Rabu, 17 Oktober 2018

PANDANGAN DAN SIKAP WARGA BANDUNG RAYA TERHADAP RADIKALISME DAN TERORISME

oleh :
doddy s. truna
maman lukmanul hakim
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji pandangan dan sikap warga Bandung raya terhadap radikalisme dan terorisme. Kasus-kasus yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme masih marak terjadi di Indonesia yang telah menumbulkan citra dan opini buruk tentang Islam karena peristiwa-peristiwa tersebut sering dikaitkan dengan ajaran Islam. Berkaitan dengan itu, dalam penelitian ini dikaji bagaimana pandangan warga Bandung Raya mengenai berbagai aspek yang sering dikaitkan dengan peristiwa radikalisme dan terorisme.
Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif sosiologis untuk menyoroti tindakan radikal sebagai tindakan sosial yang dilakukan sebagian masyarakat untuk mencapai tujuan atau cita-citanya. Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan memusatkanperhatian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung pada masa sekarang di mana peristiwa terorisme dan radikalisme masih mewarnai kehidupan masyarkat pada masa kini.
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beragam sikap dan pandangan masyarakat Bandung Raya mengenai isu-isu yang berkaitan dengan tindakan terorisme dan radikalisme. Isu penerapan syari’at Islam dan pelaksanaan hukum Islam merupakan isu yang masih diyakini sebagain masyarakat untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula mengenai dakwah dan penyebaran agama Islam kepada non-Muslim, peneritbhan tempat-tempat hiburan dan rumah makan di bulan Ramadhan, dukungan terhdap ISIS, dan peran tokoh masyarkat serta media masa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di Jawa Barat. Pada umumnya responden tidak mempermasalahkan kembali bentuk dan sistrem hukum di Indonesia, hanya saja dalam penerapannya dianagap masih lemah sehingga alternatif pemecahan oleh hukum Islam menjadi pilihan bagi sebagian orang.
Kesimpulannya penelitian ini adalah bahwa penegakan hukum di Indonesia menjadi imperatif dan mendesak untuk menghindari kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pembinaan masyarakat mengenai bahaya radikalisme dan terorisme juga menjadi penting dilakukan agar masyarakat tidak menjadikan tindakan radikal sebagai pilihan untuk menyalurkan hasrat dan keinginan mereka.
Kata Kunci: radikalisme, terorisme, gerakan Islam.



A.        PENDAHULUAN
1.       Latar belakang
Kasus-kasus radikalisme dan terorisme masih terjadi di berbagai negara. Aksi-aksi kekerasan telah menimbulkan tragedi kemanusiaan yang tidak terhingga berupa korban jiwa dan rasa takut secara massal. Hilangnya rasa aman di kalangan masyarakat merupakan ancaman bagi pemerintah dalam menjalankan program-program pembangunan nasional dan dalam mengendalikan dan menjaga keamanan nasional.
Berbagai peristiwa terorisme di Indonesia juga telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang aman bagi persembunyian para teroris. Keadaan seperti ini didukung oleh sikap terbuka bangsa Indonesia yang sangat mudah menerima kehadiran orang asing yang tidak dikenal hanya karena didasarkan kepada penampilan orang asing yang berkesan religius dan saleh.
Menghadapi problem radikalisme dan terorisme di Indonesia, sebagian kelompok masyarakat juga tidak selalu kompak dengan satu visi, cita-cita, dan tujuan. Di antara mereka ada yang menolak keterkaitan antara Islam dan terorisme. Menurut mereka, aksi terorisme merupakan konspirasi Yahudi-Amerika untuk mendiskreditkan Islam. Di pihak lain, ada masyarakat yang merasakan dan memiliki bukti-bukti adanya ancaman dari keberadaan gerakan-gerakan radikal di Indonesia.
Terlepas dari kontroversi tersebut, aksi-aksi radikal terorisme masih terjadi. Peristiwa-peristiwa di negara lain, seperti di Timur Tengah dengan munculnya gerakan ISIS, telah meningkatkan rasa percaya diri dan semangat gerakan radikal terorisme di Indonesia. Fenomena ISIS telah memberi inspirasi bagi gerakan radikal terorisme di Indonesia untuk meneruskan aksi-aksinya.
Munculnya aksi-aksi terorisme dan adanya rencana-rencana aksi menunjukkan masih adanya potensi-potensi radikalisme dan terorisme di tengah-tengah masyarakat. Banyak tokoh dan pelaku-pelakunya berada di tengah-tengah masyarakat. Bahkan ada juga yang hidup di hutan dan melakukan latihan-latihan militer. Mereka yang berada di tengah-tengah masyarakat rata-rata dapat diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari anggota mereka.
Di sisi lain, aktor-aktor di balik tindakan radikalisme dan terorisme juga merupakan ancaman. Mereka melakukan menyebarkan opini, agitasi, provokasi, dan beragam cara kepada masyarakat umum. Hal ini dipicu oleh berbagai kelemahan di tubuh pemerintahan (weak government) dan masalah penegakkan keadilan serta tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan mereka.
Dari penjelasan singkat di atas, potensi internal pertumbuhan gerakan radikal dan terorisme di negeri ini ternyata amat bersifat kompleks. Faktor ini menjadi semakin kompleks dengan tumbuh suburnya gerakan-gerakan radikal dan aksi-aksi terorisme di negara-negara lain, seperti gerakan ISIS, al-Qaeda, dan lain-lain.
Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa potensi radikal terorisme masih ada dan tetap menjadi ancaman bagi negara dan bangsa ini. Untuk mengkaji masalah tersebut, dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi pandangan masyarakat mengenai potensi-potensi radikal terorisme di Indonesa. Potensi-potensi dimaksud meliputi potensi radikal terorisme didasarkan kepada keyakinan atau agama, ideologi, politik, latar ekonomi, sentimen kekelompokan, dan faktor-faktor lainnya yang menimbulkan dorongan untuk melakukan tindakan radikal dan teror yang mengancam kedaulatan negara, keamanan dan ketentraman rakyat.
Penetapan Bandung Raya didasarkan kepada kenyataan bahwa wilayah ini merupakan salah satu locus terjadinya kasus radikalisme dan terorisme dengan para pelakunya yang berasal dari wilayah Jawa Barat.
2.         Perumusan Masalah
Masalah-masalah yang bisa digali melalui kegiatan penelitian ini dijabarkan seperti berikut:
1.          Gambaran umum gerakan keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat, termasuk di wilayah Bandung Raya.
2.          Sikap dan pandangan mengenai syariat Islam dan penerapannya di Indonesia
3.          Sikap dan pandangan mengenai dakwah atau penyebaran agama.
4.          Pengaruh latar sosial budaya masyarakat terhadap munculnya ektremisme dan radikalisme dan terorisme.
5.         Dukungan terhadap gerakan radikal ISIS.
6.         Sikap dan pandangan mengenai aksi bom bunuh diri
7.         Peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme
3.         Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus kajian terhadap masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.          Mengetahui gambaran umum gerakan keagamaan di Jawa Barat, khususnya wilayah Bandung Raya.
2.          Mengetahui sikap dan pandangan mengenai syariat Islam dan penerapannya di Indonesia.
3.          Mengetahui sikap dan pandangan mengenai dakwah atau penyebaran agama.
4.          Mengetahui pengaruh latar sosial budaya masyarakat terhadap munculnya ektremisme dan radikalisme.
5.          Mengetahui respon dan tingkat dukungan terhadap gerakan radikal ISIS.
6.          Mengetahui sikap dan pandangan mengenai aksi bom bunuh diri
7.          Mengetahui peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme
4.         Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Melalui metode ini digali dan dan dideskripsikan fenomena-fenomena umum berdasarkan peristiwa yang teramati dan informasi dari sumber-sumber terpilih melalui teknik pengumpulan data yang beragam. Pendekatan kualitatif dipilih dalam penelitian ini dengan menitik beratkan kepada deskripsi dan penafsiran (interpretasi) atas berbagai peristiwa melalui teknik-teknik pengumpulan data yang ditetapkan.
Lingkup wilayah penelitian adalah wilayah Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Latar kehidupan dan budaya Sunda menjadi latar penting dalam mengidentifikasi potensi radikal terorisme yang menjadi fokus penelitian ini. Wilayah Bandung Raya tidak bisa dipisahkan dari karakter masyarakat Jawa Barat. Dan, Jawa Barat merupakan tempat lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baik yang dikategorikan sebagai gerakan radikal mapun yang akomodatif dan moderat.
5.         Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang:
1.       Pemahaman mengenai konsep syariat Islam
2.       Pemahaman sasaran tentang konsep mengenai dakwah.
3.       Pengetahuan mengenai radikalisme, dan terorisme.
4.       Pengetahuan mengenai gerakan radikal ISIS.
5.       Sikap dan pandangan mengenai aksi bom bunuh diri
6.       Peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme.
Jenis data di atas diambiol dari sumber informasi atau responden dipilih secara purposive. Lapisan masyarakat sebagai sumber informasi yang dipilih adalah:
1.       Kelompok agamawan.
2.       Kelompok pendidik
3.       Kelompok tokoh masyarakat
4.       Kelompok insan media massa

6.         Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1.          Wawancara
2.          Penyebaran angket terbuka dan semi terbuka
3.          FGD (focused group discussion)
4.          Kajian dokumen dan sumber-sumber tertulis.
7.         Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1.       Tahap Inventarisasi Data
2.       Tahap Kategorisasi Tema-tema
3.       Tahap Analisis Data
4.       Penarikan Kesimpulan

B. TINJAUAN PUSTAKA  DAN KAJIAN TEORI
1.          1. Tinjauan Pustaka Hipotesis Frustrasi-Agresi: Aksi-aksi teroris merupakan respons rasa frustrasi karena tidak terpenuhinya atau tersalurkannya kebutuhan politik, ekonomi, atau personal.
2.          Hipotesis identitas negatif: Seorang teroris politis secara sadar mengasumsikan dirinya dengan identitas negatif, misalnya karena kegagalan yang dialaminya. Identitas negatif menimbulkan keinginan membalas dendam dari peran yang didambakan dan diharapkan. Teroris terlibat dalam aksi terorisme karena perasaan marah dan tidak berdaya karena tidak tersedia pilihan.

Beberapa kajian dan penelitian mengenai gerakan radikal terorisme di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para peneliti mengenai radikalisme, sejak van Dijk, yang meneliti Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo[1] hingga Noorhaidi Hasan yang meneliti Lasykar Jihad di Indonesia. Hingga kini telah banyak sekali kajian mengenai gerakan radikal dan aksi-aksi terorisme yang mengusung ideologi-ideologi berbasis agama untuk menggantikan ideologi negara dan sistem pemerintahan Indonesia.[2]
Dr. Petrus Reinhard Golose telah menulis buku yang berisi kajian mengenai deradikalisasi. Dalam bukunya ia membahas interaksi antara terorisme dan agama secara teoretik, hingga langkah-langkah kongkrit tindakan pemberantasan terorisme, desain penanganan terorisme global dan model mutakhir penanganan terorisme di Indonesia yang ditawarkannya.
Kajian tentang terorisme dunia juga dilakukan oleh Dzulqarnain M. Sunusi. Di bukunya ia mengkaji secara normatif prinsip-prinsip jihad dalam Islam dan perbedaannya dengan terorisme. Didasarkan kepada kajiannya, ia memberi catatan kritis atas buku Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan Teroris.[3]
Analisis lainnya dilakukan terhadap para pelaku teror. Sukawarsini Djelantik menjelaskan tentang dorongan menjadi teroris dari perspektif Psikologi, khususnya Psikologi Politik. Untuk analisis ini ia mengemukakan pertanyaan pokok: “Mengapa menjadi teroris?” Untuk menjawab pertanyaan ini ia mengajukan tiga hipotesis, yaitu
3.          Hipotesis kemarahan terhadap diri sendiri: Teroris mengalami kerusakan mental, misalnya terkait dengan perkembangan pada usia dini. Jika narsisme primer tidak dinetralisir maka individu bersifat anti-sosial, sombong, dan tidak menghargai orang lain. Dan, jika bentuk psikologis ego orang tua tidak dinetralisir, maka akan mengakibatkan kondisi rasa kalah dan tidak berdaya yang mengarah kepada reaksi dan keinginan untuk menghancurkan sumber luka diri. Sebagai manifestasi khusus dari kemarahan terhadap diri sendiri, terorisme terjadi dalam konteks luka diri.[4]
Psikolog terkemuka Sarlito Wirawan Sarwono menulis kajian tentang terorisme di Indonesia dilihat dari perspektif psikologi. Menurut Sarlito, “radikal” adalah sikap. Sikap radikal adalah perasaan (afeksi) yang positif terhadap segala yang serba ekstrem, sampai ke akar-akarnya. Sebuah sikap yang sangat kuat disebut fanatik. Sikap ini akan mendorong motivasi dan perilaku ke arah membela mati-matian apa yang dianggapnya sebagai nilai-nilai yang paling mendasar dari suatu keyakinan, kepercayaan, ideologi, atau agama.[5]
Penelitian mengenai jaringan Islam jihadi juga telah dilakukan oleh Nur Khaliq Ridwan yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia. Nur Khaliq melakukan analisis atas jaringan Islam jihadi sebagai metamorfosa dari gerakan NII.
Buku lainnya yang ditinjau dalam penelitian ini adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Walter Reich berjudul Origins of Terrorism, Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind. Kata Reich, ada beberapa pendekatan untuk memahami aksi terorisme dari sudut psikologi. Salah satu pendekatan terhadap aksi dan motivasi terorisme adalah asumsi bahwa aksi-aksi tersebut murni merupakan hasil pilihan strategis, yaitu ditujukan untuk mencapai akhir yang rasional dan strategis. Pendekatan lainnya menjelaskan bahwa aksi seperti itu merupakan hasil atau akibat dari dorongan psikologis. Buku ini juga menjelajahi motivasi-motivasi di balik aksi terorisme dan mekanisme psikologis yang menjadikan teroris mau melakukan tindakannya.[6]
Kajian tentang gerakan radikalisme juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak. Kajian tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Genealogi Islam Radikal di Indonesia. Zaki Mubarak berusaha melacak akar persemaian dan pertumbuhan radikalisme di Indonesia. Ia melihat gerakan radikal di Indonesia tidak terlepas dari konteks gerakan radikalisme internasional. Oleh karena itu ia juga melacak lebih jauh ke gerakan-gerakan sejenis baik di negara-negara lain, baik dari kalangan gerakan yang menggunakan nama Islam maupun gerakan-gerakan radikal berdasarkan atas nama agama-agama atau ideologi-ideologi lainnya.[7]
2. Kajian Teoretik Radikalisme
Radikalisme dan terorisme sering dihubungkan dengan fundamentalisme. Dalam konteks Islam di Indonesia kontemporer, radikalisme Islam selalu dihubungkan dengan pertumbuhan fundamentalisme Islam yang mulai tumbuh subur di Indonesia di penggalan terakhir abad ke dua puluh. Fundamentalisme Islam muncul dalam bentuk gerakan radikal Islam dan tindak kekerasan dan teror yang dilakukan secara massal dalam bentuk pengrusakan dan penghancuran sasaran-sasaran strategis.
Genealogi radikalisme agama muncul karena beberapa sebab. Dalam kasus Islam, misalnya, Hassan Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam Islam kontemporer. Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa. Kelompok Islam tertentu tidak mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang berkuasa, sehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata bagi umat Islam.[8]
Menurut Horace M. Kallen kemunculan radikalisasi, paling tidak, ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yaitu:
Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain. Dan Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.[9]
Karena menawarkan sistem politik yang berbeda dengan sistem demokrasi yang dianut, radikalisme dan fundamentalisme Islam menjadi ancaman bagi faham demokrasi yang kadang diidentikkan dengan Kristen dan Barat. Akibatnya, demokrasi sulit berkembang di lingkungan kultur non-barat dan non-Kristen[10].
Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peristiwa-peristiwa tersebut dengan segala akibatnya. Meskipun pelaku tindakan kekerasan dan radikalisme itu sekelompok kecil yang secara kuantitatif tidak signifikan, namun hal itu telah menimbulkan opini buruk bahwa Islam itu diidentikkan dengan kekerasan.
Sesunguhnya, perilaku keberagamaan Islam di banyak negara tidak sama dan tidak bisa disamakan, demikian pula di Indonesia. Keberagamaan Islam di Indonesia digambarkan sebagai Islam yang ramah, damai, toleran. Sedangkan Islam di Timur Tengah dan negara-negara Asia dan Afrika lebih dikenal keras, tidak toleran, tidak kompromi, dan otoriter. Karena gambarannya seperti itu, maka tatkala terjadi peristiwa-peristiwa Bom Bali dan rangkaian kekerasan berikutnya, semua orang terhenyak, bagaimana mungkin Islam yang ramah itu tiba-tiba berubah menjadi sadis.
Atas keadaan seperti itu, kalangan umat Islam yang tidak setuju terhadap tindakan kekerasan dan terorisme dan terhadap pandangan serta tuduhan terhadap Islam sebagai pemicu tindakan kekerasan merasa perlu untuk memberikan tanggapan dan penjelasan. Berdasarkan berbagai perspektif yang dikemukakan mereka, terdapat berbagai faktor yang mendorong (potensi) ke arah terjadinya tindakan radikalisme dan terorisme. Faktor itu bisa berasa dari luar diri, misalnya situasi politik, rezim kekuasaan, dan tekanan politik, kekecewaan terhadap realitas, dan sebagainya. Faktor itu bisa juga berasal dari dalam diri, misalnya rasa frustrasi, tertekan, terancam, kemarahan dan kekecewaan terhadap diri sendiri, dan identitas negatif mengenai diri.
C. GERAKAN ISLAM DI WILAYAH JAWA BARAT
Bandung dipilih menjadi lokasi utama penelitian ini karena memang pertama-tama penelitian ini sengaja difokuskan di ibukota provinsi dan sekitarnya. Selain itu, sebagai ibukota provinsi, Bandung lengkap dalam hal komposisi politik dan sosial-keagamaan. Masing-masing kelompok agama, mulai dari yang liberal hinggal radikal terpresentasikan di Bandung. Ormas-ormas Islam besar, seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis terlihat cukup aktif. Aktivisme keislaman juga tampak aktif di Bandung, baik di kalangan pelajar dan mahasiswa, pemuda, maupun generasi yang lebih tua. Dan yang juga tak kalah pentingnya, Bandung menjadi cermin jelas bagaimana kehidupan keislaman berjalan beriring dengan laju modernisasi, urbanisasi, dan perubahan yang cepat di perkotaan.
1.         Perkembangan Ormas dan Gerakan Islam[11]
Beberapa ormas Islam yang lahir dan yang berkembang di Jawa Barat dan berkantor pusat di Bandung, antara lain Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, dan Ahmadiyah. Beberapa lainya yang lahir di daerah-daerah lain di Jawa Barat maupun di luar Jawa, akan tetapi kemudian memiliki kantor pusatnya untuk wilayah provinsi di Bandung seperti Persatuan Umat Islam, Mathla’ul Anwar, dan al-Jami’atul Washliyah (lahir di Sumatara Utara).
Di Jawa Barat juga lahir gerakan radikal Islam. Gerakan Darul Islam (DI) adalah gerakan radikal yang muncul pada 1948 melalui sebuah pemberontakan di Jawa Barat di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.[12] Gerakan DI merupakan gerakan yang cukup besar dan tidak mudah untuk ditaklukkan. Pengaruhnya juga menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia dan melahirkan gerakan-gerakan radikal di setiap daerahnya.
Gerakan Islam di luar mainstream lainnya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari Hizbut Tahrir Internasional. Bagi Hizbut Tahrir Indonesia, kota-kota besar di Jawa Barat merupakan salah satu basis bagi organisasi yang memiliki tujuan akhir terwujudnya sistem Kekhalifahan Islamiyah.
Gerakan lain di luar mainstream yang cukup menonjol adalah Front Pembela Islam (FPI). FPI dibentuk dengan tujuan untuk melindungi dan membebaskan umat Islam dari kemaksiatan dengan cara membina akhlak umat sekaligus memberantas sumber kemaksiatannya.
Sebagai organisasi yang berkomitmen memberantas sumber kemaksiatan, acapkali FPI melakukan sweeping ke pusat-pusat hiburan seperti diskotik dan pusat maksiat lainnya. Sikap keras FPI sering menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Di lain pihak, FPI pun menunjukkan sikap politik yang tegas terhadap wacana pencantuman Piagam Jakarta dalam konstitusi dasar NKRI. Dukungan tersebut disampaikan ke forum Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
2.         Gerakan Masjid Salman ITB
Masjid Salman ITB merupakan mesjid kampus yang memiliki ciri khas dan amat dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia merupakan masjid rujukan bagi model kegiatan masjid kampus di beberapa perguruan tinggi karena memiliki model pembinaan keagamaan Islam yang khas bagi mahasiswa.
Keberadaan Masjid Salman ITB tidak lepas dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).[13] Sejak tahun 1974, Masjid Salman menjadi tempat diadakannya Latihan Mujahid Dakwah (LMD) bagi kader-kader baru Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang digagas oleh Imaduddin Abdurrahim.[14] Para kader yang dibina melalui LMD dan usrah gaya Masjid Salman itu bukan hanya berasal dari ITB, tetapi ada pula para kader dari berbagai perguruan tinggi umum lain.
Wacana keislaman yang dikembangkan oleh gerakan Masjid Salman ITB ini merupakan aspek penting untuk melihat genealogi dan perkembangan narasi Islamisme di Jawa Barat. Narasi Islamisme gerakan Masjid Salman ITB menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan narasi Islamisme yang berkembang di Jawa Barat hingga saat ini.
3. Berdiri dan Perkembangan MUI Jawa Barat
Indonesia yang baru merdeka dihadapkan kepada masalah pemberontakan DI/TII yang harus berhadapan dengan militer (Divisi Siliwangi). Pihak tentara melihat bahwa cara militer saja tidak cukup untuk menghancurkan ancaman dan memulihkan keamanan. Di sini militer harus meraih kaum ulama yang berperan besar sebagai pemimpin masyarakat dengan membentuk sebuah organisasi para ulama. Pada pada tanggal 18 Maret 1957 para alim ulama dan para ustadz di daerah Tasikmalaya bersepakat membentuk Badan Musyawarah Alim Ulama (BMAU)
Inisiatif untuk membentuk BMAU disambut baik olehkalangan militer. Hal ini terbukti dengan kesediaan militer untuk diangkat menjadi ketua kehormatan dan mengisi kepengurusannya. Karena manfaatnya yang besar untuk membangun soliditas antara militer dan masyarakat, maka kerja sama ditingkatkan dan diperkuat. Untuk itu, para alim ulama dan militer mengubah BMAU menjadi Majelis Ulama sebagai sebuah organisasi dan gerakan Islam pada tanggal 12 Juli 1958. Pembentukan lembaga yang berasaskan Islam itu bertujuan untuk “melaksanakan kerja sama dengan alat Negara Republik Indonesia dalam bidang tugasnya yang sesuai dengan ajaran Islam”.
Meski Majelis Ulama dibentuk militer bersama alim ulama, namun inisiatif dan peranan alim ulama amat menonjol dalam hal ini. Para ulama merumuskan langkah-langkah yang didasari semangat perjuangan dan pengabdian untuk mempertahankan kelangsungan dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar sekaligus menjaga keamanan demi keutuhan NKRI lewat jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama manusia).[15]
Kini MUI Jawa Barat semakin memainkan peran pentingnya di Jawa Barat.Ia tidak lagi menjadi lembaga tersendiri di Jawa Barat, akan tetapi merupakan bagian dari MUI Pusat dan menyesuaikan segala tata aturannya dengan MUI Pusat di Jakarta.
4. Peristiwa Radikalisme Keagamaan
Sejumlah konflik intoleransi keagamaan, kekerasan agama, hingga radikalisme Islam kerap terjadi di wilayah Jawa Barat. Bahkan kasus-kasus terorisme di Jawa Barat menempati angka tertinggi dibanding di provinsi-provinsi lainnya. Dalam pengamatan Lazuardi Birru, ada tujuh alasan kerentanan radikalisme sosial keagamaan di Jabar, yaitu paham jihad, alienasi dan deprivasi, intoleransi, perasaan terancam, rasa tidak aman, agenda Islam dan keanggotaan radikal.
Wahid Institute (WI), dalam Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 misalnya menyimpulkan: “Jawa Barat lagi-lagi menjadi daerah dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi tertinggi. Bila dibanding tahun-tahun sebelumnya, Jawa Barat terus mengalami peningkatan jumlah kasus. Tren peningkatan ini menunjukkan bahwa konservatisme keagamaan di daerah ini terus mengalami pertumbuhan. Sikap konservatisme ini beriringan dengan sikap eksklusif dan intoleran.” WI mencatat, dari 13 provinsi yang dipantaunya selama tahun 2012, Jawa Barat memiliki angka tertinggi dengan 43 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Kesimpulan yang sama juga diungkapkan oleh Setara Institute. Dalam laporannya, Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012, Setara mencatat bahwa provinsi dengan tingkat pelanggaran  atas  kebebasan  beragama/berkeyakinan tertinggi adalah Jawa Barat, yang di tahun sebelumnya juga berada di posisi yang sama. Jumlah kasus yang terjadi di provinsi ini adalah sebanyak 76 pelanggaran, meningkat dibandingkan tahun lalu yang di angka 57 kasus. Kesimpulan yang sama juga diberikan oleh Elsam dalam Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2012: Tahun Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia. Menurut laporan ini, Jawa Barat menjadi tempat yang paling tidak toleran di seluruh Indonesia dengan setidaknya terdapat 35 peristiwa pelanggaran di daerah itu.
Selain itu, sejumlah penangkapan terhadap terduga teroris juga beberapa kali terjadi di Jawa Barat. Contoh terbaru adalah penggerebekan terduga teroris di Kampung Batu Rengat, Desa Cigondewah Hilir, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat oleh Polri dan Tim Densus 88[16] Contoh lainnya adalah penangkapan terhadap kelompok teroris di Bekasi, Jawa Barat. Polisi berhasil mengamankan 14 bom pipa dari lokasi penggerebekan terduga teroris itu.[17]
Pada rilis terakhir tahun 2015, Setara Institute telah menerbitkan sepuluh kota pertama yang memiliki tingkat toleransi terendah versi Setara Institute sebagai berikut.
1.       Bogor
2.       Bekasi
3.       Banda Aceh
4.       Tangerang
5.       Depok
6.       Bandung
7.       Serang
8.       Mataram
9.       Sukabumi
10.   Banjar
11.   Tasikmalaya[18]
Dari indeks tersebut tampak bahwa Bandung merupakan salah satunya yang memiliki toleransi terendah. Sejauh mana kebenaran mengenai klaim Muslim di Bandung memiliki tingkat toleransi yang rendah tetap memerlukan penelitian lebih lanjut. Pendek kata, identifikasi satu daerah sebagai basis terorisme mesti direspon oleh sejumlah penelitian yang mendalam dan menyeluruh karena, terlepas dari hasil kesimpulan diatas,hal ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat merupakan daerah rawan radikalisme dan terorisme.

D. SIKAP DAN PANDANGAN TERHADAP SYARIAT ISLAM, DAKWAH, JIHAD, DAN AKSI RADIKAL TERORISME
1.         Penerapan Syariat Islam di Negara Republik Indonesia
Angket yang disebarkan kepada 600 responden yang hampir seluruhnya beragama Islam menggambarkan perbandingan antara yang setuju penerapan syariat Islam di Negara Indonesia, yang netral tidak menunjukkan kecenderungannya dan yang tidak setuju.
Grafik 1: Sikap Mengenai Penerapan syariat Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Atas pilihan di atas responden tampaknya memandang bahwa posisi Indonesia sebagai negara demokrasi tidak mustahil untuk menerapkan hukum Islam. Jawaban yang diberikan responden yang setuju terhadap penerapan syari’at Islam di atas dapat dikelompokkan kepada tiga kelompok yang memiliki aksentuasi masing-masing. Kelompok yang pertama mencerminkan pandangan yang tegas dan mencerminkan harapan atau optimisme, kelompok kedua lebih menunjukkan reaksi ketidakpuasan atas kondisi yang ada, dan kelompok ketiga memberikan catatan-catatan bersyarat.
Sebanyak 25% responden memilih  posisi netral atau ragu. Keraguan karena di satu sisi setiap orang berhak untuk mengemukakan sikap dan pandangannya serta cita-citanya, di sisi lain Indonesia merupakan enagra dengan poenduduk yang heterogen sehingga tidak bisa memaksakan kehendak sekelompok masyarakat yang beragama tertentu.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa ada 45 persen responden yang tidak setuju penerapan syari’at Islam secara formal di Negara republik Indonesia. Alasan yang dikemukakan rata-rata senada yaitu kemajemukan bangsa Indonesia dari segi agama dan Pancasila sebagai dasar negara telah menjamin kebebasan melaksanakan ajaran agama tanpa harus ada formaslisasi hukum Islam.
2.         Penerapan Hukuman (Sanksi) Islam oleh Negara bagi Warga Muslim
Pertanyaan yang diajukan peneliti  adalah: ”Setujukan Anda terhadap penerapan hukuman (sanksi) oleh negara bagi warga negara Muslim yang tidak melaksanakan hukum Islam di Indonesia?” Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

Grafik 2: Pelaksanaan Hukuman Berdasarkan Syariat Islam bagi Umat Islam

Dari grafik di atas tampak bahwa 30 persen responden menyatakan sikap “setuju” terhadap penerapan hukuman berdasarkan syari’at Islam. Hal tersebut didasarkan kepada alasan yang mereka kemukakan bahwa umat Islam wajib untuk melaksanakan hukum berdasarkan syar’at Islam. Adapun yang tidak menyatakan sikap yang jelas atau netral adalah sebanyak 25 persen. Dilihat dari alasan yang dikemukakannya, mereka tampaknya ada yang tidak mengetahui bentuk pelaksanaan hukuman tersebut tetapi ada pula yang memiliki pandangan yang khas yang menggambarkan adanya pengetahuan yang memadai mengenai hukum Islam tersebut.
Mayoritas dari responden sebanyak 44 persen menyatakan sikap “tidak setuju” atas penerapan hukuman terhadap orang bersalah menurut hukum Islam. Mereka lebih banyak memilih mengikuti hukum yang sudah berlaku di Indonesia sekarang yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala turunannya.
A.   Mengajak Non-Muslim kepada Agama Islam
Penyebaran merupakan bagian penting bagi umat beragama. Penelitian ini mengajukan pertanyaan kepada responden mengenai tugas penyebaran agama menurut pandangan mereka. Berikut ini adalah jawaban responden atas pertanyaan tentang tugas berdakwah kepada orang yang berbeda agama.

Grafik 3: Mengajak non-Muslim kepada Islam

Persentase di atas menunjukkan bahwa 33 persen setuju dengan kegiatan mengajak orang yang berbeda agama ke dalam agama yang dianut pengajaknya. Semua responden yang memberikan jawaban setuju untuk mengajak orang lain berpidah kepada agama yang dianutnya menyatakan bahwa hal itu merupakan kewajiban dan kebenaran harus disebarkan. Asal saja ajakan itu tidak memaksa.
Ada pula yang tidak menentukan sikap yang jelas atau yang ragu-ragu tidak memberikan alasan yang jelas, akan tetapi hal itu menggambarkan kecenderungan bahwa agama merupakan ranah pribadi sehingga semuanya kembali kepada keputusan pribadi seseorang.
Sedangkan responden yang tidak setuju merupakan persentase yang terbanyak. Mereka tidak setuju berdakwah mengajak berpindah agama kepada orang yang sudah memeluk agama dengan cara memaksa. Adalah hak setiap orang untuk menentukan pilihan keyakinannya dan hal itu tidak boleh ada paksaan.
B.         Keragaman Sosial Budaya Indonesia dan Ekstremisme
Mengenai keragaman latar sosial budaya di Indonesia, peneliti mengajukan pertanyaan: “Setujukah Anda bahwa keanekaragaman ideologi, politik, budaya, dan agama telah mendorong tindakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme”. Sikap dan alasan yang dikemukakan atas pertanyaan tersebut adalah sebagaimana digambarkan dalam grafik di bawah ini.
Grafik 4: Keanekaragaman ideologi, politik, budaya, dan agama Telah Mendorong Tindakan Ekstremisme, Radikalisme, dan Terorisme

Dari grafik di atas diketahui bahwa sebanyak 32 persen responden setuju dengan pandangan bahwa keragaman itu dapat menimbulkan ekstremisme, radialisme, dan terorisme.
Pilihan responden di atas bisa dimengerti mengenai dampak dari suatu keberagaman sosial budaya sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, realitas keberagaman sosial budaya di Indonesia harus disikapi secara serius dan bijak agar menjadi potensi produktif bagi pembangunan nasional ketimbang menjadi ancaman disintegrasi.
Selain responden yang menyatakan sikap setuju di atas, 15 persen menyatakan keragu-raguannya. Dalam hal ini  responden tampaknya lebih melihat aspek-aspek tertentu ketimbang latar sosial budaya secara umum, misalnya masalah sikap mental seseorang, peran pemimpin dan aspek ideologi. Oleh karena itu pengenalan kepada pribadi dan aspek mentalitas para pemimpin suatu gerakan, dan ideologi yang dianutnya menjadi aspek penting untuk dikaji dalam upaya memahami gerakan-gerakan Islam di Indonesia.
Responden yang terbanyak yaitu 50 persen memilih “tidak setuju” bahwa keragaman latar sosial dapat menimbulkan ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Mereka mengemukakan alasan yang cukup beragam mengenai pilihannya ini.
Secara umum alasan yang dikemukakan mereka dapat disimpulkan bahwa agama itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya ekstremisme, radikalisme, apalagi terorisme. Agama Islam merupakan rahmatan lil “alamin, demikian halnya potensi sosial budaya bangsa Indonesia yang amat beragam tidak mungkin menimbulkan ekstremisme, bahkan sebaliknya keragaman tersebut menjadi modal utama untuk pengetahuan dan kemajuan.
C.        Tingkat Toleransi Masyarakat
1.       Penutupan Tempat Hiburan di Bulan Ramadhan
Untuk menggali sikap responden mengenai tempat hiburan, peneliti mengajukan pernyataan mengenai: “Setujukan Anda dengan tindakan masyarakat untuk penutupan tempat-tempat hiburan di Bulan Ramadhan?”.
Grafik 6: Sikap dan Pandangan Terhadap Penutupan Tempat Hiburan di Bulan Ramadhan


Atas pernyataan tersebut sebanyak 43 persen menyatakan persetujuannya.
Dari alasan yang dikemukakan responden, dapat diketahui bahwa responden setuju dengan penutupan tempat-tempat hiburan malam karena aspek kemadharatan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan di tempat seperti itu dan aspek penghormatan terhadap bulan suci umat Islam.
Adapun responden yang tidak menentukan sikap yang tegas mengenai penutupan tempat hiburan di bulan Ramadhan, yaitu sejumlah 14 persen. Secara keseluruhannya dapat dilihat bahwa mereka cukup toleran untuk membiarkan tempat terebut tetap buka dengan memberi syarat-syarat atau dalam kondisi-kondisi tertentu
Responden yang menyatakan ketidaksetujuan atas penutupan tempat hiburan malam di bulan Ramadhan. Jumlahnya beda sedikit dengan kelompok yang setuju, yaitu 42 persen. Atas pilihannya itu mereka menyampakan alasan-alasan karena cara-caranya yang cenderung kasar dan memaksa. Sikap toleran tampak sangat jelas dari alasan yang dikemukakan bahkan mereka memberi alternatif pemecahan yang lebih kongkrit, misalnya pembinaan dan cara musyawarah. Cara-cara kasar tidak menyelesaikan masalah, akan tetapi malahan menimbulkan masalah baru.
2.       Penutupan rumah makan di siang hari bulan puasa
Butir pernyataannya yang diajukanmengenaimasalah ini adalah: “Himbauan penutupan rumah makan/warung nasi di siang hari di bulan Puasa dapat dibenarkan.” Atas pernyataan ini maka diperoleh jawaban seperti dilihat pada grafik ini.
Grafik 7: Sikap dan Pandangan Mengenai enutupan Rumah Makan di Siang Hari Bulan Ramadhan

Sebanyak 49 persen responden menyatakan setuju. Mereka memberi alasan mengenai himbauan penutupan rumah makan di siang hari untuk menghormati dan bertoleransi terhdap orang yang berpuasa.
Aapun alasan orang yang menyatakan keraguannya yang dikemukakan adalah bahwa belum tentu pembelinya itu adalah umat Islam, tetapi bisa jadi orang yang berbeda agama. Begitu pula halnya bisa saja orang yang makan itu orang yang memang tidak sedang berpuasa atau sedang dalam musafir.
Yang menyatakan tidak setuju jumlahnya mencapai 32 persen. Lebih kecil dibanding responden yang menyatakan setuju ditutup. Mereka mengemukakan alasan yang cukup beragam dan argumentatif. Sikap yang ditunjukkan oleh jawaban-jawaban di atas mengedepankan sikap toleran responden terhadap orang yang berbeda agama dan yang sedang dalam kondisi tertentu sehingga tidak mengharuskan ia berpuasa.
D.        Pandangan Responden terhadap Gerakan Radikal
1.       ISIS (Islamic State of Irak and Syiria)
Pertanyaan yang diajukan adalah: “Bagaimana sikap anda terhadap pengiriman orang-orang Indonesia untuk bergabung ke ISIS di Suriah-Irak atau gerakan radikal lainnya di Timur Tengah?” Berikut adalah grafik sebaran sikap responden terhadap pertanyaan di atas.
Grafik 8: Sikap dan Pandangan terhadap Pengiriman Warga RI Ke ISIS
Grafik di atas menggambarkan bahwa sebagian besar bahkan hampir seluruhnya responden menyatakan ‘tidak setuju’. Hal itu merupakan intervensi warga RI kepada urusan negara-negara yang sedang berkonflik sedangkan pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan luar negeri untuk bebas aktif dalam arti ikut berperan aktif dalam upaya menciptakan perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Ada juga yang menyatakan persetujuannya tetapi tidak dignifikan sama sekali. Kesetujuannya tersebut menunjukkan alasan kemanusiaan dengan anggapan bahwa mereka dikirim ke Suriah Irak untuk membantu penyelamatan para korban perang. Pernyataannya tersebut tentunya didasarkan kepada pengetahuan atau pemahamannya bahwa warga negara yang dikirim ke Suriah adalah untuk bantuan kemanusiaan yaitu menolong para korban perang.
Sedangkan yang bersikap netral ada 4 persen. Mereka memberikan alasannya bahwa hal itu adalah hak untuk menentukan nasibnya, kesejahteraannya maupun alasan ekonomi di balik keputusannya itu. Dan jika memang yang dilakukannya adalah jihad, maka hal itu sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk melakukannya.
2.         Pembunuhan dan Aksi Bom Bunuh Diri Atas Nama Agama
Penelitian ini mengungkap pandangan responden mengenai aksi bom bunuh diri yang pernah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Jawaban responden adalah seperti yang tergambar pada grafik di bawah ini.
Grafik 9: Sikap dan Pandangan terhadap Aksi Bom Bunuh Diri sebagai bentuk Jihad

Grafik di atas menggambarkan hampir seluruh responden menyatakan ketidaksetujuannya atas aksi bom bunuh diri atas nama agama Islam. Aksi bom bunuh diri hanya merugikan dirinya sendiri dan berdampak buruk bagi citra umat Islam. Ajaran Islam mengedepankan perdamaian dan keselamatan.
3.       Tidakan Radikal demi membela Agama
Pernyataan yang dikemukakan adalah bahwa “Ajaran Islam membolehkan tindakan kekerasan (radikal) demi membela ajaran Islam dari ancaman-ancaman pihak luar Islam.” Atas pernyataan ini ada 30 persen responden menyatakan ‘setuju’.
Grafik 12: Sikap dan Pandangan terhadap Tindakan Radikal Demi Mempertahankan Ajaran Islam
Grafik di atas menunjukkan bahwa 30 persen responden setuju umat Islam melakukan tindakan radikal demi mempertahankan agama Islam dengan alasan untuk membela agamanya.
Adapun yang tidak setuju merupakan mayoritas, yaitu 63 persen dengan alasan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. Dalam al-Quran dinyatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama.
Yang terakhir adalah yang mengambil pilihan netral sebanyak 6 persen, mereka memberi alasan bahwa solidaritas boleh tapi jangan keterlaluan, karena Islam itu amar maruf nahyi munkar.
4.              Perusakan Tempat Ibadah sebagai Aksi Radikalisme
Berikut adalah gambaran mengenai sikap responden terhadap pernyataan: “Perusakan tempat ibadah adalah tindakan terorisme”. Atas pernyataan ini responden memberikan pernyataan sikapnya sebagaimana tergambar pada grafik di bawah ini.
Grafik 14: Perusakan Tempat Ibadah sebagai Tindakan Terorisme
Dari tabel di atas, tampak bahwa sebagian besar responden setuju bahwa perusakan tempat ibadah termasuk tindakan terorisme. Menurut mereka, perusakan tempat ibadah tidak diperbolehkan dalam Islam. Namun, ada pula yang menyatakan keraguannya. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa ada aspek politik telah merusak tatanan beragama dalam kasus perusakan tempat ibadah.
E.        Tanggung Jawab Masyarakat terhadap Kasus Terorisme di Indonesia
1.              Peran Tokoh Agama
Penelitian mempertanyakan sikap responden terhadap pernyataan bahwa “Tokoh agama bertanggung jawab atas tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dan ekstrem di Indonesia.” Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 11: Sikap dan Pandangan terhadap Tanggung Jawab Tokoh Agama atas Tumbuhnya Gerakan Radikal Terorisme

Sebagian besar responden menyatakan setuju bahwa tokoh agama bertanggung jawab atas tumbuhnya gerakan radikal agama di Indonesia. Sikap ini menunjukkan peran penting tokoh agama dalam menyebarkan pemahaman Islam. Jelas bahwa tokoh agama menjadi acuan umat dalam memahami ajaran Islam dan dipercaya telah memberikan ajaran dan pemahaman yang benar tentang Islam.
Sebagian dari responden juga menyatakan sikap netralnya bahwa hal ini bukan sepenuhnya tanggung jawab para tokoh agama. Gerakan radikal juga bisa bersifat positif, bisa bersifat negatif.
Adapun yang mengatakan tidak setuju sebanyak 26 persen dengan mengemukakan alasannya bahwa semua pihak bertangung jawab termasuk masyarakat. Tindakan radikalisme dan terorisme juga bukan karena ustadz, tokoh, dan sebagainya, akan tetapi lebih merupakan keputusan individual pelaku.
2.         Peran Perempuan
Mengenai peran perempuan, peneliti mengajukan pernyataan negatif bahwa “Perempuan tidak bertanggung jawab langsung atas kasus-kasus terorisme karena semuanya dilakukan oleh laki-laki.” Secara lebih rinci sebaran jawaban dapat dilihat pada grafik.
Grafik 13: Perempuan Tidak Bertanggung Jawab Langsung atas Kasus-Kasus Radikalisme dan Terorisme karena Dilakukan Laki-Laki.
Dari tabel di atas tampak bahwa sebaran jawaban memusat di pernyataan tidak setuju. Artinya bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama bertanggung jawab atau segala kasus radikalisme dan terorisme. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat secara keseluruhannya ikut bertanggung jawab atas pembentukan karekter seseorang dalam lingkungan masyarakatnya. Adapun alasan yang mereka kemukakan hanya alasan untuk pilihan sikap tidak setuju, sementara yang setuju tidak memberi penjelasan.
F.         Tanggung Jawab dan Peran Insan Media dan Media Massa dalam Penyebaran dan Pencegahan Terorisme
1.     Peran Media Masa dalam Penyebaran paham Radikal Terorisme
Penelitian ini menanyakan kepada responden mengenai peranan media massa dalam penyebaran paham terorisme melalui pemberitaaan-pemberitaan yang dimuat di media massa. Atas pertanyaan tersebut diperoleh jawaban sebagaimana digambarkan pada grafik di bawah ini:
Grafik 15: Sikap dan Pandangan terhadap Peran Media Massa dalam Penyebaran Paham Terorisme
Grafik menunjukkan bahwa 49 persen responden setuju dengan pernyataan bahwa media massa secara tidak langsung telah ikut menyebarkan paham radikalisme di Indonesia melalui pemberitaan-pemberitaan tentang aksi-aksi radikalisme yang dipublikasikannya. Sejumlah responden juga menyatakan keraguan atau sikap netralnya atas pertanyaan yang diajukan. Untuk itu, mereka memberi alasan bahwa media adalah pemberi informasi dan tergantung pembaca/pemirsa dalam menanggapi dan menyikapinya.
Adapun responden yang menyatakan ketidaksetujuannya menyampaikan alasan bahwa media itu menyampaikan kebenaran dengan mempublikasikan kasus terorisme masyarakat menjadi tahu dan tidak akan bergabung dengan teroris.
2.         Peran Media Massa  dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme
Pertanyaan sebaliknya dari pertanyaan di atas diajukan untuk membandingkan peran media massa sebagai penyebar dan pencegah merebaknya radikalisme dan terorisme. Jawaban yang diperoleh dari responden menunjukkan jawaban positif bahwa ada peranan yang dimainkan media massa dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme. Secara rinci jawaban tersebut dapat dilihat dari grafik di bawah ini.
Grafik 15: Sikap dan Pandangan tentang Peran Media Massa  dalam Pencegahan Paham Terorisme

Jawaban di atas menjadi menarik jika dibandingkan dengan grafik sebelumnya karena sama-sama setuju terhadap dua pernyataan yang berbeda.
Dalam hal ini mereka mengajukan alasannya bahwa media hanya menyampaikan informasi, tapi tidak ikut turun dalam pencegahan faham radikalisme. Menurut kesan responden, media massa juga banyak melakukan permainan dan sering melakukan kebohongan publik dengan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih pada masa sekarang, dengan semakin gencarnya informasi melalui internet, tanggung jawab media massa semakin ditantang dalam hal ini.
 Dari kedua grafik di atas diketahui bahwa responden menganggap atau berkeyakinan bahwa media massa memegang peran penting baik dalam upaya penyebaran paham radikalisme dan terorisme maupun dalam upaya pencegahan tindakan radikalisme dan terorisme.
G.       Kasus Penutupan Situs Radikalisme
Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai sikap responden terhadap penutupan situs Islam radikal oleh pemerintah. Jawaban yang diperoleh dari responden adalah sebagaimana yang dapat dilihat grafik di bawah ini.
Grafik 5: Sikap Terhadap Penutupan Situs Radikalisme oleh Pemerintah

Dari tabel di atas tampak bahwa sebagian besar (76 persen) menyatakan kesetujuannya dengan penutupan situs-situs yang mengarah kepada radikalisme. Responden melihat bahwa situs radikal telah merusak moral dan mental rakyat, mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, dan merusak citra Islam.
Ada pula responden yang menyatakan sikap netralnya dan sikap tidak setuju merupakan angka yang sangat kecil. Sikap netral tersebut disertai alasan-alasan mengganggu hak individu dan hak kebebasan.
Penutupan situs radikal di internet secara sepihak oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, merupakan tindakan bertanggung jawab pemerintah untuk menciptakan situasi kondusif bagi negara. Adapun implikasi dari kebijakan tersebut, misalnya tertutupnya akses dakwah bagi kepentingan umat Islam perlu dicarikan jalan keluar terbaik agar tidak menimbulkan interpretasi lebih jauh dari kalangan umat Islam yang bisa kontraproduktif dengan tindakan penutupan situs-situs tersebut.

H.       Bandung Barat Kabupaten Baru dengan Problem Baru
Kabupaten Bandung wilayah barat ini telah menjadi wilayah kristenisasi yang cukup masif. Basis gerakan Kristenisasi tersebut adalah di wilayah Cisarua, kecamatan Lembang. Di daerah ini sudah lama berdiri megah sebuah Universitas Advent Indonesia yang menjadi pusat gerakan Kristenisasi.
Untuk mencegah maraknya agama Kristen Advent di wilayah yang lebih luas di Kabupaten Bandung Barat, maka Front pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia menggalakkan program dakwah kepada masyarakat kabupaten Bandung Barat. Pada saat penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Bandung Barat pada tanggal 15 November 2015, pada saat itu juga sedang berlangsung kegiatan yang dilakukan pimpinan FPI, Habib Riziek yang diselenggarakan di Mesjid Agung Kabupaten Bandung Barat.
Kehadiran Habib Rizieq di Mesjid Agung Kabupaten Bandung Barat merupakan simbol kebangkitan Islam untuk melawan pengaruh ideologi Advent yang sejak dahulu sangat berpengaruh, terutama di wilayah-wilayah Cikole, Parongpong, dan Cimahi. Untuk mempertahankan pengaruhnya penganut Kristen Advent berhasil memposisikan seorang Kristen sebagai Komandan Kavaleri yang bermarkas di Parongpong. Selain FPI, hadir juga gerakan keagamaan lainnya seperti Salafi, HTI, Jama’ah Tabligh, dan kelompok-kelompok harakah lainnya.
Melihat perkembangan gerakan Kristenisasi di wilayah Bandung Barat, tampaknya dapat diduga bahwa hal itu merupakan salah satu pemicu kehadiran gerakan-gerakan garis keras di Bandung Barat. Di samping itu, di wilayah ini juga terdapat sebuah kuil besar Umat Buddha yang juga menjadi pusat kegitan umat Budha di Bandung Barat. Kristenisasi yang sangat massif di Bandung Barat, khususnya di beberapa desa sekitar  kecamatan Lembang. Ketika gerakan NII berhasil dihentikan, malahan yang muncul sekarang adalah Kristenisasi besar-besaran. 
Dengan demikian dapat dimengerti jika warga yang prihatin terhadap adanya Kristenisasi merindukan adanya respons dari kalangan umat Islam untuk menghadapinya, dan itu biasanya ada pada kelompok-kelompok harakah yang memiliki militansi tinggi untuk menyelamatkan Islam dari segala bentuk ancaman, terutama dari orang-orang yang dianggapnya kafir.

I.        KESIMPULAN DAN SARAN
A.        Kesimpulan
Penelitian ini telah berusaha untuk mengetahui gejala-gejala seperti di atas untuk lingkup Bandung Raya. Dalam konteks gerakan radikal dan sikap intoleransi, Jawa Barat telah ditempatkan di ranking pertama paling tidak toleran dan paling banyak terjadi tindakan-tindakan radikal dengan mengatasnamakan agama. Hal tersebut didasarkan kepada sejumlah peristiwa yang terjadi di Jawa Barat yang menunjukkan sikap intoleran terhadap keberbedaan keyakinan atau agama masyarakat Jawa Barat yang heterogen.
Untuk mengetahui itu perlu melihat ke belakang mengenai latar gerakan keagamaan di Jawa Barat dan khususnya wilayah Bandung Raya. Jawa Barat adalah tempat lahirnya gerakan keagamaan yang berorientasi politik dengan tujuan mendirikan negara Islam yaitu gerakan Darul Islam (DI). Selain itu, di Jawa Barat juga lahir dan berkembang gerakan-gerakan keagamaan lingkup nasional, seperti PUI dan Persis, gerakan keagamaan yang berbasis mesjid seperti Mesjid Salman ITB, dan beberapa lainnya juga berkembang pesat seperti NU dan Muhammadiyah. Ormas dan gerakan-gerakan tersebut telah menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi yang sangat dinamis dalam hal gerakan keagamaan dan tidak didominasi oleh salah satu corak pemikiran keagamaan tertentu.
Mengenai isu syari’at Islam, sejumlah responden yang menyatakan persetujuan memberikan alasan-alasan yang berkisar kepada dua faktor yakni faktor internal yaitu pemahaman mereka mengenai kewajiban melaksanakan hukum atau syari’at Islam sehingga yang tidak melaksanakan hukum Islam sebagaimana yang mereka pahami dianggap kafir. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu kekecewaan terhadap penegakan hukum, merebaknya ketidakadilan di masyarakat, dominasi Barat dan non-Muslim terhadap umat Islam.
Isu kedua yang digali adalah pandangan masyarakat mengenai kewajiban berdakwah mengajak orang lain ke dalam agama Islam. Dalam hal ini responden juga sebagian menyatakan setuju asal tidak dilakukan secara paksa dan sebagian menyatakan ragu dan tidak setuju. Hal-hal yang berikaitan dengan penyebaran agama harus mempertimbangkan eksistensi pemeluk agama lain dan harus saling menghormati keberadaan masing-masing.
Isu berikutnya adalah mengenai gerakan transnasional ISIS dan aksi bunuh diri dan membunuh yang dilakukan oleh kelompok gerakan radikal. Dalam hal ini hampir semua responden tidak setuju terhadap pengiriman warga negara Indonesia ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Dalam upaya mencegah gerakan radikal di Indonesia peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme amat penting dan strategis. Tokoh agama danmasyarakat merupakan agents of social change. Tugas mulia seorang guru, ustadz, kiai, tokoh perempuan adalah menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat dan memelihara perdamaian dan kehidupan yang tenang.
Sama halnya dengan peran tokoh-tokoh perempuan, pendidik, dan tokoh pemuda. Semua mereka mempunyai peluang untuk mempengaruhi kelompok binaannya. Kaum perempuan memiliki kesempatan terbaik untuk mendidik anak-anaknya sejak lahir. Demikian halnya seorang guru mempunyai peluang terbaik untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai kehidupan yang terbaik bagi murid-muridnya di samping transformasi ilmu pengetahuan bagi bekal mereka di masa depan.
Peran penting dan strategis dalam pencegahan radikalisme dan terorisme juga dimainkan secara strategis oleh insan media. Melalui pemberitaan yang dimuatnya seorang insan media berpengaruh membentuk opini masyarakat pembaca sehingga mereka bisa melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan yang mereka pahami dari bacaan atau berita yang mereka terima. Insan media bertanggung jawab atas pembentukan opini masyarakat mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk mengenai isu-isu radikalisme dan terorisme.
Tingkat toleransi masyarakat terhadap keberbedaan juga cukup tinggi. Dengan kasus yang diangkat dalam penelitian ini tentang penutupan tempat hiburan dan rumah makan di siang hari bulan puasa, responden menunjukkan sikap toleran dan pengertiannya bagi kedua belah pihak, umat Islam yang melaksanakan puasa dan pihak pengusaha yang juga mempunyai kebutuhan untuk melanjutkan hidup.
Responden menunjukkan dukungannya yang tinggi terhadap tindakan pemerintah menutup situs-situs yang menyebarkan paham radikalisme. Situs-situs seperti itu tidak memberi manfaat apapun dan tidak memperhatikan nilai-nilai pendidikan kecuali hanya menyebar kebencian, isu-isu yang mengarah kepada perpecahan, dan klaim-klaim takfiri hanya karena adanya perbedaan pandangan tentang ajaran agama.
Secara khusus penelitian ini juga menyoroti dinamika Islam di Bandung Barat sebagai kabupaten baru. Gerakan-gerakan keagamaan di Bandung Barat lebih banyak disebabkan oleh maraknya Kristenisasi, khususnya Kristen Advent, sehingga direspon oleh masyarakat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dipelopori oleh organisasi-organisasi garis keras untuk mengimbangi gerakan Kristenisasi di beberapa daerah di Bandung Barat.

B.        Rekomendasi
Didasarkan kepada temuan-temuan di lapangan, peneliti menyampaikan rekomendasi bagi agenda kegiatan pencegahan dan deradikalisasi.
1.         Pelatihan-pelatihan pencegahan dan deradikalisasi kepada berbagai komponen masyarakat harus terus menjadi agenda utama pemerintah.
2.         Sasaran pembinaan dan deradikalisasi adalah generasi muda dari berbagai komponen masyarakat. Ormas-ormas kepemudaan yang bernuansa atau berbasis agama, seperti kelompok remaja mesjid, kelompok studi agama, yang anggota-anggota biasanya dari kalangan bukan pesantren adalah sasaran empuk bagi persemaian radikalisme.
3.         Sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum perlu mendapat perhatian karena lembaga ini menjadi lahan empuk bagi penyebaran paham radikalisme yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang belum memadai di kalangan siswa dan mahasiswa.
4.         Menghidupkan kembali kebijakan dan kearifan lokal dan menghidupkan kembali kepedulian dan kewaspadaan terhadap berbagai potensi yang mengganggu kehidupan dan ketentraman masyarakat.
5.         Kegiatan penelitian perlu terus menjadi agenda pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini perkembangan mutakhir mengenai potensi-potensi ekstremisme, radikalisme dan terorisme di daerah.
6.         Penelitian terhadap sumber-sumber bacaan di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren juga penting untuk dilakukan untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuan yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

Aay Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004).
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Abdul Aziz, Imam Tolkhah, dan Soetarman. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Eds. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Afadlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005, hlm. 229.
Ahmad-Norma Permata, “Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia,”  ASIEN 109 (Oktober 2008), hlm. 24.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
Andi Bahruddin Malik, Studi Lektur Keagamaan pada Kelompok Keagamaan di ITB Bandung, dalam Tim Puslitbang Lektur Keagamaan, Kajian Pemetaan Buku-buku Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat DEPAG, 2006.
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (Leiden: KITLV, 1982), edisi Indonesia: Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), terj. Saafroedin Bahar.
C van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981).
C.A.O. Van Nieuwenhujze, “The Dar ul-Islam Movement in Western Java Till 1949,” Nieuwenhujze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, (The Hague dan Bandung: W. van Hoeve Ltd., 1958),
Cornelis van Dijk, Under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. The Hague, Martinus Nijhoff, 1981.
Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2012.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 95-96.
Deliar Noer, Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES 1980.
Dody S. Truna, “Islam and Politics under the New Order Government in Indonesia 1966-1990, M.A. Thesis, McGill University, 1992.
Dody Truna. “Melacak Tradisi Pesantren di Jawa Barat.” (Paper) IAIN Bandung, 1996.
Dzulqarnain M. Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, Pandangan Syar’i terhadap Terorisme, Kaidah-Kaidah Seputar Jihad, Hukum Bom Bunuh Diri, dan Studi Ilmiah terhadap Buku Aku Melawan Teroris, Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2011.
Eko Prasetyo. Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global. Yogyakarta, Insist Press: 2002.
Fathia Lestari, Nunu A Hamijaya, Nunung Kaniawati. H. UU Ruzhanul Ulum, SE: Cucu K.H. Choer Affandi-Bupati DI. Perjalanan Santri Menjadi Bupati Tasikmalaya. Tasikmalaya: Pusbangter, 2014.
George Mc.T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1952)
Happy Susanto, “Menyoroti Fenomena Radikalisme Agamahttp://islamlib.com/ id/artikel/ menyoroti-fenomena-radikalisme-agama/
Harold Crouch. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press 1988: 273.
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 124.
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UIP, 1995, hlm. 13.
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reforms in Twentieth Century Indonesia, (Ithaca, New York: Modern Indonesia Project, Cornell University), hal. 15.
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Erlangga : Jakarta, 2005).
International Crisis Group (ICG), Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 February 2005).
International Crisis Group (ICG), Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, Crisis Group Asia Report, No. 92, (22 February 2005).
Jimly Asshiddiqie, dkk,  Bang Imad: Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, (Gema Insani Press, Jakarta, 2002), hlm. 20. 
Karl D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, (Berkeley: University of California Press, 1980), Nazaruddin Sjamsuddin, The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion, (Singapura: ISEAS, 1985).
Khamami Zada, Islam Radikal (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
Khamami Zada. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju: 2002.
Lihat Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo.
M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1983.
M. Dawam Rahardjo. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan, 1993.
M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2008, hlm. 67 dan 69.
Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia,” South East Asia Research 10 no.  2 (2002).
Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”.
Mudjahirin Thohir http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/04/ kekerasan-sosial/
Muhammad Asy’ary, “The Rise of the Masjumi Party in Indonesia and the Role of the ‘Ulama’ in its Early Development, M.A. Thesis, McGill University, 1976.
Muhammad Ihsan. “Barat dan Islam Radikal” dalam Jurnal Akademika vol 12 Nomor 2, Maret 2003: 20-39.
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008.
Nurhayati Djamas. “Gerakan Kaum Muda Islam Mesjid Salman” dalam Abdul Aziz, Imam Tolkhah, dan Soetarman. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Eds. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), Hersri S. dan Joebaar Ajoeb, “S.M. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan,” Prisma 5, Mei 1982.
Profil Selayang Pandang Jawa Barat.
Qanun Asasi Persatuan Islam Bandung: Pimpinan Pusat Persatuan Islam, 2013.
Riza Sihbudi, “Islam Radikalisme dan Demokrasi,” dalam Rudhy Suharto (editor) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi (Depok : Matapena, 2004), hlm. 74.
Saleh, Teologi Pembaruan, catatan kaki 2, bab 3, hal. 151.
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta: Alvabet, 2012.
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 30-31.
Tempo (Edisi Khusus Hari Kemerdekaan), “Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam,” 16-22 Agustus 2010;
Thohir Luth, M.Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Prof Dr.Hj. Nina H. Lubis Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, dengan diberi beberapa tambahan dari sumber-sumber lain.
Walter Reich, Origins of Terrorism, Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind. New York: Cambridge University Press, 1990.
http://muijabar.wordpress.com/2012/06/04/sejarah-singkat-mui-jawa-barat/
Nina H. Lubis dkk., Sejarah perkembangan Islam di Jawa Barat, Laporan Penelitian, pustaka.unpad. ac.id/archives/ 128086/, hlm 316.
http://muijabar.wordpress.com/2012/06/04/sejarah-singkat-mui-jawa-barat/
Diskusi Hasil Survei Nasional "Indeks Kerentanan Terhadap Radikalisme Sosial Keagamaan" , Jakarta Media Centre, Jln. Kebon Sirih, Jakarta, Rabu 5-10-2011; lihat http://www.pikiran-rakyat.com/node/160872.
 “Jawa Barat Paling Rawan Terorisme,” Tempo.co, 5 September 2013.
Metrotvnewas.com, 9 Mei 2013.
(VIVAnews.com, 15 Maret 2013)
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/17/078719560/ini-10-kota-paling-toleran-versi-setara-institute.
http://www.rappler.com/indonesia/113002-setara-institute-bogor-bekasi-kota-intoleran-indonesia





[1] Afadlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005, hlm. 229.
[2] Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008, hlm. 322-333.
[3] Dzulqarnain M. Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, Pandangan Syar’i terhadap Terorisme, Kaidah-Kaidah Seputar Jihad, Hukum Bom Bunuh Diri, dan Studi Ilmiah terhadap Buku Aku Melawan Teroris, Makassar: Pustaka As-Sunnah, 2011.
[4] Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 30-31.
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta: Alvabet, 2012.
[6] Walter Reich, Origins of Terrorism, Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind. New York: Cambridge University Press, 1990.
[7] M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2008, hlm. 67 dan 69.
[8] Happy Susanto, “Menyoroti Fenomena Radikalisme Agamahttp://islamlib.com/ id/artikel/menyoroti-fenomena-radikalisme-agama/
[9] Khamami Zada, Islam Radikal (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
[10] Lihat Riza Sihbudi, “Islam Radikalisme dan Demokrasi,” dalam Rudhy Suharto (editor) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi (Depok : Matapena, 2004), hlm. 74.
[11] Untuk beberapa sejarah Ormas Islam di Jawa Barat sebagian disadur dari Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat yang dilakukan oleh sebuah Tim yang diketuai oleh Prof Dr.Hj. Nina H. Lubis, dengan diberi beberapa tambahan dari sumber-sumber lain.
[12] Untuk profil S.M. Kartosoewirjo, lihat Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), Hersri S. dan Joebaar Ajoeb, “S.M. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan,” Prisma 5, Mei 1982. dan Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
[13] DDII didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 oleh M. Natsir, H.M. Rasyidi, H. Nawawi Daud, K.H, Taufiqurrahman, dan beberapa tokoh Islam lainnya. Lihat Thohir Luth, M.Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1999, hal. 55-57, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta:Gema Insani Press, 1996, hal. 233.
[14] Tentang biografi Imaduddin, lihat, Sosok dan Visi Seorang Mujahid, dalam, Asshiddiqie,dkk, Bang Imad, hal.3-57.
[15] http://muijabar.wordpress.com/2012/06/04/sejarah-singkat-mui-jawa-barat/
[16] Metrotvnewas.com, 9 Mei 2013.
[17] (VIVAnews.com, 15 Maret 2013)
[18] http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/17/078719560/ini-10-kota-paling-toleran-versi-setara-institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar