Kamis, 17 April 2014

KRITIK NALAR ISLAM


KRITIK NALAR ISLAM

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Masa renaisance  pada abad pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca peristiwa tersebut, weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi agama “gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari teosentris menjadi antroposentris. Otoritas kini berada pada diri manusia, dominasi agama “wahyu” berakhir dengan  kemampuan akal manusia. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massif, membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut dengan modernitas.
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa (Barat), berbanding terbalik dengan dunia Islam. Dunia Islam di masa ini tengah mengalami kemunduran peradaban. Oleh karena itu, secara tidak langsung moderenisasi Barat memberikan dampak hingga ke dunia Arab (Islam). Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan dunia Islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, dunia Islam sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas: Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain-lan. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dan lain-lan. Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain-lan.[1]

Beberapa tokoh di atas memang mendominasi tren pemikiran Islam baru sejarah pemikiran Islam. Berbagai tokoh dan pemikir muslim bermunculan menyuarakan bagaimana seyogyanya kebangkitan Islam dimulai. Mempertanyakan juga apa apa yang menjadi sebab kemunduran Islam, serta  bagaimana semestinya kemajuan dan pembaharuan Islam itu dimulai. Mereka mempertanyakan kembali warisan kebudayaan dan intelektual Islam. Tampak dalam sederetan pemikir muslim kontemporer itu—untuk menyebut beberapa saja—Khalil Abdul Karim, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Khalid Abu el-Fadhl, Sayyid Qutub, Hasan Al-Bana, Muhammad Abduh dan sederetan pemikir muslim lainnya. Masing-masing dari mereka menawarkan gagasan atau pemikiran tentang pembaharuan Islam yang berbeda dan khas sesuai dengan disiplin keilmuan dan kecenderungannya.
Penelitian ini akan menjelaskan secara spesifik model dan paradigma pemikiran Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid Al-Jabiri. Kekhasan pemikiran kedua tokoh ini, yakni Arkoun dan Al-Jabiri terletak pada kritik epistemologi yang dilakukan terhadap bangunan keilmuan dan pemikiran yang berkembang di tengah peradaban Arab-Islam. Kritik epistemologi menjadi sebuah ranah baru ilmu pengetahuan (Islam) yang tidak banyak diperhatikan oleh pemikir muslim khususnya. Lebih-lebih, epistemologi sebagai bagian dari filsafat telah sejak lama dijauhkan dari peradaban keilmuan dunia Islam; mempelajari filsafat sama saja dengan menceburkan diri pada jurang kekafiran. Setidaknya, kritik epistemologi Arkoun dan Al-Jabiri ini, menawarkan kepada dunia Islam sebuah upaya untuk merekonstruksi sebuah bangunan nalar-epistemik pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dan perubahan dunia Islam menuju kemajuan peradaban.

B.       PERUMUSAN MASALAH
Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan dua  tokoh besar dalam pemikiran Islam yang karya-karya dan gagasannya banyak di rujuk orang. Pada wilayah epistemologis, kedua tokoh ini mencoba melahirkan proyek “kritik nalar” sebagai titik tolak dalam membangun peradaban dan kejayaan Islam.
Dari rumusan masalah di atas maka penulis turunkan dalam beberapa pertanyaan penelitian aidntaraya:
1.      Bagaimana konsep kritik nalar yang dicetuskan Muhammad Arkoun dan Muhammad Abed Al-Jabiri?
2.      Bagaimana konsep kritik nalar yang dibangun Muhammad Arkoun dan Al-Jabiri dalam membaca tradisi Islam?
3.      Bagaimana kontruksi pemikiran kedua tokoh ini dalam wacana pemikiran Islam.

C.      TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1.      Untuk mengetahui konsep kritik nalar yang dibangun Muhammad Arkoun dan Muhammad Abed Al-Jabiri
2.      Untuk mengetahui sejauh mana konsep kritik nalar yang dibangun Muhammad Arkoun dan Al-Jabiri dalam membaca tradisi Islam
3.      Untuk mengetahui dan menganalisis kontruksi pemikiran kedua tokoh ini dalam wacana pemikiran Islam.

D.      MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis, maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian dapat penulis kemukakan sebagi berikut: 
1.         Secara teoritis, diharapkan dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan sejarah, serta sebagai masukan bagi kegiatan penelitian khususnya sejarah kebudayaan.
2.         Secara praktis, diharapkan sebagai masukkan bagi semua pihak yang berminat dalam ilmu sejarah budaya Islam kontemporer):
a.      Membantu akademisi dalam menghasilkan pengetahuan yang relevan terutama bagi dosen etika dalam proses perkuliahan.
b.         Membantu dosen dalam memperkaya referensi khususnya sejarah pemikiran dan peradaban Islam modern.
c.         Membantu dosen dan akademisi mengembangkan pengetahuan dalam melaksanakan pembelajaran dengan metode mengenal pemikiran dan peradaban Islam Kontemporer.


[1] Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. 114-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar