dari
sisi lain, pada hakekatnya proses internalisasi tersebut adalah proses
sosialisasi juga, yakni menjadikan individu untuk hidup di dalam masyarakat.
Melalui proses sosialisasi, individu tidak hanya belajar arti benda-benda yang
telah mengalami obyektivasi, melainkan juga mengidentifikasi dan dibentuk
olehnya.
Konsisten
dengan itu, maka setiap individu yang masuk menjadi penganut agama tertentu
akan berhadapan dengan suatu lembaga agama sebagai suatu realitas obyektif. Ia
dituntut untuk berperilaku sesuai dengan nilai, norma, serta ritus agama yang
bersangkutan. Ia dituntut untuk melakukan sosialisasi
mengenai the things that have to be said
and the things that have to be done dari agama tersebut. Dari pembahasan di
atas, jelas bahwa agama sebagai sebuah institusi sosial memainkan peranan yang sangat
penting dalam sejarah kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Peran tersebut terwujud dalam tiga fungsi penting. Pertama, memberi perspektif
transendental terhadap pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menjadi 'rambu-rambu pengingat' reminders bagi setiap anggota masyarakat dalam menjaga keteraturan
sosial (nomos). Ketiga, menciptakan
solidaritas sosial di antara individu-individu di dalam suatu masyarakat.
Seperti
telah dibahas di muka, agama tidak hanya mempunyai akses terhadap, atau
merupakan kristalisasi pengalaman sakral manusia, baik secara pribadi maupun kolektif, tetapi juga ikut menentukan
corak kehidupan sosial lainnya seperti ekonomi. Dalam karyanya yang sangat
klasik, The Protestant Ethic and The
Spirit of Capitalism, Max Weber mengemukakan bahwa etika protestan ikut
mendorong lahir dan berkembangnya ekonomi kapitalisme. Agama juga ikut
mempengaruhi pembangunan tatanan politik berbagai masyarakat di dunia seperti
yang dibahas oleh Donald Eugene Smith (1985).
Bahkan di berbagai masyarakat, agama sering diidentikkan langsung dengan tatanan
masyarakat sendiri itu sendiri, karena agama dianggap sebagai refleksi dari
masyarakat yang mendukungnya. Perbedaan pandangan terhadap agama sebagai alat
legitimasi, sumber inspirasi dan motivasi berperilaku, menghasilkan penjelasan
yang masuk akal mengapa tingkat partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan
keagamaan. Konsep yang lazim digunakan untuk menjelaskan keterlibatan seseorang
dalam aktivitas keagamaan adalah kata regiusitas yang merupakan terjemahan
langsung dari kata religiosity. Dalam
kamus sosiologi (Theodorson and Theodorson, 1979:345), kata tesebut diberi arti
sebagai “…interest and participation in
religious activities…” Secara lebih operasional
kata religiusitas tersebut diartikan
sebagai tingkat partisipasi orang secara individual maupun kolektif dalam
upacara-upacara keagamaan atau dalam keseluruhan perilaku atau sikap yang
menjadikan seseorang atau sekelompok orang disebut saleh dan beragama.
Yang menjadi persoalan yang menarik secara teoritik adalah,
sejauh mana masyarakat modern masih melakukan hal-hal tersebut. Proposisi umum yang
disepakati banyak penstudi agama dalam masyarakat modern adalah, bahwa semakin
modern suatu masyarakat atau seseorang, semakin rendah tingkat religiusitasnya.
Pandangan radikal mengenai hal tersebut memformulasikannya dalam ungkapan
seperti 'god is dead’, bahkan Thomas
Altizer, seorang teolog radikal yang pendapatnya dikutip oleh Berger pernah
mengungkapkan, ”… kita harus menyadari
bahwa kematian Tuhan adalah kejadian sejarah, bahwa Tuhan telah mati di dunia
kita, dalam sejarah kita, dalam keberadaan kita.” (Berger, 1969:1) Namun sejauh mana proposisi-proposisi
itu benar secara empirik? Bukti-bukti yang ditemukan dalam penelitian sosiologis
tidak seluruhnya memberikan dukungan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Joseph
Tamney (1980), misalnya, menunjukkan hal yang sebaliknya, meskipun lingkup
penelitian tersebut terbatas di Australia. Meskipun kehadiran orang, khususnya
kaum muda, dalam berbagai ibadat di gereja sangat rendah, seperti yang dapat
disaksikan di Eropa saat ini, ada banyak bukti bahwa kaum muda di negara-negara
modern tersebut semakin banyak yang
terlibat dalam berbagai aksi nyata yang merupakan terjemahan dari nilai-nilai
religius.
Namun
demikian kecenderungan menurunnya religiusitas manusia dalam masyarakat modern,
bukanlah suatu hal yang mustahil. Kemajuan ilmu dan teknologi serta tingkat
rasionalitas manusia modern, memberikan ciri tersendiri bagi kehidupan
keagamaan. Kalaupun tidak menghilangkan sama sekali, namun hal tersebut
setidaknya memberikan suatu kemungkinan reinterpretasi dan transformasi segala
aktivitas keagamaan dan relevansinya bagi eksistensi manusia modern. Bagi kaum
religius, menurunnya tingkat religiusitas manusia modern tersebut, yang sering
disebut sebagai proses sekularisasi, sebagai
suatu gejala yang negatif dan harus dihindari, karena pada dasarnya akan
menciptakan suatu masyarakat yang sekular, yaitu:
”…suatu masyarakat yang nilai-nilai primernya adalah utilitarian dan
rasional, dan masyarakat tersebut menerima bahkan menganjurkan perubahan dan
penemuan-penemuan. Sebagai kebalikan dari masyarakat suci, yang adikodrati,
atau nilai-nilai yang diasosiasikan dengan tradisionalisme.” (Theodorson and Theodorson, 1979: 373).'[i]
Dalam
perjalanan sejarahnya, kata sekularisasi diberi arti yang berbeda-beda sesuai
dengan konteksnya. Hendropuspito (1983:135-136), misalnya menjelaskan perubahan
makna tersebut sebagai berikut:
”… pada perundingan di Westfalen (Jerman) tahun 1646 sekularisasi
dimaksud sebagai ' pencairan kekuasaan rohani (kedudukan dan peraturan suci)
yang ada pada instansi agama Kristen menjadi milik umum', … abad ke 18
pengertian sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi
yang dimiliki para rohaniwan; … abad ke 19 pengertian sekularisasi diberi arti:
'penyerahan kekuasaan dan hak milik Gereja kepada negara atau yayasan duniawi'…
abad ke 20 ini, pengartian sekularisasi cukup mantap. … diantara banyak arti
yang berbeda itu terdapat suatu aspek yang sama, ialah dua variabel yang saling
dipertentangkan: urusan agama dan urusan keduniawian, atau dengan kata lain,
yang sakral dan yang profan. Maksudnya kedua urusan yang berlainan tidak boleh
dicampur-adukkan; masing-masing harus ditangani sendiri-sendiri … juga kita
perlu membedakan pengertian sekularisasi dari sekularisme demi jelasnya
pembicaraan.”
Dalam
buku Peter Berger yang lain 'A Rumor of
Angels' dapat pula ditemukan dua pengertian istilah sekularisasi. Pertama, pengertian yang umum dianut di Eropa, yakni sebagai lunturnya
kepercayaan dan perilaku (Kristen) di
dalam masyarakat modern. Sedangkan yang kedua
adalah definisi yang umumnya dianut di Amerika, yakni sebagai adanya pergeseran
motivasi orang-orang yang melakukan suatu perilaku dan partisipasi keagamaan. Konsisten
dengan pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik dua kesimpulan
berikut. Pertama, selama agama
dipandang sebagai suatu sikap terhadap dunia suci dan selama agama dipandang
sebagai sebuah institusi sosial yang mewadahi religiusitas manusia, termasuk religiusitas
manusia modern, selama itu pula agama dibutuhkan. Kedua, karena menurut kodrat alamiahnya manusia berkembang, baik
fisik maupun mental, baik secara kolektif maupun individual, maka kemampuan
menjelaskan pengalaman-pengalaman (bahkan yang paling kritis sekalipun) ikut
berkembang, demikian pula dengan pemahaman terhadap perilaku dan kegiatan
keagamaan. Dari dua kesimpulan ini muncul pemahaman baru, yaitu proses sekularisasi
telah, sedang dan akan terus berlangsung, tetapi hal tersebut hanya terutama
menyangkut aspek-aspek superfisial formal dari perilaku keagamaan, tidak
menyangkut substansi pengalaman dan nilai-nilai dasar religius itu sendiri.
Menyangkut hal yang terakhir itu, bahkan terjadi sebaliknya, semakin modern
suatu masyarakat semakin tinggi kerinduannya terhadap nilai-nilai religius yang
dasar. Secara singkat dapat diungkapkan dengan
ekspresi, bahwa high tech society need
high touch spiritually.
Religiusitas, Agama dan Kebijakan Publik
Secara
empirik, di dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat, agama merupakan
identitas terakhir yang dibicarakan dalam pergaulan sehari-hari, mungkin karena
dianggap sebagai bagian dari privasi, kecuali akhir-akhir ini paska peristiwa
11 September ketika terorisme dikaitkan dengan fundamentalisme, agama tiba-tiba
menjadi primadona dalam wicara yang bersifat publik. Di dalam sejarah umat manusia, agama menampilkan dua wajah
yang tidak hanya berbeda, namun sangat paradoksal. Di satu sisi, agama tidak
hanya mampu memberi harapan dan penguatan hidup dengan cara mentransendensikan
berbagai bengalaman pahit setiap individu yang memeluknya, tetapi juga mampu
mengikat mereka dalam suatu solidaritas kolektif yang memiliki daya hidup yang
luar biasa. Di sisi lain, sejarah umat manusia juga menunjukkan, bahwa agama
juga tidak hanya dapat digunakan sebagai
alat legitimasi kekuasaan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai alat penindasan,
bahkan akhir-akhir ini agama sering dikaitkan dengan kekerasan yang terjadi tidak
hanya dalam skala lokal, tetapi juga dalam skala internasional.
Kontradiksi
lain juga sering terjadi, secara doktrinal. Dengan satu dan lain cara setiap
agama mengajarkan kebajikan dan kasih, baik dalam dimensi vertikal maupun
dimensi horisontal, namun dalam interaksi sosial, baik yang bersifat internal
di antara penganut agama yang sama maupun eksternal antar penganut agama yang
berbeda, urusan agama sering menjadi pemicu utama terjadinya konflik dasyat
yang berakhir dengan peperangan yang menghasilkan banyak kematian. Paradoks
juga terjadi ketika orang mengkaji hubungan antara kebijakan negara dengan
kehidupan beragama warganya. Secara kategorial, ada dua model besar untuk
menjelaskan intervensi negara terhadap agama, yaitu konsep negara agama yang tidak membedakan apalagi memisahkan urusan negara
dari urusan agama dan negara sekular
yang memisahkan dengan tegas urusan negara dari urusan agama. Di antara kedua
model tersebut, selalu ada model kombinasi seperti Indonesia.
Namun
demikian, apapun model formal hubungan antara negara dan agama, selalu dapat
ditemukan bahwa intervensi negara dalam kehidupan beragama seringkali tidak
hanya berakhir dengan kegagalan, tetapi bahkan menimbulkan masalah yang lebih
besar. Dengan membaca tulisan ini, baik kasus maupun refleksi teoritiknya, orang diharapkan dapat memahami tiga
persoalan utama, bagaimana agama harus dipahami, dapatkah kehidupan beragama
diintervensi, serta bagaimana strategi intervensi yang dapat dilakukan.
[1] Daftar Isian Potensi Desa
1985/1986, Tabel IV.b.,Halaman 5.
[2]
Lihat majalah Tempo , terbitan 29
Januari 1983.
[3]
Istilah “ Paguron” berasal dari kata “ perguruan” yang merupakan padanan kata ”perguruan” dalam bahasa Indonesia.
[4]
Strathof, Sadjarah Ngadegna Agama Djawa
Sunda (ADS), Garut, 1970, Hal. 1
[5]
Tuduhan pertama pemerintah Belanda
tersebut dapat dimengerti apabila mengaitkan Madrais dengan ajaran-ajarannya
yang mengandung unsur eksistensialis, terutama yang menyangkut hakekat manusia
sebagai bangsa dan hidup manusia yang harus menuju kemerdekaan lahir batin. Sedangkan mengenai pemerasan, memang para penganut ADS dari dahulu
biasa memberikan “persembahan” kepada pemimpin mereka. Namun apabila mereka
ditanya, apakah mereka merasa dipaksa, sampai saat inipun jawaban mereka tidak
menunjukan adanya pemaksaan tersebut. Apakah hal ini merupakan suatu usaha untuk
melindungi pemimpin mereka? Boleh jadi. Tetapi apabila benar begitu maka
setidaknya kita dapat melihat suatu kesetiaan yang kuat dari para penganut ADS
kepada pimpinan mereka. Mengenai tempat pembuangannya, A.M. Basuki menyebut
Boven Digul. Tetapi menurut Dr. Lance Castle, yang menjadi salah satu
pembimbing penulisan ini, Boven Digul tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai
tempat pembuangan besaran-besaran baru pada tahun 1920-an. Dan ini agak sejalan
dengan ceritera yang berkembang dari mulut ke mulut diantara para penganut ADS
dahulu. Mereka tidak pernah menyebut Digul tetapi Merauke. Boleh jadi
penyebutan Boven Digul sebagai tempat pembuatan pendiri ADS terjadi kemudian,
setelah Digul terkenal sebagai tempat pembuangan.
[6] Nampaknya menarik apabila diadakan studi lebih lanjut mengenai
sikap pemerintahan Belanda terhadap ADS, khususnya sikap Van der Plas sendiri.
Hal itu dapat memperjelas bagaimana hubungan yang sesungguhnya terjadi antara
pemerintah Belanda dengan ADS. Studi tersebut dapat dikhususkan pada dokumen-dokumen
yang masih dimiliki oleh pemerintah Belanda.
[7] Bila dikaitkan dengan masa pengembaraannya usia pangeran Madrais
ketika meninggal mencapai kira-kira 105 tahun. Angka ini diperoleh dari perhitungan,
bahwa masa pengembaraannya berlangsung dari tahun 1845 s/d 1849, dan ketika itu
usia pendiri ADS tersebut sekitar 10 – 13 tahun. Mengenai hal ini majalah
“Tempo” mencatat masa hidup Madrais antara tahun 1833 – 1939, berarti ia berusia 106 tahu.
Angka ini berbeda banyak dengan apa yang diungkapkan oleh Prof. Kamil
Kartapradja yang menyebutkan Madrais meninggal dunia dalam usia kira-kira 65
tahun.
[8] Pangeran Tedjabuana sendiri beserta keluarganya dikabarkan tetap
bertahan dengan ADS-nya sekalipun secara formal ia telah menandatangani surat
pernyataan pembubaran ADS.
[9]
Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka
Jaya, 1980
[10] Statistik Kelurahan Cigugur 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar