KRITIK NALAR ISLAM
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Masa renaisance pada abad pertengahan di Eropa
memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca
peristiwa tersebut, weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat
Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu
ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi agama “gereja” yang secara
otomatis mengubah weltanschauung mereka dari teosentris menjadi
antroposentris. Otoritas kini berada pada diri manusia, dominasi agama “wahyu”
berakhir dengan kemampuan akal manusia.
Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik
secara massif, membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru
yang disebut dengan modernitas.
Modernisasi yang sedang
berjalan di Eropa (Barat), berbanding terbalik dengan dunia Islam. Dunia Islam
di masa ini tengah mengalami kemunduran peradaban. Oleh karena itu, secara
tidak langsung moderenisasi Barat memberikan dampak hingga ke dunia Arab (Islam).
Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat
Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan dunia Islam
dalam bidang ilmu pengetahuan. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan
modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap
membuat beberapa kalangan “resah “dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar
ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang
dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden
age pada masa pemerintahan Islam, dunia Islam sulit untuk melupakan tradisi
dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan
beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Setidaknya terdapat
tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran
mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas: Pertama,
kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang
menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena
tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh
dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis,
Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain-lan. Kedua, kelompok
yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap
akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari
kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dan lain-lan. Ketiga,
kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia
Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali
kepada al-Quran dan Sunnah. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali,
Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain-lan.[1]
Beberapa tokoh di atas memang mendominasi tren pemikiran Islam baru sejarah pemikiran Islam. Berbagai tokoh dan pemikir muslim bermunculan menyuarakan bagaimana seyogyanya kebangkitan Islam dimulai. Mempertanyakan juga apa apa yang menjadi sebab kemunduran Islam, serta bagaimana semestinya kemajuan dan pembaharuan Islam itu dimulai. Mereka mempertanyakan kembali warisan kebudayaan dan intelektual Islam. Tampak dalam sederetan pemikir muslim kontemporer itu—untuk menyebut beberapa saja—Khalil Abdul Karim, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Khalid Abu el-Fadhl, Sayyid Qutub, Hasan Al-Bana, Muhammad Abduh dan sederetan pemikir muslim lainnya. Masing-masing dari mereka menawarkan gagasan atau pemikiran tentang pembaharuan Islam yang berbeda dan khas sesuai dengan disiplin keilmuan dan kecenderungannya.
Penelitian ini akan
menjelaskan secara spesifik model dan paradigma pemikiran Muhammad Arkoun dan
Muhammad Abid Al-Jabiri. Kekhasan pemikiran kedua tokoh ini, yakni Arkoun dan
Al-Jabiri terletak pada kritik epistemologi yang dilakukan terhadap bangunan
keilmuan dan pemikiran yang berkembang di tengah peradaban Arab-Islam. Kritik
epistemologi menjadi sebuah ranah baru ilmu pengetahuan (Islam) yang tidak
banyak diperhatikan oleh pemikir muslim khususnya. Lebih-lebih, epistemologi
sebagai bagian dari filsafat telah sejak lama dijauhkan dari peradaban keilmuan
dunia Islam; mempelajari filsafat sama saja dengan menceburkan diri pada jurang
kekafiran. Setidaknya, kritik epistemologi Arkoun dan Al-Jabiri ini, menawarkan
kepada dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah bangunan
nalar-epistemik pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan perubahan dunia
Islam menuju kemajuan peradaban.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan dua tokoh besar dalam pemikiran Islam yang
karya-karya dan gagasannya banyak di rujuk orang. Pada wilayah epistemologis,
kedua tokoh ini mencoba melahirkan proyek “kritik nalar” sebagai titik tolak
dalam membangun peradaban dan kejayaan Islam.
Dari rumusan masalah di atas maka penulis turunkan dalam beberapa
pertanyaan penelitian aidntaraya:
1. Bagaimana konsep kritik nalar yang dicetuskan
Muhammad Arkoun dan Muhammad Abed Al-Jabiri?
2. Bagaimana konsep kritik nalar yang dibangun Muhammad
Arkoun dan Al-Jabiri dalam membaca tradisi Islam?
3. Bagaimana kontruksi pemikiran kedua tokoh ini dalam
wacana pemikiran Islam.
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Tujuan penelitian ini
adalah untuk:
1. Untuk mengetahui konsep kritik nalar yang dibangun
Muhammad Arkoun dan Muhammad Abed Al-Jabiri
2. Untuk mengetahui sejauh mana konsep kritik nalar
yang dibangun Muhammad Arkoun dan Al-Jabiri dalam membaca tradisi Islam
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kontruksi
pemikiran kedua tokoh ini dalam wacana pemikiran Islam.
D.
MANFAAT
PENELITIAN
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis, maupun secara
praktis. Adapun manfaat penelitian dapat penulis kemukakan sebagi berikut:
1.
Secara teoritis, diharapkan
dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan
sejarah, serta sebagai masukan bagi kegiatan penelitian khususnya sejarah
kebudayaan.
2.
Secara praktis, diharapkan
sebagai masukkan bagi semua pihak yang berminat dalam ilmu sejarah budaya Islam
kontemporer):
a.
Membantu
akademisi dalam menghasilkan pengetahuan yang relevan terutama bagi dosen etika
dalam proses perkuliahan.
b.
Membantu dosen
dalam memperkaya referensi khususnya sejarah pemikiran dan peradaban Islam
modern.
c.
Membantu dosen
dan akademisi mengembangkan pengetahuan dalam melaksanakan pembelajaran dengan
metode mengenal pemikiran dan peradaban Islam Kontemporer.
[1] Aksin Wijaya, Menggugat
Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2004), h. 114-115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar