doddy s. truna
maman lukmanul hakim
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji pandangan dan sikap warga Bandung
raya terhadap radikalisme dan terorisme. Kasus-kasus yang berkaitan dengan
radikalisme dan terorisme masih marak terjadi di Indonesia yang telah
menumbulkan citra dan opini buruk tentang Islam karena peristiwa-peristiwa
tersebut sering dikaitkan dengan ajaran Islam. Berkaitan dengan itu, dalam
penelitian ini dikaji bagaimana pandangan warga Bandung Raya mengenai berbagai
aspek yang sering dikaitkan dengan peristiwa radikalisme dan terorisme.
Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perspektif sosiologis untuk menyoroti tindakan radikal sebagai tindakan sosial
yang dilakukan sebagian masyarakat untuk mencapai tujuan atau cita-citanya.
Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
memusatkanperhatian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung pada masa
sekarang di mana peristiwa terorisme dan radikalisme masih mewarnai kehidupan
masyarkat pada masa kini.
Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beragam sikap dan
pandangan masyarakat Bandung Raya mengenai isu-isu yang berkaitan dengan
tindakan terorisme dan radikalisme. Isu penerapan syari’at Islam dan
pelaksanaan hukum Islam merupakan isu yang masih diyakini sebagain masyarakat
untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula mengenai dakwah dan penyebaran
agama Islam kepada non-Muslim, peneritbhan tempat-tempat hiburan dan rumah
makan di bulan Ramadhan, dukungan terhdap ISIS, dan peran tokoh masyarkat serta
media masa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di Jawa Barat. Pada
umumnya responden tidak mempermasalahkan kembali bentuk dan sistrem hukum di
Indonesia, hanya saja dalam penerapannya dianagap masih lemah sehingga
alternatif pemecahan oleh hukum Islam menjadi pilihan bagi sebagian orang.
Kesimpulannya penelitian ini adalah bahwa penegakan hukum
di Indonesia menjadi imperatif dan mendesak untuk menghindari kekecewaan
masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pembinaan masyarakat mengenai
bahaya radikalisme dan terorisme juga menjadi penting dilakukan agar masyarakat
tidak menjadikan tindakan radikal sebagai pilihan untuk menyalurkan hasrat dan
keinginan mereka.
Kata
Kunci: radikalisme, terorisme, gerakan Islam.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Kasus-kasus radikalisme dan terorisme masih terjadi di berbagai negara. Aksi-aksi
kekerasan telah menimbulkan tragedi kemanusiaan yang tidak terhingga berupa
korban jiwa dan rasa takut secara massal. Hilangnya rasa aman di kalangan
masyarakat merupakan ancaman bagi pemerintah dalam menjalankan program-program
pembangunan nasional dan dalam mengendalikan
dan menjaga keamanan nasional.
Berbagai peristiwa terorisme di Indonesia juga telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang aman
bagi persembunyian para teroris. Keadaan seperti
ini didukung oleh sikap terbuka bangsa Indonesia yang sangat mudah menerima
kehadiran orang asing yang tidak dikenal hanya karena didasarkan kepada
penampilan orang asing yang berkesan religius dan saleh.
Menghadapi
problem radikalisme dan terorisme di Indonesia, sebagian kelompok masyarakat
juga tidak selalu kompak dengan satu visi, cita-cita, dan tujuan. Di antara
mereka ada yang menolak keterkaitan antara Islam dan terorisme. Menurut mereka, aksi terorisme merupakan konspirasi
Yahudi-Amerika untuk mendiskreditkan Islam. Di pihak lain, ada masyarakat yang
merasakan dan memiliki bukti-bukti adanya ancaman dari keberadaan
gerakan-gerakan radikal di Indonesia.
Terlepas dari
kontroversi tersebut, aksi-aksi radikal terorisme masih terjadi. Peristiwa-peristiwa di negara lain, seperti di Timur
Tengah dengan munculnya gerakan ISIS, telah meningkatkan rasa percaya diri dan
semangat gerakan radikal terorisme di Indonesia. Fenomena ISIS telah memberi
inspirasi bagi gerakan radikal terorisme di Indonesia untuk meneruskan
aksi-aksinya.
Munculnya
aksi-aksi terorisme dan adanya rencana-rencana
aksi menunjukkan masih adanya potensi-potensi radikalisme dan terorisme di
tengah-tengah masyarakat. Banyak tokoh dan pelaku-pelakunya berada di
tengah-tengah masyarakat. Bahkan ada juga yang hidup di hutan dan melakukan
latihan-latihan militer. Mereka yang berada di tengah-tengah masyarakat rata-rata dapat diterima oleh masyarakat sebagai bagian
dari anggota mereka.
Di sisi lain,
aktor-aktor di balik tindakan radikalisme dan terorisme
juga merupakan ancaman. Mereka melakukan menyebarkan opini,
agitasi, provokasi, dan beragam cara kepada masyarakat
umum. Hal ini dipicu oleh berbagai kelemahan di tubuh pemerintahan (weak
government) dan masalah penegakkan keadilan serta
tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan mereka.
Dari penjelasan
singkat di atas, potensi internal pertumbuhan gerakan radikal dan terorisme di
negeri ini ternyata amat bersifat kompleks. Faktor
ini menjadi semakin kompleks dengan tumbuh suburnya gerakan-gerakan radikal dan
aksi-aksi terorisme di negara-negara lain, seperti gerakan
ISIS, al-Qaeda, dan
lain-lain.
Dari
paparan di atas, dapat
diketahui bahwa potensi radikal terorisme masih ada dan tetap menjadi ancaman
bagi negara dan bangsa ini. Untuk mengkaji masalah tersebut, dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi pandangan masyarakat mengenai potensi-potensi radikal terorisme di Indonesa. Potensi-potensi dimaksud meliputi potensi
radikal terorisme didasarkan kepada keyakinan atau agama, ideologi, politik,
latar ekonomi, sentimen kekelompokan, dan faktor-faktor lainnya yang
menimbulkan dorongan untuk melakukan tindakan radikal dan teror yang mengancam
kedaulatan negara, keamanan dan ketentraman rakyat.
Penetapan Bandung Raya didasarkan kepada kenyataan bahwa wilayah ini merupakan salah satu locus
terjadinya kasus radikalisme dan terorisme dengan para pelakunya yang berasal dari wilayah Jawa Barat.
2.
Perumusan Masalah
Masalah-masalah
yang bisa digali melalui kegiatan penelitian ini dijabarkan seperti berikut:
1.
Gambaran umum gerakan keagamaan yang tumbuh dan
berkembang di Jawa Barat, termasuk di wilayah Bandung Raya.
2.
Sikap dan pandangan mengenai syariat Islam dan
penerapannya di Indonesia
3.
Sikap dan pandangan mengenai dakwah atau
penyebaran agama.
4.
Pengaruh latar sosial budaya masyarakat terhadap
munculnya ektremisme dan radikalisme dan terorisme.
5.
Dukungan terhadap gerakan radikal ISIS.
6.
Sikap dan pandangan mengenai aksi bom bunuh diri
7.
Peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media
massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme
3.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan
fokus kajian terhadap masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk:
1.
Mengetahui gambaran umum gerakan keagamaan di Jawa
Barat, khususnya wilayah Bandung Raya.
2.
Mengetahui sikap dan pandangan mengenai syariat
Islam dan penerapannya di Indonesia.
3.
Mengetahui sikap dan pandangan mengenai dakwah
atau penyebaran agama.
4.
Mengetahui pengaruh latar sosial budaya masyarakat
terhadap munculnya ektremisme dan radikalisme.
5.
Mengetahui respon dan tingkat dukungan terhadap
gerakan radikal ISIS.
6.
Mengetahui sikap dan pandangan mengenai aksi bom
bunuh diri
7.
Mengetahui peran tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan media massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme
4.
Metode penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif. Melalui metode ini digali dan dan dideskripsikan
fenomena-fenomena umum berdasarkan peristiwa yang teramati dan informasi dari
sumber-sumber terpilih melalui teknik pengumpulan data yang beragam. Pendekatan
kualitatif dipilih dalam penelitian ini dengan menitik beratkan kepada
deskripsi dan penafsiran (interpretasi) atas berbagai peristiwa melalui
teknik-teknik pengumpulan data yang ditetapkan.
Lingkup wilayah
penelitian adalah wilayah Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi,
dan Kabupaten Bandung Barat.
Latar kehidupan dan budaya Sunda menjadi latar penting dalam mengidentifikasi potensi radikal
terorisme yang menjadi fokus penelitian ini. Wilayah Bandung Raya tidak bisa dipisahkan dari
karakter masyarakat Jawa Barat. Dan, Jawa Barat merupakan tempat lahirnya gerakan-gerakan keagamaan baik yang dikategorikan sebagai
gerakan radikal mapun yang akomodatif
dan moderat.
5.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah data tentang:
1.
Pemahaman mengenai konsep syariat Islam
2.
Pemahaman sasaran tentang konsep mengenai dakwah.
3.
Pengetahuan mengenai radikalisme, dan terorisme.
4.
Pengetahuan mengenai gerakan radikal ISIS.
5.
Sikap dan pandangan mengenai aksi bom bunuh diri
6.
Peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media
massa dalam pencegahan radikalisme dan terorisme.
Jenis data di atas diambiol dari sumber informasi atau responden dipilih
secara purposive. Lapisan masyarakat sebagai sumber
informasi yang dipilih adalah:
1.
Kelompok agamawan.
2.
Kelompok pendidik
3.
Kelompok tokoh masyarakat
4.
Kelompok insan media massa
6.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Wawancara
2.
Penyebaran angket terbuka dan semi terbuka
3.
FGD (focused group discussion)
4.
Kajian dokumen dan sumber-sumber tertulis.
7.
Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Tahap Inventarisasi
Data
2. Tahap Kategorisasi
Tema-tema
3. Tahap Analisis Data
4. Penarikan
Kesimpulan
B. TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI
1.
1. Tinjauan Pustaka Hipotesis Frustrasi-Agresi: Aksi-aksi teroris merupakan respons rasa
frustrasi karena tidak terpenuhinya atau tersalurkannya kebutuhan politik,
ekonomi, atau personal.
2.
Hipotesis identitas negatif: Seorang teroris politis secara sadar
mengasumsikan dirinya dengan identitas negatif, misalnya karena kegagalan yang
dialaminya. Identitas negatif menimbulkan keinginan membalas dendam dari peran
yang didambakan dan diharapkan. Teroris terlibat dalam aksi terorisme karena
perasaan marah dan tidak berdaya karena tidak tersedia pilihan.
Beberapa kajian
dan penelitian mengenai gerakan radikal terorisme di Indonesia telah banyak
dilakukan oleh para peneliti mengenai radikalisme, sejak van Dijk, yang
meneliti Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo[1]
hingga Noorhaidi Hasan yang meneliti Lasykar Jihad di Indonesia. Hingga kini
telah banyak sekali kajian mengenai gerakan radikal dan aksi-aksi terorisme
yang mengusung ideologi-ideologi berbasis agama untuk menggantikan ideologi
negara dan sistem pemerintahan Indonesia.[2]
Dr. Petrus
Reinhard Golose telah menulis buku yang berisi kajian mengenai deradikalisasi.
Dalam bukunya ia membahas interaksi
antara terorisme dan agama secara teoretik, hingga langkah-langkah kongkrit
tindakan pemberantasan terorisme, desain penanganan terorisme global dan model
mutakhir penanganan terorisme di Indonesia yang ditawarkannya.
Kajian tentang terorisme
dunia juga dilakukan oleh Dzulqarnain M. Sunusi. Di bukunya ia mengkaji
secara normatif prinsip-prinsip jihad dalam Islam dan perbedaannya dengan
terorisme. Didasarkan kepada kajiannya, ia
memberi catatan kritis atas buku Imam Samudra yang berjudul Aku Melawan
Teroris.[3]
Analisis
lainnya dilakukan terhadap para pelaku teror. Sukawarsini Djelantik menjelaskan
tentang dorongan menjadi teroris dari perspektif Psikologi, khususnya Psikologi
Politik. Untuk analisis ini ia mengemukakan pertanyaan pokok: “Mengapa menjadi
teroris?” Untuk menjawab pertanyaan ini ia mengajukan tiga hipotesis, yaitu
3.
Hipotesis kemarahan terhadap diri sendiri: Teroris mengalami kerusakan mental,
misalnya terkait dengan perkembangan pada usia dini. Jika narsisme primer tidak
dinetralisir maka individu bersifat anti-sosial, sombong, dan tidak menghargai
orang lain. Dan, jika bentuk psikologis ego orang tua tidak dinetralisir, maka
akan mengakibatkan kondisi rasa kalah dan tidak berdaya yang mengarah kepada
reaksi dan keinginan untuk menghancurkan sumber luka diri. Sebagai manifestasi khusus dari kemarahan terhadap diri sendiri,
terorisme terjadi dalam konteks luka diri.[4]
Psikolog
terkemuka Sarlito Wirawan Sarwono menulis kajian tentang terorisme di Indonesia
dilihat dari perspektif psikologi. Menurut Sarlito, “radikal” adalah sikap.
Sikap radikal adalah perasaan (afeksi) yang positif terhadap segala yang serba
ekstrem, sampai ke akar-akarnya. Sebuah sikap yang sangat kuat disebut fanatik.
Sikap ini akan mendorong motivasi dan perilaku ke arah membela mati-matian apa
yang dianggapnya sebagai nilai-nilai yang paling mendasar dari suatu keyakinan,
kepercayaan, ideologi, atau agama.[5]
Penelitian
mengenai jaringan Islam jihadi juga telah dilakukan oleh Nur Khaliq Ridwan yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Regenerasi
NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia. Nur Khaliq melakukan
analisis atas jaringan Islam jihadi sebagai metamorfosa
dari gerakan NII.
Buku lainnya yang
ditinjau dalam penelitian ini adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Walter
Reich berjudul Origins of Terrorism, Psychologies, Ideologies, Theologies,
State of Mind. Kata Reich, ada beberapa pendekatan untuk memahami aksi
terorisme dari sudut psikologi. Salah satu pendekatan terhadap aksi dan motivasi
terorisme adalah asumsi bahwa aksi-aksi tersebut murni merupakan hasil pilihan
strategis, yaitu ditujukan untuk mencapai akhir yang rasional dan strategis.
Pendekatan lainnya menjelaskan bahwa aksi seperti itu merupakan hasil atau
akibat dari dorongan psikologis. Buku ini
juga menjelajahi motivasi-motivasi di balik aksi
terorisme dan mekanisme psikologis yang menjadikan teroris mau melakukan
tindakannya.[6]
Kajian tentang
gerakan radikalisme juga dilakukan oleh M. Zaki Mubarak. Kajian tersebut
kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Genealogi Islam
Radikal di Indonesia. Zaki Mubarak berusaha melacak akar persemaian dan
pertumbuhan radikalisme di Indonesia. Ia melihat
gerakan radikal di Indonesia tidak terlepas dari konteks gerakan radikalisme
internasional. Oleh karena itu ia juga melacak lebih jauh ke gerakan-gerakan
sejenis baik di negara-negara lain, baik dari kalangan gerakan yang menggunakan
nama Islam maupun gerakan-gerakan radikal berdasarkan atas nama agama-agama
atau ideologi-ideologi lainnya.[7]
2. Kajian Teoretik Radikalisme
Radikalisme
dan terorisme sering dihubungkan dengan fundamentalisme. Dalam konteks Islam di
Indonesia kontemporer, radikalisme Islam selalu dihubungkan dengan pertumbuhan
fundamentalisme Islam yang mulai tumbuh subur di Indonesia di penggalan
terakhir abad ke dua puluh. Fundamentalisme Islam muncul dalam bentuk gerakan
radikal Islam dan tindak kekerasan dan teror yang dilakukan secara massal dalam
bentuk pengrusakan dan penghancuran sasaran-sasaran strategis.
Genealogi
radikalisme agama muncul karena beberapa sebab. Dalam kasus Islam, misalnya,
Hassan Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada dua sebab kemunculan aksi
kekerasan dalam Islam kontemporer. Pertama, karena tekanan rezim politik
yang berkuasa. Kelompok Islam tertentu tidak mendapat hak kebebasan
berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang
berkuasa, sehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap
sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata bagi umat Islam.[8]
Menurut Horace M. Kallen kemunculan
radikalisasi, paling tidak, ditandai oleh tiga kecenderungan umum, yaitu:
Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap kondisi yang
sedang berlangsung. Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya
penolakan melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu
bentuk tatanan lain. Dan Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.[9]
Karena menawarkan sistem politik yang
berbeda dengan sistem demokrasi yang dianut, radikalisme dan fundamentalisme
Islam menjadi ancaman bagi faham demokrasi yang kadang diidentikkan dengan Kristen dan Barat.
Akibatnya, demokrasi sulit berkembang di lingkungan kultur non-barat dan
non-Kristen[10].
Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari peristiwa-peristiwa tersebut dengan segala akibatnya. Meskipun pelaku
tindakan kekerasan dan radikalisme itu sekelompok kecil yang secara kuantitatif
tidak signifikan, namun hal itu telah menimbulkan
opini buruk bahwa Islam itu diidentikkan dengan
kekerasan.
Sesunguhnya, perilaku keberagamaan Islam di banyak
negara tidak sama dan tidak bisa disamakan, demikian pula di Indonesia. Keberagamaan
Islam di Indonesia digambarkan sebagai Islam yang ramah, damai, toleran.
Sedangkan Islam di Timur Tengah dan negara-negara Asia dan Afrika lebih dikenal
keras, tidak toleran, tidak kompromi, dan otoriter. Karena gambarannya seperti
itu, maka tatkala terjadi peristiwa-peristiwa Bom Bali dan rangkaian kekerasan
berikutnya, semua orang terhenyak, bagaimana mungkin Islam yang ramah itu
tiba-tiba berubah menjadi sadis.
Atas keadaan
seperti itu, kalangan umat Islam yang tidak setuju terhadap tindakan kekerasan
dan terorisme dan terhadap pandangan serta tuduhan terhadap Islam sebagai
pemicu tindakan kekerasan merasa perlu untuk memberikan tanggapan dan
penjelasan. Berdasarkan berbagai perspektif yang dikemukakan mereka, terdapat
berbagai faktor yang mendorong (potensi) ke arah terjadinya tindakan
radikalisme dan terorisme. Faktor itu bisa berasa dari luar diri, misalnya
situasi politik, rezim kekuasaan, dan tekanan politik, kekecewaan terhadap
realitas, dan sebagainya. Faktor itu bisa juga berasal dari dalam diri,
misalnya rasa frustrasi, tertekan, terancam, kemarahan dan kekecewaan terhadap
diri sendiri, dan identitas negatif mengenai diri.
C. GERAKAN
ISLAM DI WILAYAH JAWA BARAT
Bandung dipilih
menjadi lokasi utama penelitian ini karena memang pertama-tama penelitian ini
sengaja difokuskan di ibukota provinsi dan sekitarnya. Selain itu, sebagai
ibukota provinsi, Bandung lengkap dalam hal komposisi politik dan
sosial-keagamaan. Masing-masing kelompok agama, mulai dari yang liberal hinggal
radikal terpresentasikan di Bandung. Ormas-ormas Islam besar, seperti NU,
Muhammadiyah, dan Persis terlihat cukup aktif. Aktivisme keislaman juga tampak
aktif di Bandung, baik di kalangan pelajar dan mahasiswa, pemuda, maupun
generasi yang lebih tua. Dan yang juga tak kalah pentingnya, Bandung menjadi
cermin jelas bagaimana kehidupan keislaman berjalan beriring dengan laju
modernisasi, urbanisasi, dan perubahan yang cepat di perkotaan.
Beberapa ormas
Islam yang lahir dan yang berkembang di Jawa Barat dan berkantor pusat di Bandung, antara lain Sarekat Islam, Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, dan Ahmadiyah. Beberapa lainya yang lahir di daerah-daerah lain
di Jawa Barat maupun di luar Jawa, akan tetapi kemudian memiliki kantor
pusatnya untuk wilayah provinsi di Bandung seperti Persatuan Umat Islam,
Mathla’ul Anwar, dan al-Jami’atul Washliyah (lahir di Sumatara Utara).
Di Jawa
Barat juga lahir gerakan radikal Islam. Gerakan Darul Islam (DI) adalah gerakan
radikal yang muncul pada 1948 melalui sebuah pemberontakan di Jawa Barat di
bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.[12] Gerakan DI merupakan
gerakan yang cukup besar dan tidak mudah untuk ditaklukkan. Pengaruhnya juga
menyebar ke pulau-pulau lain di Indonesia dan melahirkan gerakan-gerakan
radikal di setiap daerahnya.
Gerakan
Islam di luar mainstream lainnya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari Hizbut Tahrir Internasional. Bagi Hizbut Tahrir
Indonesia, kota-kota besar di Jawa Barat merupakan salah satu basis bagi
organisasi yang memiliki tujuan akhir terwujudnya sistem Kekhalifahan
Islamiyah.
Gerakan
lain di luar mainstream yang cukup
menonjol adalah Front Pembela
Islam (FPI). FPI dibentuk dengan tujuan untuk
melindungi dan membebaskan umat Islam dari kemaksiatan dengan cara membina
akhlak umat sekaligus memberantas sumber kemaksiatannya.
Sebagai
organisasi yang berkomitmen
memberantas sumber kemaksiatan, acapkali FPI melakukan sweeping ke pusat-pusat hiburan seperti diskotik dan pusat maksiat
lainnya. Sikap keras FPI sering menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Di lain
pihak, FPI pun menunjukkan sikap politik yang tegas terhadap wacana pencantuman
Piagam Jakarta dalam konstitusi dasar NKRI. Dukungan tersebut disampaikan ke
forum Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
2.
Gerakan Masjid Salman ITB
Masjid Salman ITB merupakan mesjid kampus yang
memiliki ciri khas dan amat dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia. Ia
merupakan masjid rujukan bagi model kegiatan masjid kampus di beberapa
perguruan tinggi karena memiliki model pembinaan keagamaan Islam yang khas bagi
mahasiswa.
Keberadaan
Masjid Salman ITB tidak lepas dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).[13] Sejak tahun 1974, Masjid Salman menjadi tempat diadakannya Latihan Mujahid Dakwah (LMD) bagi kader-kader baru Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) yang
digagas oleh Imaduddin
Abdurrahim.[14] Para kader yang dibina melalui LMD dan usrah gaya Masjid Salman itu bukan
hanya berasal dari ITB, tetapi ada pula para kader dari berbagai perguruan
tinggi umum lain.
Wacana keislaman yang dikembangkan oleh gerakan Masjid Salman ITB ini
merupakan aspek penting untuk melihat genealogi dan perkembangan narasi
Islamisme di Jawa Barat. Narasi Islamisme gerakan Masjid Salman ITB menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan
narasi Islamisme yang berkembang di Jawa Barat hingga
saat ini.
3.
Berdiri dan Perkembangan MUI Jawa Barat
Indonesia
yang baru merdeka dihadapkan kepada masalah
pemberontakan DI/TII yang harus berhadapan
dengan militer (Divisi Siliwangi). Pihak tentara melihat bahwa cara militer saja tidak
cukup untuk menghancurkan ancaman dan memulihkan keamanan. Di sini militer harus meraih kaum ulama yang berperan besar sebagai
pemimpin masyarakat
dengan membentuk sebuah organisasi para ulama. Pada pada tanggal 18 Maret 1957 para alim ulama dan
para ustadz di daerah Tasikmalaya bersepakat membentuk Badan Musyawarah Alim
Ulama (BMAU)
Inisiatif untuk membentuk BMAU disambut baik olehkalangan militer. Hal ini terbukti dengan kesediaan militer
untuk diangkat menjadi ketua kehormatan dan mengisi kepengurusannya. Karena
manfaatnya yang besar untuk membangun soliditas antara militer dan masyarakat,
maka kerja sama ditingkatkan dan diperkuat. Untuk itu, para alim ulama dan
militer mengubah BMAU menjadi Majelis Ulama sebagai sebuah organisasi dan
gerakan Islam pada tanggal 12 Juli 1958. Pembentukan lembaga yang berasaskan
Islam itu bertujuan untuk “melaksanakan kerja sama dengan alat Negara Republik
Indonesia dalam bidang tugasnya yang sesuai dengan ajaran Islam”.
Meski
Majelis Ulama dibentuk militer bersama alim ulama, namun inisiatif dan peranan
alim ulama amat menonjol dalam hal ini. Para ulama merumuskan langkah-langkah
yang didasari semangat perjuangan dan pengabdian untuk mempertahankan
kelangsungan dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar sekaligus menjaga keamanan
demi keutuhan NKRI lewat jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama
manusia).[15]
Kini MUI Jawa Barat semakin memainkan peran pentingnya di Jawa Barat.Ia
tidak lagi menjadi lembaga tersendiri di Jawa Barat, akan tetapi merupakan
bagian dari MUI Pusat dan menyesuaikan segala tata aturannya dengan MUI Pusat
di Jakarta.
4. Peristiwa Radikalisme Keagamaan
Sejumlah konflik intoleransi keagamaan, kekerasan
agama, hingga radikalisme Islam kerap terjadi di wilayah Jawa Barat. Bahkan
kasus-kasus terorisme di Jawa Barat menempati angka tertinggi dibanding di
provinsi-provinsi lainnya. Dalam pengamatan Lazuardi Birru, ada tujuh alasan
kerentanan radikalisme sosial keagamaan di Jabar, yaitu paham jihad, alienasi
dan deprivasi, intoleransi, perasaan terancam, rasa tidak aman, agenda Islam
dan keanggotaan radikal.
Wahid
Institute (WI), dalam Laporan Akhir Tahun
Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 misalnya menyimpulkan: “Jawa Barat
lagi-lagi menjadi daerah dengan tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan
intoleransi tertinggi. Bila dibanding tahun-tahun sebelumnya, Jawa Barat terus
mengalami peningkatan jumlah kasus. Tren peningkatan ini menunjukkan bahwa
konservatisme keagamaan di daerah ini terus mengalami pertumbuhan. Sikap
konservatisme ini beriringan dengan sikap eksklusif dan intoleran.” WI
mencatat, dari 13 provinsi yang dipantaunya selama tahun 2012, Jawa Barat
memiliki angka tertinggi dengan 43 kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Kesimpulan
yang sama juga diungkapkan oleh Setara Institute. Dalam laporannya, Kepemimpinan Tanpa Prakarsa: Kondisi
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012, Setara mencatat bahwa
provinsi dengan tingkat pelanggaran
atas kebebasan beragama/berkeyakinan tertinggi adalah Jawa
Barat, yang di tahun sebelumnya juga berada di posisi yang sama. Jumlah kasus
yang terjadi di provinsi ini adalah sebanyak 76 pelanggaran, meningkat
dibandingkan tahun lalu yang di angka 57 kasus. Kesimpulan yang sama juga
diberikan oleh Elsam dalam Laporan
Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2012: Tahun Peningkatan Kekerasan
dan Pengabaian Hak Asasi Manusia. Menurut laporan ini, Jawa Barat menjadi
tempat yang paling tidak toleran di seluruh Indonesia dengan setidaknya
terdapat 35 peristiwa pelanggaran di daerah itu.
Selain
itu, sejumlah penangkapan terhadap terduga teroris juga beberapa kali terjadi
di Jawa Barat. Contoh terbaru adalah penggerebekan terduga teroris di Kampung
Batu Rengat, Desa Cigondewah Hilir, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat oleh Polri dan Tim Densus 88[16] Contoh lainnya adalah
penangkapan terhadap kelompok teroris di Bekasi, Jawa Barat. Polisi berhasil
mengamankan 14 bom pipa dari lokasi penggerebekan terduga teroris itu.[17]
Pada
rilis terakhir tahun 2015, Setara Institute telah menerbitkan sepuluh kota pertama
yang memiliki tingkat toleransi terendah versi Setara Institute sebagai berikut.
1.
Bogor
2.
Bekasi
3.
Banda Aceh
4.
Tangerang
5.
Depok
6.
Bandung
7.
Serang
8.
Mataram
9.
Sukabumi
10.
Banjar
11.
Tasikmalaya[18]
Dari
indeks tersebut tampak bahwa Bandung merupakan salah satunya yang memiliki
toleransi terendah. Sejauh mana kebenaran mengenai klaim Muslim di Bandung
memiliki tingkat toleransi yang rendah tetap memerlukan penelitian lebih
lanjut. Pendek kata, identifikasi satu daerah sebagai basis terorisme mesti
direspon oleh sejumlah penelitian yang mendalam dan menyeluruh karena, terlepas
dari hasil kesimpulan diatas,hal ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat
merupakan daerah rawan radikalisme dan terorisme.
D. SIKAP DAN
PANDANGAN TERHADAP SYARIAT ISLAM, DAKWAH, JIHAD, DAN AKSI RADIKAL TERORISME
1.
Penerapan Syariat Islam di Negara Republik Indonesia
Angket yang disebarkan kepada 600 responden yang hampir seluruhnya beragama Islam menggambarkan perbandingan antara yang
setuju penerapan syariat Islam di Negara Indonesia, yang netral tidak menunjukkan
kecenderungannya dan yang tidak setuju.
Grafik 1: Sikap Mengenai Penerapan syariat
Islam di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Atas
pilihan di atas responden
tampaknya memandang bahwa posisi Indonesia sebagai negara demokrasi tidak
mustahil untuk menerapkan hukum Islam. Jawaban yang diberikan responden yang
setuju terhadap penerapan syari’at Islam di atas dapat dikelompokkan kepada
tiga kelompok yang memiliki aksentuasi masing-masing. Kelompok yang pertama
mencerminkan pandangan yang tegas dan mencerminkan harapan atau optimisme, kelompok
kedua lebih menunjukkan reaksi ketidakpuasan atas kondisi yang ada, dan kelompok
ketiga memberikan catatan-catatan bersyarat.
Sebanyak
25% responden memilih posisi netral atau ragu. Keraguan karena di
satu sisi setiap orang berhak untuk mengemukakan sikap dan pandangannya serta
cita-citanya, di sisi lain Indonesia merupakan enagra dengan poenduduk yang
heterogen sehingga tidak bisa memaksakan kehendak sekelompok masyarakat yang
beragama tertentu.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa ada 45 persen
responden yang tidak setuju penerapan syari’at Islam secara formal di Negara republik Indonesia. Alasan yang dikemukakan
rata-rata senada yaitu kemajemukan bangsa Indonesia dari segi agama dan
Pancasila sebagai dasar negara telah menjamin kebebasan melaksanakan ajaran
agama tanpa harus ada formaslisasi hukum Islam.
2.
Penerapan Hukuman (Sanksi) Islam oleh Negara bagi
Warga Muslim
Pertanyaan yang diajukan peneliti adalah: ”Setujukan Anda terhadap penerapan hukuman (sanksi) oleh negara bagi warga negara Muslim
yang tidak melaksanakan hukum Islam di Indonesia?” Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
Grafik
2: Pelaksanaan Hukuman Berdasarkan
Syariat Islam bagi Umat Islam
Dari grafik di atas tampak bahwa 30 persen responden
menyatakan sikap “setuju” terhadap penerapan hukuman berdasarkan syari’at Islam.
Hal tersebut didasarkan kepada alasan yang mereka kemukakan bahwa umat Islam
wajib untuk melaksanakan hukum berdasarkan syar’at Islam. Adapun yang tidak menyatakan
sikap yang jelas atau netral adalah sebanyak 25 persen. Dilihat dari alasan
yang dikemukakannya, mereka tampaknya ada yang tidak mengetahui bentuk
pelaksanaan hukuman tersebut tetapi ada pula yang memiliki pandangan yang khas
yang menggambarkan adanya pengetahuan yang memadai mengenai hukum Islam
tersebut.
Mayoritas
dari responden sebanyak 44 persen menyatakan sikap “tidak setuju” atas
penerapan hukuman terhadap orang bersalah menurut hukum Islam. Mereka lebih banyak memilih mengikuti hukum
yang sudah berlaku di Indonesia sekarang yang didasarkan kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala turunannya.
A.
Mengajak Non-Muslim kepada Agama Islam
Penyebaran merupakan bagian penting
bagi umat beragama. Penelitian ini mengajukan pertanyaan kepada responden
mengenai tugas penyebaran agama menurut pandangan mereka. Berikut ini adalah
jawaban responden atas pertanyaan tentang tugas berdakwah kepada orang yang
berbeda agama.
Grafik 3: Mengajak non-Muslim kepada Islam
Persentase di atas menunjukkan bahwa 33 persen setuju
dengan kegiatan mengajak orang yang berbeda agama ke dalam agama yang dianut pengajaknya.
Semua responden yang memberikan jawaban setuju untuk mengajak orang lain berpidah
kepada agama yang dianutnya menyatakan bahwa hal itu merupakan kewajiban dan
kebenaran harus disebarkan. Asal saja ajakan itu tidak memaksa.
Ada pula yang tidak menentukan sikap yang jelas atau
yang ragu-ragu tidak
memberikan alasan yang jelas, akan tetapi hal itu menggambarkan kecenderungan
bahwa agama merupakan ranah pribadi sehingga semuanya kembali kepada keputusan
pribadi seseorang.
Sedangkan
responden yang tidak setuju merupakan persentase yang terbanyak. Mereka tidak
setuju berdakwah mengajak berpindah agama kepada orang yang sudah memeluk agama
dengan cara memaksa. Adalah hak setiap orang untuk menentukan pilihan
keyakinannya dan hal itu tidak boleh ada paksaan.
B.
Keragaman Sosial Budaya Indonesia dan Ekstremisme
Mengenai
keragaman latar sosial budaya di Indonesia, peneliti mengajukan pertanyaan: “Setujukah
Anda bahwa keanekaragaman ideologi, politik, budaya,
dan agama telah mendorong tindakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme”. Sikap dan alasan yang dikemukakan atas pertanyaan tersebut adalah
sebagaimana digambarkan dalam grafik di bawah ini.
Grafik 4: Keanekaragaman
ideologi, politik, budaya, dan agama Telah Mendorong Tindakan
Ekstremisme, Radikalisme,
dan Terorisme
Dari grafik di atas diketahui bahwa sebanyak 32
persen responden setuju dengan pandangan bahwa keragaman itu dapat menimbulkan
ekstremisme, radialisme, dan terorisme.
Pilihan
responden di atas bisa dimengerti mengenai dampak dari suatu keberagaman sosial
budaya sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, realitas keberagaman
sosial budaya di Indonesia harus disikapi secara serius dan bijak agar menjadi
potensi produktif bagi pembangunan nasional ketimbang menjadi ancaman
disintegrasi.
Selain responden yang menyatakan
sikap setuju di atas, 15 persen menyatakan keragu-raguannya. Dalam hal ini responden tampaknya lebih melihat aspek-aspek
tertentu ketimbang latar sosial budaya secara umum, misalnya masalah sikap
mental seseorang, peran pemimpin dan aspek ideologi. Oleh karena itu pengenalan
kepada pribadi dan aspek mentalitas para pemimpin suatu gerakan, dan ideologi yang
dianutnya menjadi aspek penting untuk dikaji dalam upaya memahami
gerakan-gerakan Islam di Indonesia.
Responden yang terbanyak yaitu 50
persen memilih “tidak setuju” bahwa keragaman latar sosial dapat menimbulkan
ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Mereka mengemukakan alasan yang cukup
beragam mengenai pilihannya ini.
Secara
umum alasan yang dikemukakan mereka dapat disimpulkan bahwa agama itu bukan satu-satunya
penyebab timbulnya ekstremisme, radikalisme, apalagi terorisme. Agama Islam
merupakan rahmatan lil “alamin,
demikian halnya potensi sosial budaya bangsa Indonesia yang amat beragam tidak
mungkin menimbulkan ekstremisme, bahkan sebaliknya keragaman tersebut menjadi
modal utama untuk pengetahuan dan kemajuan.
C.
Tingkat Toleransi Masyarakat
1.
Penutupan Tempat
Hiburan di Bulan Ramadhan
Untuk
menggali sikap responden mengenai tempat hiburan, peneliti mengajukan pernyataan
mengenai: “Setujukan Anda dengan tindakan
masyarakat untuk penutupan tempat-tempat hiburan di Bulan Ramadhan?”.
Grafik 6: Sikap dan Pandangan Terhadap Penutupan Tempat Hiburan di Bulan Ramadhan
Atas pernyataan tersebut sebanyak
43 persen menyatakan persetujuannya.
Dari
alasan yang dikemukakan responden, dapat diketahui bahwa responden setuju
dengan penutupan tempat-tempat hiburan malam karena aspek kemadharatan yang
ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan di tempat seperti itu dan aspek penghormatan
terhadap bulan suci umat Islam.
Adapun
responden yang tidak menentukan sikap yang tegas mengenai penutupan tempat
hiburan di bulan Ramadhan, yaitu sejumlah 14 persen. Secara keseluruhannya
dapat dilihat bahwa mereka cukup toleran untuk membiarkan tempat terebut tetap
buka dengan memberi syarat-syarat atau dalam kondisi-kondisi tertentu
Responden yang menyatakan
ketidaksetujuan atas penutupan tempat hiburan malam di bulan Ramadhan.
Jumlahnya beda sedikit dengan kelompok yang setuju, yaitu 42 persen. Atas
pilihannya itu mereka menyampakan alasan-alasan karena cara-caranya yang
cenderung kasar dan memaksa. Sikap toleran tampak sangat jelas dari alasan yang
dikemukakan bahkan mereka memberi alternatif pemecahan yang lebih kongkrit,
misalnya pembinaan dan cara musyawarah. Cara-cara kasar tidak menyelesaikan masalah,
akan tetapi malahan menimbulkan masalah baru.
2.
Penutupan rumah makan di siang hari bulan puasa
Butir
pernyataannya yang diajukanmengenaimasalah ini adalah: “Himbauan penutupan rumah makan/warung nasi
di siang hari di bulan Puasa dapat dibenarkan.” Atas pernyataan ini maka diperoleh jawaban
seperti dilihat pada grafik ini.
Grafik
7: Sikap dan Pandangan Mengenai enutupan Rumah Makan di Siang Hari Bulan Ramadhan
Sebanyak 49 persen responden menyatakan setuju. Mereka memberi alasan
mengenai himbauan penutupan rumah makan di siang hari untuk menghormati dan bertoleransi terhdap orang yang berpuasa.
Aapun alasan orang yang
menyatakan keraguannya yang dikemukakan adalah bahwa belum tentu pembelinya itu
adalah umat Islam, tetapi bisa jadi orang yang berbeda agama. Begitu pula
halnya bisa saja orang yang makan itu orang yang memang tidak sedang berpuasa
atau sedang dalam musafir.
Yang
menyatakan tidak setuju jumlahnya mencapai 32 persen. Lebih kecil dibanding responden yang menyatakan
setuju ditutup. Mereka mengemukakan alasan yang cukup beragam dan argumentatif.
Sikap yang ditunjukkan oleh jawaban-jawaban di atas mengedepankan sikap toleran
responden terhadap orang yang berbeda agama dan yang sedang dalam kondisi
tertentu sehingga tidak mengharuskan ia berpuasa.
D.
Pandangan Responden
terhadap Gerakan Radikal
1.
ISIS (Islamic State
of Irak and Syiria)
Pertanyaan yang diajukan adalah:
“Bagaimana sikap anda terhadap
pengiriman orang-orang Indonesia untuk bergabung ke ISIS di Suriah-Irak atau
gerakan radikal lainnya di Timur Tengah?” Berikut adalah grafik sebaran sikap responden terhadap
pertanyaan di atas.
Grafik 8: Sikap dan Pandangan terhadap Pengiriman Warga RI Ke ISIS
Grafik di atas menggambarkan
bahwa sebagian besar bahkan hampir seluruhnya responden menyatakan ‘tidak setuju’.
Hal itu merupakan intervensi warga RI kepada urusan negara-negara yang sedang
berkonflik sedangkan pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan luar negeri
untuk bebas aktif dalam arti ikut berperan aktif dalam upaya menciptakan
perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Ada
juga yang menyatakan persetujuannya tetapi tidak dignifikan sama sekali.
Kesetujuannya tersebut menunjukkan alasan kemanusiaan dengan anggapan bahwa
mereka dikirim ke Suriah Irak untuk membantu penyelamatan para korban perang.
Pernyataannya tersebut tentunya didasarkan kepada pengetahuan atau pemahamannya
bahwa warga negara yang dikirim ke Suriah adalah untuk bantuan kemanusiaan
yaitu menolong para korban perang.
Sedangkan
yang bersikap netral ada 4 persen. Mereka memberikan alasannya bahwa hal itu
adalah hak untuk menentukan nasibnya, kesejahteraannya maupun alasan ekonomi di
balik keputusannya itu. Dan jika memang yang dilakukannya adalah jihad, maka
hal itu sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk melakukannya.
2.
Pembunuhan dan Aksi Bom Bunuh Diri Atas Nama Agama
Penelitian ini mengungkap pandangan responden mengenai aksi bom bunuh diri
yang pernah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Jawaban responden adalah
seperti yang tergambar pada grafik di bawah ini.
Grafik
9: Sikap dan Pandangan terhadap Aksi Bom Bunuh
Diri sebagai bentuk Jihad
Grafik di atas menggambarkan hampir seluruh
responden menyatakan ketidaksetujuannya atas aksi bom bunuh diri atas nama agama
Islam. Aksi bom bunuh diri hanya merugikan dirinya sendiri dan berdampak buruk
bagi citra umat Islam. Ajaran Islam mengedepankan perdamaian dan keselamatan.
3.
Tidakan Radikal
demi membela Agama
Pernyataan yang dikemukakan
adalah bahwa “Ajaran Islam
membolehkan tindakan kekerasan (radikal) demi membela ajaran Islam dari
ancaman-ancaman pihak luar Islam.” Atas pernyataan ini ada 30 persen responden menyatakan ‘setuju’.
Grafik 12: Sikap dan Pandangan terhadap Tindakan Radikal Demi Mempertahankan Ajaran
Islam
Grafik
di atas menunjukkan bahwa 30 persen responden setuju umat Islam melakukan
tindakan radikal demi mempertahankan agama Islam dengan alasan untuk membela agamanya.
Adapun
yang tidak setuju merupakan mayoritas, yaitu 63 persen dengan alasan bahwa
Islam tidak mengajarkan
kekerasan. Dalam al-Quran dinyatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama.”
Yang terakhir adalah yang
mengambil pilihan netral sebanyak 6 persen, mereka memberi alasan bahwa solidaritas boleh tapi jangan keterlaluan,
karena Islam itu amar maruf nahyi munkar.
4.
Perusakan Tempat Ibadah sebagai Aksi Radikalisme
Berikut
adalah gambaran mengenai sikap responden terhadap pernyataan: “Perusakan tempat
ibadah adalah tindakan terorisme”. Atas pernyataan ini responden memberikan
pernyataan sikapnya sebagaimana tergambar pada grafik di bawah ini.
Grafik 14: Perusakan Tempat Ibadah sebagai Tindakan
Terorisme
Dari
tabel di atas, tampak bahwa sebagian besar responden setuju bahwa perusakan
tempat ibadah termasuk tindakan terorisme. Menurut mereka, perusakan tempat
ibadah tidak diperbolehkan dalam Islam. Namun, ada pula yang menyatakan
keraguannya. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa ada aspek politik telah merusak
tatanan beragama
dalam kasus perusakan tempat ibadah.
E.
Tanggung Jawab Masyarakat terhadap Kasus Terorisme di
Indonesia
1.
Peran Tokoh
Agama
Penelitian mempertanyakan sikap
responden terhadap pernyataan bahwa “Tokoh agama bertanggung jawab atas
tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dan ekstrem di Indonesia.” Jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 11: Sikap dan Pandangan terhadap Tanggung Jawab Tokoh Agama atas Tumbuhnya Gerakan Radikal Terorisme
Sebagian
besar responden menyatakan setuju bahwa tokoh agama bertanggung jawab atas
tumbuhnya gerakan radikal agama di Indonesia. Sikap ini menunjukkan peran
penting tokoh agama dalam menyebarkan pemahaman Islam. Jelas bahwa tokoh agama
menjadi acuan umat dalam memahami ajaran Islam dan dipercaya telah memberikan
ajaran dan pemahaman yang benar tentang Islam.
Sebagian
dari responden juga menyatakan sikap netralnya bahwa hal ini bukan sepenuhnya
tanggung jawab para tokoh agama. Gerakan
radikal juga bisa bersifat positif, bisa bersifat
negatif.
Adapun yang mengatakan tidak
setuju sebanyak 26 persen dengan mengemukakan alasannya bahwa semua pihak bertangung jawab termasuk
masyarakat. Tindakan
radikalisme dan terorisme juga bukan karena
ustadz, tokoh, dan sebagainya, akan tetapi
lebih merupakan keputusan individual pelaku.
2.
Peran Perempuan
Mengenai
peran perempuan, peneliti mengajukan pernyataan negatif bahwa “Perempuan tidak bertanggung jawab langsung
atas kasus-kasus
terorisme karena semuanya
dilakukan oleh laki-laki.” Secara lebih rinci sebaran jawaban dapat dilihat pada
grafik.
Grafik
13: Perempuan Tidak Bertanggung Jawab Langsung atas Kasus-Kasus Radikalisme dan
Terorisme karena Dilakukan Laki-Laki.
Dari
tabel di atas tampak bahwa sebaran jawaban memusat di pernyataan tidak setuju.
Artinya bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama bertanggung jawab atau segala
kasus radikalisme dan terorisme. Lebih jauh lagi bahwa masyarakat secara
keseluruhannya ikut bertanggung jawab atas pembentukan karekter seseorang dalam
lingkungan masyarakatnya. Adapun alasan yang mereka kemukakan hanya alasan
untuk pilihan sikap tidak setuju, sementara yang setuju tidak memberi
penjelasan.
F.
Tanggung Jawab dan
Peran Insan Media dan Media Massa dalam Penyebaran dan Pencegahan Terorisme
1. Peran Media Masa dalam Penyebaran paham Radikal
Terorisme
Penelitian
ini menanyakan kepada responden mengenai peranan media massa dalam penyebaran
paham terorisme melalui pemberitaaan-pemberitaan yang dimuat di media massa.
Atas pertanyaan tersebut diperoleh jawaban sebagaimana digambarkan pada grafik
di bawah ini:
Grafik 15: Sikap dan Pandangan terhadap Peran Media Massa dalam Penyebaran Paham Terorisme
Grafik menunjukkan bahwa 49
persen responden setuju dengan pernyataan bahwa media massa secara tidak langsung telah ikut
menyebarkan paham radikalisme di Indonesia melalui pemberitaan-pemberitaan
tentang aksi-aksi radikalisme yang dipublikasikannya. Sejumlah responden juga
menyatakan keraguan atau sikap netralnya atas pertanyaan yang diajukan. Untuk
itu, mereka memberi alasan bahwa media adalah
pemberi informasi dan tergantung pembaca/pemirsa dalam menanggapi dan
menyikapinya.
Adapun responden yang menyatakan ketidaksetujuannya
menyampaikan alasan bahwa media itu menyampaikan kebenaran dengan mempublikasikan
kasus terorisme masyarakat menjadi tahu dan tidak akan bergabung dengan
teroris.
2.
Peran Media Massa
dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme
Pertanyaan
sebaliknya dari pertanyaan di atas diajukan untuk membandingkan peran media
massa sebagai penyebar dan pencegah merebaknya radikalisme dan terorisme.
Jawaban yang diperoleh dari responden menunjukkan jawaban positif bahwa ada
peranan yang dimainkan media massa dalam upaya pencegahan radikalisme dan
terorisme. Secara rinci jawaban tersebut dapat dilihat dari grafik di bawah
ini.
Grafik 15: Sikap dan Pandangan tentang Peran Media
Massa dalam Pencegahan Paham Terorisme
Jawaban di atas menjadi menarik jika dibandingkan
dengan grafik sebelumnya karena sama-sama setuju terhadap dua pernyataan yang
berbeda.
Dalam hal ini mereka mengajukan
alasannya bahwa media hanya
menyampaikan informasi, tapi tidak ikut turun dalam pencegahan faham
radikalisme. Menurut
kesan responden, media massa juga banyak melakukan
permainan dan sering melakukan kebohongan publik dengan berita-berita yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Terlebih pada masa sekarang, dengan semakin gencarnya
informasi melalui internet, tanggung jawab media massa semakin ditantang dalam
hal ini.
Dari kedua grafik di atas diketahui bahwa
responden menganggap atau berkeyakinan bahwa media massa memegang peran penting
baik dalam upaya penyebaran paham radikalisme dan terorisme maupun dalam upaya
pencegahan tindakan radikalisme dan terorisme.
G.
Kasus Penutupan Situs Radikalisme
Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai sikap
responden terhadap penutupan situs Islam radikal oleh pemerintah. Jawaban yang
diperoleh dari responden adalah sebagaimana yang dapat dilihat grafik di bawah
ini.
Grafik 5: Sikap Terhadap Penutupan Situs Radikalisme
oleh Pemerintah
Dari
tabel di atas tampak bahwa sebagian besar (76 persen) menyatakan kesetujuannya
dengan penutupan situs-situs yang mengarah kepada radikalisme. Responden melihat
bahwa situs radikal telah merusak
moral dan mental
rakyat, mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, dan merusak citra Islam.
Ada pula responden yang menyatakan sikap netralnya dan sikap tidak setuju
merupakan angka yang sangat kecil. Sikap netral tersebut disertai alasan-alasan
mengganggu hak individu dan hak kebebasan.
Penutupan
situs radikal di internet secara sepihak oleh pemerintah, dalam hal ini
Kemenkominfo, merupakan tindakan bertanggung jawab pemerintah untuk menciptakan
situasi kondusif bagi negara. Adapun implikasi dari kebijakan tersebut,
misalnya tertutupnya akses dakwah bagi kepentingan umat Islam perlu dicarikan
jalan keluar terbaik agar tidak menimbulkan interpretasi lebih jauh dari
kalangan umat Islam yang bisa kontraproduktif dengan tindakan penutupan
situs-situs tersebut.
H.
Bandung Barat Kabupaten Baru
dengan Problem Baru
Kabupaten Bandung
wilayah barat ini telah menjadi wilayah kristenisasi yang cukup masif. Basis
gerakan Kristenisasi tersebut adalah di wilayah Cisarua, kecamatan Lembang. Di
daerah ini sudah lama berdiri megah sebuah Universitas Advent Indonesia yang
menjadi pusat gerakan Kristenisasi.
Untuk
mencegah maraknya agama Kristen Advent di wilayah yang lebih luas di Kabupaten
Bandung Barat, maka Front pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia
menggalakkan program dakwah kepada masyarakat kabupaten Bandung Barat. Pada
saat penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Bandung Barat pada tanggal
15 November 2015, pada saat itu juga sedang berlangsung kegiatan yang dilakukan
pimpinan FPI, Habib Riziek yang diselenggarakan di Mesjid Agung Kabupaten
Bandung Barat.
Kehadiran Habib
Rizieq di Mesjid Agung Kabupaten Bandung Barat merupakan simbol kebangkitan
Islam untuk melawan pengaruh ideologi Advent yang sejak dahulu sangat
berpengaruh, terutama di wilayah-wilayah Cikole, Parongpong, dan Cimahi. Untuk
mempertahankan pengaruhnya penganut Kristen Advent berhasil memposisikan
seorang Kristen sebagai Komandan Kavaleri yang bermarkas di Parongpong. Selain FPI, hadir juga gerakan keagamaan lainnya
seperti Salafi, HTI, Jama’ah Tabligh, dan kelompok-kelompok harakah lainnya.
Melihat perkembangan gerakan
Kristenisasi di wilayah Bandung Barat, tampaknya dapat diduga bahwa hal itu
merupakan salah satu pemicu kehadiran gerakan-gerakan garis keras di Bandung
Barat. Di samping itu, di wilayah ini juga terdapat sebuah kuil besar Umat
Buddha yang juga menjadi pusat kegitan umat Budha di Bandung Barat.
Kristenisasi yang sangat massif di Bandung Barat, khususnya di beberapa desa
sekitar kecamatan Lembang. Ketika
gerakan NII berhasil dihentikan, malahan yang muncul sekarang adalah Kristenisasi
besar-besaran.
Dengan demikian dapat dimengerti
jika warga yang prihatin terhadap adanya Kristenisasi merindukan adanya respons dari
kalangan umat Islam untuk menghadapinya, dan itu biasanya ada pada
kelompok-kelompok harakah yang memiliki militansi tinggi untuk menyelamatkan
Islam dari segala bentuk ancaman, terutama dari orang-orang yang dianggapnya
kafir.
I.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Penelitian ini telah berusaha
untuk mengetahui gejala-gejala seperti di atas untuk lingkup Bandung Raya. Dalam
konteks gerakan radikal dan sikap intoleransi, Jawa Barat telah ditempatkan di
ranking pertama paling tidak toleran dan paling banyak terjadi
tindakan-tindakan radikal dengan mengatasnamakan agama. Hal tersebut didasarkan
kepada sejumlah peristiwa yang terjadi di Jawa Barat yang menunjukkan sikap
intoleran terhadap keberbedaan keyakinan atau agama masyarakat Jawa Barat yang
heterogen.
Untuk mengetahui itu perlu
melihat ke belakang mengenai latar gerakan keagamaan di Jawa Barat dan
khususnya wilayah Bandung Raya. Jawa Barat adalah tempat lahirnya gerakan
keagamaan yang berorientasi politik dengan tujuan mendirikan negara Islam yaitu
gerakan Darul Islam (DI). Selain itu, di Jawa Barat juga lahir dan berkembang
gerakan-gerakan keagamaan lingkup nasional, seperti PUI dan Persis, gerakan
keagamaan yang berbasis mesjid seperti Mesjid Salman ITB, dan beberapa lainnya
juga berkembang pesat seperti NU dan Muhammadiyah. Ormas dan gerakan-gerakan
tersebut telah menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi yang sangat dinamis
dalam hal gerakan keagamaan dan tidak didominasi oleh salah satu corak
pemikiran keagamaan tertentu.
Mengenai isu syari’at Islam,
sejumlah responden yang menyatakan persetujuan memberikan alasan-alasan yang
berkisar kepada dua faktor yakni faktor internal yaitu pemahaman mereka
mengenai kewajiban melaksanakan hukum atau syari’at Islam sehingga yang tidak
melaksanakan hukum Islam sebagaimana yang mereka pahami dianggap kafir.
Sedangkan faktor eksternalnya yaitu kekecewaan terhadap penegakan hukum, merebaknya
ketidakadilan di masyarakat, dominasi Barat dan non-Muslim terhadap umat Islam.
Isu kedua yang digali adalah
pandangan masyarakat mengenai kewajiban berdakwah mengajak orang lain ke dalam
agama Islam. Dalam hal ini responden juga sebagian menyatakan setuju asal tidak
dilakukan secara paksa dan sebagian menyatakan ragu dan tidak setuju. Hal-hal
yang berikaitan dengan penyebaran agama harus mempertimbangkan eksistensi
pemeluk agama lain dan harus saling menghormati keberadaan masing-masing.
Isu berikutnya adalah mengenai
gerakan transnasional ISIS dan aksi bunuh diri dan membunuh yang dilakukan oleh
kelompok gerakan radikal. Dalam hal ini hampir semua responden tidak setuju
terhadap pengiriman warga negara Indonesia ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Dalam upaya mencegah gerakan
radikal di Indonesia peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media massa dalam
pencegahan radikalisme dan terorisme amat penting dan strategis. Tokoh agama
danmasyarakat merupakan agents of social
change. Tugas mulia seorang guru, ustadz, kiai, tokoh perempuan adalah
menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat dan memelihara perdamaian dan
kehidupan yang tenang.
Sama halnya dengan peran
tokoh-tokoh perempuan, pendidik, dan tokoh pemuda. Semua mereka mempunyai
peluang untuk mempengaruhi kelompok binaannya. Kaum perempuan memiliki
kesempatan terbaik untuk mendidik anak-anaknya sejak lahir. Demikian halnya seorang
guru mempunyai peluang terbaik untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai kehidupan
yang terbaik bagi murid-muridnya di samping transformasi ilmu pengetahuan bagi
bekal mereka di masa depan.
Peran penting dan strategis dalam
pencegahan radikalisme dan terorisme juga dimainkan secara strategis oleh insan
media. Melalui pemberitaan yang dimuatnya seorang insan media berpengaruh
membentuk opini masyarakat pembaca sehingga mereka bisa melakukan
tindakan-tindakan sesuai dengan yang mereka pahami dari bacaan atau berita yang
mereka terima. Insan media bertanggung jawab atas pembentukan opini masyarakat
mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk mengenai isu-isu radikalisme dan
terorisme.
Tingkat toleransi masyarakat
terhadap keberbedaan juga cukup tinggi. Dengan kasus yang diangkat dalam
penelitian ini tentang penutupan tempat hiburan dan rumah makan di siang hari
bulan puasa, responden menunjukkan sikap toleran dan pengertiannya bagi kedua
belah pihak, umat Islam yang melaksanakan puasa dan pihak pengusaha yang juga
mempunyai kebutuhan untuk melanjutkan hidup.
Responden menunjukkan dukungannya
yang tinggi terhadap tindakan pemerintah menutup situs-situs yang menyebarkan
paham radikalisme. Situs-situs seperti itu tidak memberi manfaat apapun dan
tidak memperhatikan nilai-nilai pendidikan kecuali hanya menyebar kebencian,
isu-isu yang mengarah kepada perpecahan, dan klaim-klaim takfiri hanya karena adanya perbedaan pandangan tentang ajaran
agama.
Secara khusus penelitian ini juga
menyoroti dinamika Islam di Bandung Barat sebagai kabupaten baru.
Gerakan-gerakan keagamaan di Bandung Barat lebih banyak disebabkan oleh
maraknya Kristenisasi, khususnya Kristen Advent, sehingga direspon oleh
masyarakat dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dipelopori oleh
organisasi-organisasi garis keras untuk mengimbangi gerakan Kristenisasi di
beberapa daerah di Bandung Barat.
B.
Rekomendasi
Didasarkan kepada temuan-temuan
di lapangan, peneliti menyampaikan rekomendasi bagi agenda kegiatan pencegahan
dan deradikalisasi.
1.
Pelatihan-pelatihan pencegahan dan deradikalisasi kepada
berbagai komponen masyarakat harus terus menjadi agenda utama pemerintah.
2.
Sasaran pembinaan dan deradikalisasi adalah
generasi muda dari berbagai komponen masyarakat. Ormas-ormas kepemudaan yang
bernuansa atau berbasis agama, seperti kelompok remaja mesjid, kelompok studi
agama, yang anggota-anggota biasanya dari kalangan bukan pesantren adalah
sasaran empuk bagi persemaian radikalisme.
3.
Sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi umum perlu
mendapat perhatian karena lembaga ini menjadi lahan empuk bagi penyebaran paham
radikalisme yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang belum memadai di
kalangan siswa dan mahasiswa.
4.
Menghidupkan kembali kebijakan dan kearifan lokal dan
menghidupkan kembali kepedulian dan kewaspadaan terhadap berbagai potensi yang
mengganggu kehidupan dan ketentraman masyarakat.
5.
Kegiatan penelitian perlu terus menjadi agenda
pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini perkembangan mutakhir mengenai
potensi-potensi ekstremisme, radikalisme dan terorisme di daerah.
6.
Penelitian terhadap sumber-sumber bacaan di
lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren juga penting untuk dilakukan
untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuan yang dipelajari di berbagai lembaga
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aay
Muhammad Furkon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik
Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, (Bandung: Teraju, 2004).
Abdul Aziz Thaba, Islam dan
Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Abdul Aziz, Imam
Tolkhah, dan Soetarman. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Eds.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Afadlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005, hlm. 229.
Ahmad-Norma
Permata, “Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party
(PKS) in Indonesia,” ASIEN 109 (Oktober
2008), hlm. 24.
Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M.
Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
Andi Bahruddin Malik, Studi
Lektur Keagamaan pada Kelompok Keagamaan di ITB Bandung, dalam Tim
Puslitbang Lektur Keagamaan, Kajian Pemetaan Buku-buku Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat DEPAG, 2006.
B.J. Boland, The Struggle of
Islam in Modern Indonesia, (Leiden: KITLV, 1982), edisi Indonesia: Pergumulan
Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), terj.
Saafroedin Bahar.
C van Dijk, Rebellion under the
Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1981).
C.A.O. Van Nieuwenhujze, “The Dar
ul-Islam Movement in Western Java Till 1949,” Nieuwenhujze, Aspects of Islam
in Post-Colonial Indonesia, (The Hague dan Bandung: W. van Hoeve Ltd.,
1958),
Cornelis van Dijk, Under the Banner of Islam: The Darul Islam
in Indonesia. The Hague, Martinus Nijhoff, 1981.
Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2012.
Deliar Noer, Gerakan Moderen
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 95-96.
Deliar Noer, Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES 1980.
Dody S. Truna, “Islam and
Politics under the New Order Government in Indonesia 1966-1990, M.A. Thesis,
McGill University, 1992.
Dody Truna.
“Melacak Tradisi Pesantren di Jawa Barat.” (Paper) IAIN Bandung, 1996.
Dzulqarnain M. Sunusi, Antara Jihad dan
Terorisme, Pandangan Syar’i terhadap Terorisme, Kaidah-Kaidah Seputar Jihad,
Hukum Bom Bunuh Diri, dan Studi Ilmiah terhadap Buku Aku Melawan Teroris, Makassar:
Pustaka As-Sunnah, 2011.
Eko Prasetyo. Membela
Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global. Yogyakarta,
Insist Press: 2002.
Fathia
Lestari, Nunu A Hamijaya, Nunung Kaniawati. H.
UU Ruzhanul Ulum, SE: Cucu K.H. Choer Affandi-Bupati DI. Perjalanan Santri Menjadi
Bupati Tasikmalaya. Tasikmalaya: Pusbangter, 2014.
George Mc.T. Kahin, Nationalism
and Revolution in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1952)
Happy
Susanto, “Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama”
http://islamlib.com/
id/artikel/ menyoroti-fenomena-radikalisme-agama/
Harold Crouch. The
Army and Politics in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press
1988: 273.
Harun Nasution,
Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 124.
Harun Nasution, Teologi
Islam, Jakarta: UIP, 1995, hlm. 13.
Howard M. Federspiel, Persatuan
Islam: Islamic Reforms in Twentieth Century Indonesia, (Ithaca, New York:
Modern Indonesia Project, Cornell University), hal. 15.
Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam
Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia (Erlangga :
Jakarta, 2005).
International Crisis Group (ICG), Recycling
Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, Crisis
Group Asia Report, No. 92, (22 February 2005).
International Crisis Group (ICG), Recycling
Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, Crisis
Group Asia Report, No. 92, (22 February 2005).
Jimly Asshiddiqie,
dkk, Bang Imad: Pemikiran dan Gerakan
Dakwahnya, (Gema Insani Press, Jakarta, 2002), hlm. 20.
Karl D. Jackson, Traditional
Authority, Islam, and Rebellion, (Berkeley: University of California Press,
1980), Nazaruddin Sjamsuddin, The Republican Revolt: A Study of the Acehnese
Rebellion, (Singapura: ISEAS, 1985).
Khamami Zada, Islam Radikal
(Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
Khamami Zada. Islam
Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia.
Jakarta: Teraju: 2002.
Lihat Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara
Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo.
M. Dawam
Rahardjo, Pesantren dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1983.
M. Dawam
Rahardjo. Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa.
Bandung: Mizan, 1993.
M. Zaki
Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek
Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2008, hlm. 67 dan 69.
Martin van Bruinessen,
“Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia,” South East
Asia Research 10 no. 2 (2002).
Martin van Bruinessen,
“Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”.
Muhammad Asy’ary,
“The Rise of the Masjumi Party in Indonesia and the Role of the ‘Ulama’ in its
Early Development, M.A. Thesis, McGill University, 1976.
Muhammad Ihsan.
“Barat dan Islam Radikal” dalam Jurnal Akademika vol 12 Nomor 2, Maret
2003: 20-39.
Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi,
dan Pencarian Identitas, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008.
Nurhayati Djamas.
“Gerakan Kaum Muda Islam Mesjid Salman” dalam Abdul Aziz, Imam Tolkhah, dan
Soetarman. Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia. Eds. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989
Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, (Jakarta: Aryaguna,
1964), Hersri S. dan Joebaar Ajoeb, “S.M. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar
Jalan,” Prisma 5, Mei 1982.
Profil Selayang Pandang Jawa
Barat.
Qanun Asasi Persatuan Islam Bandung: Pimpinan Pusat
Persatuan Islam, 2013.
Riza Sihbudi, “Islam Radikalisme dan Demokrasi,”
dalam Rudhy Suharto (editor) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan
Demokrasi (Depok : Matapena, 2004), hlm. 74.
Saleh, Teologi Pembaruan,
catatan kaki 2, bab 3, hal. 151.
Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme dalam Tinjauan
Psikologi, Jakarta: Alvabet, 2012.
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan
Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 30-31.
Tempo (Edisi Khusus Hari Kemerdekaan), “Kartosoewirjo:
Mimpi Negara Islam,” 16-22 Agustus 2010;
Thohir Luth, M.Natsir, Dakwah
dan Pemikirannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Prof Dr.Hj. Nina H. Lubis Sejarah Perkembangan
Islam di Jawa Barat, dengan diberi beberapa tambahan dari sumber-sumber
lain.
Walter Reich, Origins of Terrorism, Psychologies,
Ideologies, Theologies, State of Mind. New York: Cambridge University
Press, 1990.
Nina H. Lubis dkk., Sejarah perkembangan Islam di
Jawa Barat, Laporan Penelitian, pustaka.unpad. ac.id/archives/ 128086/, hlm 316.
http://muijabar.wordpress.com/2012/06/04/sejarah-singkat-mui-jawa-barat/
Diskusi Hasil Survei Nasional
"Indeks Kerentanan Terhadap Radikalisme Sosial Keagamaan" , Jakarta
Media Centre, Jln. Kebon Sirih, Jakarta, Rabu
5-10-2011; lihat http://www.pikiran-rakyat.com/node/160872.
“Jawa Barat Paling Rawan Terorisme,” Tempo.co, 5 September 2013.
Metrotvnewas.com, 9 Mei 2013.
(VIVAnews.com, 15 Maret 2013)
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/17/078719560/ini-10-kota-paling-toleran-versi-setara-institute.
http://www.rappler.com/indonesia/113002-setara-institute-bogor-bekasi-kota-intoleran-indonesia
[1] Afadlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:
LIPI Press, 2005, hlm. 229.
[2] Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad, Islam, Militansi, dan Pencarian
Identitas, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008, hlm. 322-333.
[3] Dzulqarnain M. Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme, Pandangan
Syar’i terhadap Terorisme, Kaidah-Kaidah Seputar Jihad, Hukum Bom Bunuh Diri,
dan Studi Ilmiah terhadap Buku Aku Melawan Teroris, Makassar: Pustaka
As-Sunnah, 2011.
[4] Sukawarsini
Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan, dan
Keamanan Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm.
30-31.
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme dalam Tinjauan Psikologi, Jakarta:
Alvabet, 2012.
[6] Walter Reich, Origins of Terrorism, Psychologies, Ideologies,
Theologies, State of Mind. New York: Cambridge University Press, 1990.
[7] M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan
Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES, 2008, hlm. 67 dan 69.
[8] Happy Susanto, “Menyoroti Fenomena Radikalisme Agama”
http://islamlib.com/
id/artikel/menyoroti-fenomena-radikalisme-agama/
[9] Khamami Zada,
Islam Radikal (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 16.
[10] Lihat Riza
Sihbudi, “Islam Radikalisme dan Demokrasi,” dalam Rudhy Suharto (editor) Terorisme,
Perang Global dan Masa Depan Demokrasi (Depok : Matapena, 2004), hlm. 74.
[11] Untuk beberapa
sejarah Ormas Islam di Jawa Barat sebagian disadur dari Penelitian tentang Sejarah
Perkembangan Islam di Jawa Barat yang dilakukan oleh sebuah Tim yang
diketuai oleh Prof Dr.Hj. Nina H. Lubis, dengan diberi beberapa tambahan dari
sumber-sumber lain.
[12] Untuk profil S.M. Kartosoewirjo, lihat Pinardi, Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo, (Jakarta: Aryaguna, 1964), Hersri S. dan Joebaar
Ajoeb, “S.M. Kartosuwiryo, Orang Seiring Bertukar Jalan,” Prisma 5, Mei
1982. dan Al-Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia
S. M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999).
[13] DDII
didirikan pada tanggal 26 Februari 1967 oleh M. Natsir,
H.M. Rasyidi, H. Nawawi Daud, K.H, Taufiqurrahman, dan beberapa tokoh Islam lainnya.
Lihat Thohir Luth, M.Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Gema Insani
Press, Jakarta, 1999, hal. 55-57, Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru, Jakarta:Gema Insani Press, 1996, hal. 233.
[14]
Tentang biografi Imaduddin, lihat, Sosok dan Visi Seorang Mujahid,
dalam, Asshiddiqie,dkk, Bang Imad, hal.3-57.
[15] http://muijabar.wordpress.com/2012/06/04/sejarah-singkat-mui-jawa-barat/
[18]
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/17/078719560/ini-10-kota-paling-toleran-versi-setara-institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar