Rabu, 17 September 2014

AGAMA DAN POLITIK (Kasus ADS di Kuningan)




AGAMA DAN MASALAH PUBLIK

Menyusur Kisah dari Cigugur

                Cigugur adalah sebuah desa di lerang Gunung Ciremai yang sekarang sudah menjadi sebuah kelurahan atau bahkan kecamatan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari kota Bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan  curah hujan rata-rata 26,80 mm dan suhu udara rata-rata sekitar 26°C. Duapuluh tahun yang lalu, ketika penelitian dilakukan, luas wilayahnya adalah 511.120 ha, yang terdiri dari 105.680 ha digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, seluas 116.120 ha sawah, seluas 279.975 ha merupakan tegalan, kolam dan empang seluas 2.860 ha, lapangan seluas 1.180 ha, dan sisanya digunakan sebagai kuburan, jalan raya, pengairan, dan lain-lain. [1] Data ini pasti sudah jauh berubah, tidak hanya dalam komposisi peruntukan lahannya, tetapi juga struktur kepemilikannya.


Pada tahun 1848 di tempat ini berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam.[2] Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat.[3] Kisah pengembaraan pendiri ADS tersebut dapat tergambar dalam tulisan berikut:

…Dina burej keneh nalika juswa antawis 10 ka 13 taun, mantenna masantren. Nanging kapaksa nunda teu diladjengkeun kumargi nampi “wisikan gaib (ilham) nu maparin pituduh mantenna kedah ngalalana sareng tatapa mulat salira. Teu talangke deui ladjeng wae andjeuna angkat ngalalana mipir-mipir pasisian, mapaj-mapaj padukuhan, kasuklakna-kasiklukna, lembur-lembur diasruk, desa-desa disakrak, kota-kota pakemitan alit diungsi. Babakuna nu djadi djugdjugan tempat-tempat nu kakotjap sanget, angker, sungil djadi pamundjungan, pamudjaan djalma rea. Mantenna didinja tatapa ngisat salira. Teu kantun paguron2 taja kalangkung, nungtik lari nyiar bukti ngudag kanjataan nu jadi  rasiah alam lahir bathin..” [4]

“… Ketika masih kecil, yaitu pada usia antara 10 sampai 13 tahun, ia tinggal di pesantren. Namun terpaksa ditunda karena menerima “bisikan gaib” (ilham) yang memberi petunjuk agar ia pergi, menelusuri dusun-dusun, baik besar maupun kecil. Yang biasanya dituju adalah tempat-tempat yang dikenal umum sebagai tempat angker yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Di tempat-tempat itulah ia bertapa. Tempat bergurupun tak ada yang terlewat, dengan maksud mencari bukti, mengejar kenyataan yang menjadi rahasia semseta alam, baik lahir maupun batin...”

            Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.

Selama masa penjajahan Belanda, Pangeran Madrais dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal dan berbahaya. Pimpinan ADS ditangkap untuk diadili di Kuningan dan di Tasikmalaya, namun kemudian dibebaskan. Dari tahun 1901 sampai 1908 pimpinan ADS dibuang ke Meraoke dengan tuduhan sebagai pemberontak dan pemeras rakyat.[5] Setelah kembali dari pembuangan, pimpinan ADS membina kembali para pengikutnya, yang ternyata menjadi semakin radikal dalam memperjuangkan dan melaksanakan ajaran agamanya merki ditinggal oleh pemimpinnya. Pemerintah Belanda menganggap ADS semakin berbahaya, karena itu Pangeran Madrais kembali ditangkap dan dimasukan ke rumah sakit gila di Cikeumeuh, Bogor. Penangkapan itu ternyata makin menambah solidaritas kelompok ADS untuk tidak menyerah pada keadaan. Selama di rumah sakit jiwa Pangeran Madrais ADS tidak berhenti mengajar, meski yang diajarnya adalah pasien penyakit jiwa. Melihat itu, pimpinan ADS dikeluarkan dari rumah sakit tersebut karena pemerintah khawatir pasien rumah sakit terpengaruh oleh ajarannya yang dianggap radikal. Namun demikian, pembebasan pimpinan ADS tersebut disertai dengan ancaman agar tidak lagi melakukan kegiatan keagamaan. Untuk tujuan tersebut, rumah kediaman pimpinan ADS, yang sekaligus merupakan pusat kegiatan ADS, dijaga ketat selama duapuluh empat jam. Pada tahun 1926 semua petugas Belanda di Cigugur ditarik dan dipindah-tugaskan. ADS-pun diperbolehkan lagi melakukan kegiatannya secara legal, bahkan pada tahun 1927 tata cara perkawinan ADS diakui secara hukum.[6] Dari satu sisi masa-masa ini dapat dianggap sebagai masa cerah bagi perkembangan ADS, karena mereka tidak mendapat rintangan dari  pihak pemerintah Belanda, namun di sisi lain merupakan awal kesulitan baru, karena muncul anggapan bahwa Pangeran Madrais dan ADS-nya bekerja sama dengan - bahkan dianggap sebagai kaki tangan Belanda.

Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa, Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur.[7] Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat. Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Pertama, waktu Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van der Plas semakin gencar. Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan ADS dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. [8]Dari tempat pengungsian tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya untuk tetap bertahan atau menyerah. Semangat para penganut ADS nampaknya tidak luntur dengan tekanan. Hal ini terbukti dengan pendirian sebagian besar dari mereka yang tetap menyatakan kesetiaannya kepada ADS, meskipun berada di bawah tekanan. Mereka menjemput pimpinan ADS dari tempat pengungsiannya untuk dibawa kembali  ke Cigugur.

Para penganut ADS sering menganggap penindasan penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang yang tak menyukai kehadiran mereka. Anggapan tersebut memperburuk hubungan penganut ADS dengan umat Islam setempat. Namun jika melihat strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh jadi penindasan terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat Islam, namun lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti yang  juga dilakukan di Aceh. [9] Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer. Pada tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21 Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi. Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa halangan.

Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS ketika itu terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi pokoknya membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum. Penetapan tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan tersebut menuntut para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum menurut tata cara agama tertentu.

Sebagai akibat peristiwa tersebut, terjadilah perpindahan masal para penganut ADS menjadi penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang berarti, baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Namun demikian, setelah lebih kurang 16 tahun Gereja Katolik melakukan kegiatannya, tepatnya pada tahun 1981 Pangeran Djatikusumah yang adalah cucu Pangeran Madrais, mendirikan sebuah aliran kepercayaan baru yang diberi nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU. Secara politis berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang mengakui eksistensi aliran kepercayaan dalam wilayah hukum NKRI di samping lima agama yang telah lama diakui secara resmi oleh negara. Setelah PACKU berdiri, sekitar 2.000 orang Katolik eks ADS di seluruh daerah keuskupan Bandung mengajukan surat pernyataan mengundurkan diri dan keluar dari Katolik yang kemudian masuk menjadi anggota PACKU. Surat pernyataan tersebut ditandatangani atau diberi cap jempol oleh yang bersangkutan dan ditujukan kepada pastor di masing-masing paroki. Peristiwa masuknya sebagian umat Katolik eks ADS menjadi anggota PACKU dibarengi dengan terjadinya pertentangan, bukan saja pada tingkat perbedaan pendapat melainkan juga pertentangan sikap dan tindakan, di antara mereka yang masuk PACKU dan mereka yang tetap tinggal menjadi Katolik. Pertentangan tersebut menemukan bentuknya yang tragis ketika hal tersebut terjadi di dalam konteks keluarga. Sebagai ilustrasi, banyak suami-isteri yang mendadak ”perang dingin” karena sang suami masuk PACKU tetapi isterinya tidak atau sebaliknya. Ada pula kasus di mana kedua orangtua masuk PACKU tetapi anak-anaknya tidak, karena begitu tegang hubungan mereka kedua orangtua tersebut tega menyetop uang saku dan biaya sekolah anaknya yang ada di Bandung. Sebuah konflik internal yang intens antar anggota keluarga mengenai suatu hal yang bersifat hakiki, baik secara religius, ideologis maupun politis yang ternyata juga terdeteksi oleh para perumus kebijakan negara.

Setahun setelah peristiwa tersebut, tanpa diduga pemerintah menganggap PACKU  sebagai neo-ADS yang telah membubarkan diri pada tahun 1964, oleh karena itu PACKU kemudian dilarang dengan Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Kep. 44/K.2.3/8/82. Sebagai akibat larangan tersebut, secara hukum status sekitar 2.000 orang penganut PACKU tersebut menjadi ilegal dan secara politik menjadi tidak benar (legally and politically incorrect). Menghadapi situasi tersebut, sebagian besar dari mereka segera kembali menjadi Katolik yang diterima kembali dengan penuh curiga, sebagian kecil masuk Islam, beberapa masuk Kristen Pasundan, sisanya termasuk Pangeran Djatikusumah beserta keluarganya tetap menyatakan diri secara resmi sebagai penghayat aliran kepercayaan. Pada saat penelitian dilakukan pada tahun 1986, secara statistik, jumlah mereka ada 350 orang yang dicatat dalam tabel kependudukan sebagai kelompok lain-lain. [10] Meski saat ini jumlah mereka tidak berkembang, namun baik secara politik dan secara hukum mereka mempunyai ruang dan diakui sebagai bagian dari kekayaan masyarakat dan budaya bangsa, khususnya sejak Abdurachman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.

            Untuk mereka yang hirau dan giat memperjuangkan terwujudnya kerukunan antar umat beragama di tanah air, kisah komunitas religius ADS dari Cigugur memberi ilustrasi, betapa rentan dan sensitifnya akibat sebuah kebijakan negara ketika melakukan intervensi dalam kehidupan beragama. Ada dua kepentingan yang hampir tidak pernah mesra, kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat religius lokal seperti para penganut ADS. Hampir semua kebijakan negara yang dibuat dalam kaitan dengan para pemeluk ADS, baik kebijakan pemerintah kolonial Belanda, Jepang, maupun Indonesia, hampir semuanya memihak pada kepentingan negara. Nyaris tidak ada kebijakan negara yang menempatkan kepentingan para penganut ADS sebagai bagian dari publik yang berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan dari negara. Oleh karena itu, secara teoritik kasus Cigugur juga menyisakan beberapa pertanyaan yang menarik sebagai bahan permenungan secara akademik. Pertama, apakah pengalaman iman seseorang atau suatu komunitas hanya merupakan urusan individu atau komunitas bersangkutan, ataukah juga merupakan urusan publik yang menuntut campur tangan negara? Kedua, jika hal tersebut merupakan urusan publik, sejauh mana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui kebijakan publik? Ketiga, secara strategis bagaimana intervensi tersebut harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kesadaran orang pada beberapa pemahaman teoritik mengenai agama dengan berbagai aspeknya. Tulisan ini memfokuskan diri pada bagaimana agama dengan berbagai aspeknya dapat difahami secara sosiologis, sehingga dapat memahami segala implikasi yang mungkin terjadi, ketika sebuah intervensi harus dilakukan.

Agama sebagai Kristalisasi Pengalaman Sakral

            Membahas fungsi agama tidak dapat dilepaskan dari refleksi tentang pengalaman hidup manusia itu sendiri. Durkheim (1976:37) membedakan pengalaman manusia ke dalam pengalaman yang suci (the sacred) dan pengalaman yang biasa (the profane). Dalam tulisan ini kedua pengalaman tersebut dikategorikan sebagai pengalaman yang sakral atau pengalaman iman dan pengalaman yang sekular. Kedua pengalaman tersebut berbeda satu sama lain, bahkan dalam aspek tertentu bertentangan. Durkheim menempatkan pengalaman yang sakral ini di atas pengalaman sekular, jadi martabatnya lebih tinggi. Menurut Durkheim pengalaman yang sakral mempunyai ciri-ciri tersendiri, pertama, pengalaman itu menyerukan suatu pengakuan atau kepercayaan pada kekuasaan dan kekuatan (power and force) supra natural yang menjadi  inti dari sikap keberagamaan atau ketakwaan. Kedua, pengalaman sakral biasanya bersifat samar dan berwajah ganda (ambigue), bersifat fisik sekaligus moral, bersifat manusiawi tetapi juga bersifat kosmik, beraura positif sekaligus negatif, memiliki jiwa pengasih sekaligus pembenci, menarik dan sekaligus menyebalkan, bersifat menolong dan sekaligus membahayakan manusia. Ketiga, pengalaman sakral pada dasarnya tidak bersifat utilitarian yang mengandalkan prinsip untung dan rugi. Keempat, pengalaman sakral biasanya bersifat non empiris dan tidak terlalu melibatkan ilmu pengetahuan (scientific knowledge) yang dihasilkan melalui berbagai metodologi penelitiannya. Kelima, pengalaman yang sakral bersifat mendukung, memberi kekuatan, menanamkan rasa hormat yang luhur serta mendatangkan kewajiban etis bagi mereka yang mengalaminya.

Dari sisi yang lain dapat pula dikatakan, bahwa pengalaman yang sakral berada di dalam lingkup pengalaman manusia yang luar biasa dan, biasanya dialami terutama pada saat manusia sampai pada batas kemampuannya atau suatu titik putus (breaking points). Dalam keadaan dimana akal sehat dan ilmu pengetahuan sampai pada jalan buntu. Pada saat manusia tidak mampu lagi memahami dan menjelaskan apa yang dialami, terutama apabila manusia berhadapan dengan kekecewaan dan kematian. Dalam keadaan seperti itu, manusia membutuhkan suatu transedensi bagi pengalaman-pengalaman tersebut, atau apa yang disebut juga sebagai referensi transendental. Proses transendensi tersebut dapat memberikan makna pamungkas atau terakhir bagi kekecewaan dan rasa frustasi manusia. Dengan proses tersebut, manusia dilepaskan dari keterikatannya terhadap apa yang terjadi ”kini dan di sini” dan manusia diberi harapan akan adanya kehidupan lain di dunia ”sana dan kelak”. Di dunia sana itulah manusia mendapat pembenaran terhadap apa yang dialaminya di dunia sini.

Kepercayaan akan adanya sesuatu yang suci dan berada di ”dunia sana” yang disebut pula dunia adikodrati atau alam supranatural atau the beyond, pada hakekatnya lahir dari, pertama, pengalaman manusia untuk berhadapan dengan hakekatnya yang paling dasar, yaitu, ketidakpastian yang mengancam eksistensi dan keamanan diri yang berada di wilayah yang tak mampu dijangkau dan diatasi oleh kemampuan manusiawi dan segenap akal budinya. Kedua, dari pengalaman hidup yang diliputi oleh keterbatasan dan ketidakberdayaan yang melekat sejak lahir. Melalui proses belajar memang kemampuan manusia meningkat, namun sampai titik tertentu, setiap manusia akan menghadapi keterbatasan juga. Ketiga, lahir sebagai akibat dari pengalaman manusia untuk hidup bersama dengan orang lain. Hidup bersama menghasilkan masalah kelangkaan (scarsity) fasilitas serta sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masalah ini memberi rasa kecewa dan mungkin penderitaan bagi mereka yang tidak memperolehnya. Masalah kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang muncul dari persoalan ini. Dan penderitaan semacam ini membutuhkan suatu transendensi, sehingga manusia masih dapat bertahan hidup, sekalipun ia miskin.

Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut di atas itulah dunia transendental masih dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Karena pada hakekatnya manusia tidak dapat keluar dari persoalan tersebut, bahkan manusia modern sekalipun. Dalam kaitan dengan pengalaman manusia semacam itulah, agama secara berfungsi memberikan transendensi pengalaman-pengalaman sehingga dapat dikatakan, bahwa pada hakekatnya agama adalah suatu pengalaman manusia berhadapan dengan ”yang suci”. Untuk menelaah pengalaman keagamaan tersebut terdapat dua kemungkinan, pertama, memandang pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang hanya dapat dialami secara kolektif. Kemungkinan kedua, memahami pengalaman sebagaimana dialami oleh orang-orang secara perorangan. Oleh karena itu menurut Joachim Wach (1984) ada dua cara untuk meneliti mengenai hakekat pengalaman keagamaan. Cara pertama adalah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara kedua adalah dengan mengajukan pertanyaan dimana aku, yaitu lingkungan potensial dimana pengalaman perseorangan berlangsung.

Wach (1984) yang juga dikutip oleh Hendropuspito (1983: 78) menjelaskan lima kriteria yang menjadikan suatu pengalaman, dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman sakral atau pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai suatu realita mutlak. Realitas tersebut mempunyai ciri sebagai suatu pengikat dan menentukan segala-galanya, maka pengalaman yang terbatas sifatnya tidaklah dapat dianggap sebagai suatu pengalaman keagamaan, mungkin hanya pengalaman pseudo agama. Kedua, pengalaman keagamaan menyangkut suatu penghayatan yang di dalamnya terdapat hubungan dinamis antara apa yang dihayati dengan orang yang menghayatinya. Ketiga, pengalaman keagamaan bersifat sinambung (ada terus menerus), meskipun tidak tanpa terputus. Keempat, pengalaman keagamaan mempunyai intensitas tertentu, pengalaman tersebut secara potensial adalah pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam yang sanggup dimiliki oleh manusia, Terakhir, kelima, pengalaman keagamaan diungkapkan di dalam perbuatan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai motivasi dan dorongan yang kuat untuk berbuat sesuatu.

Agama sebagai Institusi Sosial

            Secara sosiologis agama tidak hanya dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan terhadap dunia adikodrati yang bersifat ilahi (belief system) yang bersifat pribadi, namun juga berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, perilaku-perilaku, ritual-ritual dan simbol-simbol yang bersifat sosial. Sampai tingkat tertentu, agama berkaitan erat dengan konstruksi sosial dan budaya yang merupakan refleksi dari tatanan kehidupan masyarakat yang mendukungnya. Pemahaman semacam itu dianut oleh pendukung faham fenomenologis seperti Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966/1984). Dalam pandangan mereka semua realitas sosial, termasuk agama, terbentuk sebagai hasil interaksi dialektis dari proses eksternalisasi - obyektivasi - dan internalisasi. Dalam buku mereka yang berjudul The Social Construction of Reality,  Berger & Luckman menyatakan, bahwa sebenarnya masyarakat adalah suatu gejala dialektis yang merupakan produk manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Baginya, tiada realitas yang tidak terbentuk secara sosial dan tidak ada apapun yang tidak berdasar pada aktivitas dan kesadaran manusia. Namun pada akhirnya manusia itu sendiri merupakan produk dari masyarakatnya.

            Kerangka pemikiran yang demikian itu dilanjutkan dalam buku mereka yang lain The Sacred Canopy (1969), yang kemudian diterbitkan dengan judul yang lain, The Social Reality of Religion. Menurut Berger selanjutnya, masyarakat telah ada sebelum seorang individu lahir dan akan tetap ada ketika ia mati. Manusia tak akan hidup terpisah dari masyarakatnya, dan demikian pula masyarakat tak akan ada tanpa manusia-manusia yang mendukungnya. Keduanya merupakan suatu cerminan proses dialektis yang inheren di dalam gejala yang disebut masyarakat. Apabila karakter ini disadari, maka masyarakat akan dapat dimengerti sebagai suatu kenyataan empiris secara lebih tepat. Seperti telah disebutkan di muka proses dialektis tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap eksternalisasi, tahap obyektivasi dan tahap internalisasi.

            Proses eksternalisasi adalah suatu proses pencurahan diri manusia ke dalam dunia ini. Pencurahan tersebut terlaksana melalui suatu kegiatan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat mental. Proses tersebut dapat dipandang sebagai suatu kebutuhan esensial bagi manusia sejak awal hidupnya sampai ia mati. Hal demikian dapat dimengerti, karena suatu kehidupan manusia tidak dapat dimengerti sebagai suatu sistem tertutup, ia membutuhkan suatu pencurahan ke luar dirinya. Hal ini berdasar pada kenyataan, bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk yang tidak sempurna sejak lahir (unfinished at birth), makhluk yang harus mengembangkan dirinya secara terus menerus baik secara fisik maupun mental. Dalam konteks ini, manusia harus membangun dunia yang cocok dengan hakekat eksistensialnya, ia harus menciptakan dunianya sendiri. Manusia tidaklah seperti makhluk-makhluk lain yang tercipta sesuai dengan keadaan alam dimana ia hidup. Oleh karena itu, manusia tidak hanya menciptakan benda-benda, ia juga menempatkan dirinya serta menyadari keberadaannya. Peter Berger selanjutnya mengungkapkannya sbb: “… man not only produces a world, but he produces himself. More precisely, he produces himself in a world.” (1969: 25). Sebagai akibat proses tersebut, manusia melahirkan kebudayaan atau culture, yang oleh Berger dan Luckman dianggap sebagai hakekat manusia yang ke dua, karena dalam konstalasi ini kebudayaan atau culture adalah seluruh produk manusia. Oleh karena itu agama, dalam pandangan Berger, adalah suatu non-material culture yang dihasilkan oleh manusia, suatu usaha manusia dalam mana suatu dunia yang suci didirikan.

            Dalam perkembangan selanjutnya, kebudayaan hasil ciptaan manusia itu, baik yang material maupun yang immaterial, berubah menjadi suatu realitas yang berada di luar penguasaan penciptanya (manusia). Realitas tersebut kemudian berubah menjadi suatu realitas objektif, yang berada di luar diri manusia. Proses perubahan kebudayaan dari fakta subjektif (yang berasal dari kesadaran manusia) menjadi fakta objektif disebut sebagai proses objektivasi. Realitas objektif yang merupakan hasil objektivasi secara sosial, dapat digunakan untuk menjaga keteraturan di dalam masyarakat. Hal tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai legitimasi. Dalam perjalanan sejarah, kata Berger, agama merupakan alat lejitimasi yang amat efektif dan luas daya jangkauannya. Agama melejitimasikan lembaga-lembaga sosial lainnya dengan cara menghubungkannya dengan yang suci serta realitas yang bersifat kosmis. “…Religious legitimation purports to relate the humanly defined reality to ultimate, universal and secred reality”. (Berger, 1969:26) Sebagaimana kebudayaan umumnya agama mempunyai fungsi sebagai rambu-rambu atau reminders bagi individu agar tidak merusak keteraturan dan kesucian yang bersifat kosmis tadi. Legitimasi agama nampak sangat jelas dan kuat terutama dalam situasi-situasi kritis, baik yang menimpa individu seperti kematian, sakit, kemalangan, dan lain-lain, maupun yang menimpa kelompok seperti perang dan malapetaka dan bencana alam.

            Sehubungan dengan hal yang dikemukakan di muka, maka masyarakat dapat dipandang sebagai suatu kumpulan lembaga sosial yang mempunyai nilai dan normanya sendiri yang mengatur kehidupan bersama. Norma dan nilai tersebut diformulasikan dalam bentuk-bentuk peran yang harus dimainkan di dalam masyarakat. Dengan memainkan peran tertentu, manusia menghadirkan suatu obyektivitas institusional yang mungkin terpisah dari dirinya. Ia dapat mengenakan dan menanggalkan peran tersebut seperti halnya memakai dan menanggalkan pakaian atau benda-benda material lainnya. Namun yang jelas, begitu seseorang memainkan peran tertentu sebagai suatu kenyataan obyektif, ia akan menyadari bahwa peran tersebut akan mendikte apa yang harus ia lakukan. Oleh karena itu, apabila ia mau melakukan peran itu dengan baik, maka kenyataan objektif tadi harus ditarik ke dalam kesadaran dirinya menjadi sesuatu yang bersifat internal. Upaya semacam itulah yang disebut sebagai proses internalisasi, yakni menjadikan sesuatu yang berada di luar diri menjadi internal. Di lihat dari sisi lain, pada hakekatnya proses internalisasi tersebut adalah proses sosialisasi juga, yakni menjadikan individu untuk hidup di dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi, individu tidak hanya belajar arti benda-benda yang telah mengalami obyektivasi, melainkan juga mengidentifikasi dan dibentuk olehnya.

            Konsisten dengan itu, maka setiap individu yang masuk menjadi penganut agama tertentu akan berhadapan dengan suatu lembaga agama sebagai suatu realitas obyektif. Ia dituntut untuk berperilaku sesuai dengan nilai, norma, serta ritus agama yang bersangkutan. Ia dituntut untuk melakukan sosialisasi mengenai the things that have to be said and the things that have to be done dari agama tersebut. Dari pembahasan di atas, jelas bahwa agama sebagai sebuah institusi sosial memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Peran tersebut terwujud dalam tiga fungsi penting. Pertama, memberi perspektif transendental terhadap pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menjadi 'rambu-rambu pengingat' reminders bagi setiap anggota masyarakat dalam menjaga keteraturan sosial (nomos). Ketiga, menciptakan solidaritas sosial di antara individu-individu di dalam suatu masyarakat.

            Seperti telah dibahas di muka, agama tidak hanya mempunyai akses terhadap, atau merupakan kristalisasi pengalaman sakral manusia, baik secara pribadi  maupun kolektif, tetapi juga ikut menentukan corak kehidupan sosial lainnya seperti ekonomi. Dalam karyanya yang sangat klasik, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Max Weber mengemukakan bahwa etika protestan ikut mendorong lahir dan berkembangnya ekonomi kapitalisme. Agama juga ikut mempengaruhi pembangunan tatanan politik berbagai masyarakat di dunia seperti yang dibahas oleh Donald Eugene Smith (1985). Bahkan di berbagai masyarakat, agama sering diidentikkan langsung dengan tatanan masyarakat sendiri itu sendiri, karena agama dianggap sebagai refleksi dari masyarakat yang mendukungnya. Perbedaan pandangan terhadap agama sebagai alat legitimasi, sumber inspirasi dan motivasi berperilaku, menghasilkan penjelasan yang masuk akal mengapa tingkat partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan keagamaan. Konsep yang lazim digunakan untuk menjelaskan keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan adalah kata regiusitas yang merupakan terjemahan langsung dari kata religiosity. Dalam kamus sosiologi (Theodorson and Theodorson, 1979:345), kata tesebut diberi arti sebagai “…interest and participation in religious activities…”  Secara lebih operasional kata religiusitas tersebut diartikan sebagai tingkat partisipasi orang secara individual maupun kolektif dalam upacara-upacara keagamaan atau dalam keseluruhan perilaku atau sikap yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang disebut saleh dan beragama.

            Yang menjadi persoalan yang menarik secara teoritik adalah, sejauh mana masyarakat modern masih melakukan hal-hal tersebut. Proposisi umum yang disepakati banyak penstudi agama dalam masyarakat modern adalah, bahwa semakin modern suatu masyarakat atau seseorang, semakin rendah tingkat religiusitasnya. Pandangan radikal mengenai hal tersebut memformulasikannya dalam ungkapan seperti 'god is dead’, bahkan Thomas Altizer, seorang teolog radikal yang pendapatnya dikutip oleh Berger pernah mengungkapkan, ”… kita harus menyadari bahwa kematian Tuhan adalah kejadian sejarah, bahwa Tuhan telah mati di dunia kita, dalam sejarah kita, dalam keberadaan kita.” (Berger, 1969:1) Namun sejauh mana proposisi-proposisi itu benar secara empirik? Bukti-bukti yang ditemukan dalam penelitian sosiologis tidak seluruhnya memberikan dukungan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Joseph Tamney (1980), misalnya, menunjukkan hal yang sebaliknya, meskipun lingkup penelitian tersebut terbatas di Australia. Meskipun kehadiran orang, khususnya kaum muda, dalam berbagai ibadat di gereja sangat rendah, seperti yang dapat disaksikan di Eropa saat ini, ada banyak bukti bahwa kaum muda di negara-negara modern  tersebut semakin banyak yang terlibat dalam berbagai aksi nyata yang merupakan terjemahan dari nilai-nilai religius.

            Namun demikian kecenderungan menurunnya religiusitas manusia dalam masyarakat modern, bukanlah suatu hal yang mustahil. Kemajuan ilmu dan teknologi serta tingkat rasionalitas manusia modern, memberikan ciri tersendiri bagi kehidupan keagamaan. Kalaupun tidak menghilangkan sama sekali, namun hal tersebut setidaknya memberikan suatu kemungkinan reinterpretasi dan transformasi segala aktivitas keagamaan dan relevansinya bagi eksistensi manusia modern. Bagi kaum religius, menurunnya tingkat religiusitas manusia modern tersebut, yang sering disebut sebagai proses sekularisasi, sebagai suatu gejala yang negatif dan harus dihindari, karena pada dasarnya akan menciptakan suatu masyarakat yang sekular, yaitu:

”…suatu masyarakat yang nilai-nilai primernya adalah utilitarian dan rasional, dan masyarakat tersebut menerima bahkan menganjurkan perubahan dan penemuan-penemuan. Sebagai kebalikan dari masyarakat suci, yang adikodrati, atau nilai-nilai yang diasosiasikan dengan tradisionalisme.” (Theodorson and Theodorson, 1979: 373).'[i]

            Dalam perjalanan sejarahnya, kata sekularisasi diberi arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Hendropuspito (1983:135-136), misalnya menjelaskan perubahan makna tersebut sebagai berikut:

”… pada perundingan di Westfalen (Jerman) tahun 1646 sekularisasi dimaksud sebagai ' pencairan kekuasaan rohani (kedudukan dan peraturan suci) yang ada pada instansi agama Kristen menjadi milik umum', … abad ke 18 pengertian sekularisasi dikaitkan dengan masalah kekuasaan dan kekayaan duniawi yang dimiliki para rohaniwan; … abad ke 19 pengertian sekularisasi diberi arti: 'penyerahan kekuasaan dan hak milik Gereja kepada negara atau yayasan duniawi'… abad ke 20 ini, pengartian sekularisasi cukup mantap. … diantara banyak arti yang berbeda itu terdapat suatu aspek yang sama, ialah dua variabel yang saling dipertentangkan: urusan agama dan urusan keduniawian, atau dengan kata lain, yang sakral dan yang profan. Maksudnya kedua urusan yang berlainan tidak boleh dicampur-adukkan; masing-masing harus ditangani sendiri-sendiri … juga kita perlu membedakan pengertian sekularisasi dari sekularisme demi jelasnya pembicaraan.”

            Dalam buku Peter Berger yang lain 'A Rumor of Angels' dapat pula ditemukan dua pengertian istilah sekularisasi. Pertama, pengertian yang umum dianut di Eropa, yakni sebagai lunturnya kepercayaan dan perilaku (Kristen) di dalam masyarakat modern. Sedangkan yang kedua adalah definisi yang umumnya dianut di Amerika, yakni sebagai adanya pergeseran motivasi orang-orang yang melakukan suatu perilaku dan partisipasi keagamaan. Konsisten dengan pengertian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik dua kesimpulan berikut. Pertama, selama agama dipandang sebagai suatu sikap terhadap dunia suci dan selama agama dipandang sebagai sebuah institusi sosial yang mewadahi religiusitas manusia, termasuk religiusitas manusia modern, selama itu pula agama dibutuhkan. Kedua, karena menurut kodrat alamiahnya manusia berkembang, baik fisik maupun mental, baik secara kolektif maupun individual, maka kemampuan menjelaskan pengalaman-pengalaman (bahkan yang paling kritis sekalipun) ikut berkembang, demikian pula dengan pemahaman terhadap perilaku dan kegiatan keagamaan. Dari dua kesimpulan ini muncul pemahaman baru, yaitu proses sekularisasi telah, sedang dan akan terus berlangsung, tetapi hal tersebut hanya terutama menyangkut aspek-aspek superfisial formal dari perilaku keagamaan, tidak menyangkut substansi pengalaman dan nilai-nilai dasar religius itu sendiri. Menyangkut hal yang terakhir itu, bahkan terjadi sebaliknya, semakin modern suatu masyarakat semakin tinggi kerinduannya terhadap nilai-nilai religius yang dasar. Secara singkat dapat diungkapkan dengan ekspresi, bahwa high tech society need high touch spiritually.

Religiusitas, Agama dan Kebijakan Publik

            Secara empirik, di dalam masyarakat modern seperti Amerika Serikat, agama merupakan identitas terakhir yang dibicarakan dalam pergaulan sehari-hari, mungkin karena dianggap sebagai bagian dari privasi, kecuali akhir-akhir ini paska peristiwa 11 September ketika terorisme dikaitkan dengan fundamentalisme, agama tiba-tiba menjadi primadona dalam wicara yang bersifat publik. Di dalam sejarah umat manusia, agama menampilkan dua wajah yang tidak hanya berbeda, namun sangat paradoksal. Di satu sisi, agama tidak hanya mampu memberi harapan dan penguatan hidup dengan cara mentransendensikan berbagai bengalaman pahit setiap individu yang memeluknya, tetapi juga mampu mengikat mereka dalam suatu solidaritas kolektif yang memiliki daya hidup yang luar biasa. Di sisi lain, sejarah umat manusia juga menunjukkan, bahwa agama juga tidak hanya  dapat digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai alat penindasan, bahkan akhir-akhir ini agama sering dikaitkan dengan kekerasan yang terjadi tidak hanya dalam skala lokal, tetapi juga dalam skala internasional.

            Kontradiksi lain juga sering terjadi, secara doktrinal. Dengan satu dan lain cara setiap agama mengajarkan kebajikan dan kasih, baik dalam dimensi vertikal maupun dimensi horisontal, namun dalam interaksi sosial, baik yang bersifat internal di antara penganut agama yang sama maupun eksternal antar penganut agama yang berbeda, urusan agama sering menjadi pemicu utama terjadinya konflik dasyat yang berakhir dengan peperangan yang menghasilkan banyak kematian. Paradoks juga terjadi ketika orang mengkaji hubungan antara kebijakan negara dengan kehidupan beragama warganya. Secara kategorial, ada dua model besar untuk menjelaskan intervensi negara terhadap agama, yaitu konsep negara agama yang tidak membedakan apalagi memisahkan urusan negara dari urusan agama dan negara sekular yang memisahkan dengan tegas urusan negara dari urusan agama. Di antara kedua model tersebut, selalu ada model kombinasi seperti Indonesia.

            Namun demikian, apapun model formal hubungan antara negara dan agama, selalu dapat ditemukan bahwa intervensi negara dalam kehidupan beragama seringkali tidak hanya berakhir dengan kegagalan, tetapi bahkan menimbulkan masalah yang lebih besar. Dengan membaca tulisan ini, baik kasus maupun refleksi teoritiknya,  orang diharapkan dapat memahami tiga persoalan utama, bagaimana agama harus dipahami, dapatkah kehidupan beragama diintervensi, serta bagaimana strategi intervensi yang dapat dilakukan.


[1] Daftar Isian Potensi Desa 1985/1986, Tabel IV.b.,Halaman 5.
[2] Lihat majalah Tempo , terbitan 29 Januari 1983.
[3] Istilah “ Paguron” berasal dari kata “ perguruan” yang merupakan padanan kata ”perguruan” dalam bahasa Indonesia.
[4] Strathof, Sadjarah Ngadegna Agama Djawa Sunda (ADS), Garut, 1970, Hal. 1
[5] Tuduhan pertama pemerintah Belanda tersebut dapat dimengerti apabila mengaitkan Madrais dengan ajaran-ajarannya yang mengandung unsur eksistensialis, terutama yang menyangkut hakekat manusia sebagai bangsa dan hidup manusia yang harus menuju kemerdekaan lahir batin. Sedangkan mengenai pemerasan, memang para penganut ADS dari dahulu biasa memberikan “persembahan” kepada pemimpin mereka. Namun apabila mereka ditanya, apakah mereka merasa dipaksa, sampai saat inipun jawaban mereka tidak menunjukan adanya pemaksaan tersebut. Apakah hal ini merupakan suatu usaha untuk melindungi pemimpin mereka? Boleh jadi. Tetapi apabila benar begitu maka setidaknya kita dapat melihat suatu kesetiaan yang kuat dari para penganut ADS kepada pimpinan mereka. Mengenai tempat pembuangannya, A.M. Basuki menyebut Boven Digul. Tetapi menurut Dr. Lance Castle, yang menjadi salah satu pembimbing penulisan ini, Boven Digul tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai tempat pembuangan besaran-besaran baru pada tahun 1920-an. Dan ini agak sejalan dengan ceritera yang berkembang dari mulut ke mulut diantara para penganut ADS dahulu. Mereka tidak pernah menyebut Digul tetapi Merauke. Boleh jadi penyebutan Boven Digul sebagai tempat pembuatan pendiri ADS terjadi kemudian, setelah Digul terkenal sebagai tempat pembuangan.
[6] Nampaknya menarik apabila diadakan studi lebih lanjut mengenai sikap pemerintahan Belanda terhadap ADS, khususnya sikap Van der Plas sendiri. Hal itu dapat memperjelas bagaimana hubungan yang sesungguhnya terjadi antara pemerintah Belanda dengan ADS. Studi tersebut dapat dikhususkan pada dokumen-dokumen yang masih dimiliki oleh pemerintah Belanda.
[7] Bila dikaitkan dengan masa pengembaraannya usia pangeran Madrais ketika meninggal mencapai kira-kira 105 tahun. Angka ini diperoleh dari perhitungan, bahwa masa pengembaraannya berlangsung dari tahun 1845 s/d 1849, dan ketika itu usia pendiri ADS tersebut sekitar 10 – 13 tahun. Mengenai hal ini majalah “Tempo” mencatat masa hidup Madrais antara tahun  1833 – 1939, berarti ia berusia 106 tahu. Angka ini berbeda banyak dengan apa yang diungkapkan oleh Prof. Kamil Kartapradja yang menyebutkan Madrais meninggal dunia dalam usia kira-kira 65 tahun.
[8] Pangeran Tedjabuana sendiri beserta keluarganya dikabarkan tetap bertahan dengan ADS-nya sekalipun secara formal ia telah menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS.
[9] Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, 1980
[10] Statistik Kelurahan Cigugur 1986



Tidak ada komentar:

Posting Komentar