EKSISTENSI AGAMA DI ERA
MODERNITAS DAN POS-MODERNITAS
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Akhir dalam Mata
Kuliah Studi Naskah
Oleh:
MAMAN LUKMANUL HAKIM, M.AG.
NIM: 3 212 3 006
PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
EKSISTENSI AGAMA
DI ERA
MODERNITAS DAN POS-MODERNITAS
A.
PENDAHULUAN
Perkembangan
sejarah keagamaan manusia, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dan
peradaban manusia. Keduanya berkembang seiring dengan perkembangan manusia.
Dalam sejarah manusia agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan.
Corak agama suatu kelompok manusia bahkan menentukan sejauh mana peradaban itu
dicapai manusia.
Mulai dari
peradaban ”kuno” sampai peradaban kontemporer seperti sekarang ini, agama
ternyata masih tetap eksis. Beberapa pendapat antropolog dan ahli agama seperti
EB Tailor berpendapat bahwa agama ada karena mengisi ruang kosong yang ada
dalam peradaban tertentu. Agama berkembang terbalik dengan perkembangan akal
dan peradaban manusia. Makin rasional manusia maka makin longgarlah pengaruh
agama, bahkan pada satu titik agama sudah tidak diperlukan lagi. Akan tetapi
tesis tersebut sampai hari ini belum terbukti, disemua peradaban dan kebudayaan
manusia, ternyata agama selalu mengembil peran. Tentunya dengan karakter,
bentuk dan modelnya tersendiri. Peradaban-peradaban besar yang dibangun manusia
mulai dari Mesir Kuno, Yunani, Timur, dan Barat peran dan sumbangsih ”agama” cukup besar dalam membangun peradaban
tersebut.
Sering
berkembangnya peradaban manusia, ternyata agama masih bisa kuat eksis dengan
terus-menerus memperbaharui bentuknya yang sesuai dengan ruh zamannya. Dengan
demikian agama, masih ”diminati” oleh manusia disetiap zamannya, tentu dengan
peran dan fungsinya tersendiri. Agama hadir mengisi ruang kosong yang
ditinggalkan peradaban manusia.
Dalam tulisan ini,
penulis mencoba untuk melihat bentuk/ model agama pada dua era tersebut yakni
modern dan post-modern. Selumnya, penulis mencoba memaparkan lebih jauh terkait
dua model peradaban manusia, yakni modern dan post-modern. Kedua paradigma
tersebut mempengaruhi eksistensi dan model keberagamaan manusia.
B.
MODERENITAS
1.
Perkembangan
Moderenitas
Istilah modern
berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5
M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme
Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa
istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era
Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan
modernisme. Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan
simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah ini.
Secara
sederhana, modenenitas merujuk pada ide atau gagasan yang muncul setelah abad
Pertengahan. Istilah ini terkait dengan
peralihan dari pandangan tradisional ke pandangan dan cara bertindak yang baru.
Periode ini disebut sebagai zaman “pencerahan”. Moderenitas hadir sebagai
bentuk baru yang menggantikan masa lalu. Kehadirannya merupakan upaya untuk
memecahkan kebuntuan yang dialami masa lalu (abad pertengahan). Di tempat lain,
moderenitas hadir menggantikan periode jauh sebelumnya yakni “jaman kuno”
(klasik). Dalam istilah latin adalah “modernus” yang oleh St. Agustinus
diartikan sebagai “dewasa sebelum waktunya”. Yang lainnya menekankan pada
pemulihan teks-teks klasik dan munculnya isu humanisme yang terjadi dizaman
Renaisance. Secara umum, gerakan Pencerahan di abad ke-18 diidentifikasi
sebagai titik balik gerakan modern. Term “modern” akhir-akhir ini sering
dikaitkan dengan pujian yang mengacu pada tindakan inovatif, prograsif dan up
to date (lihat, Luckas tahun 1970).
Istilah modernitas
diartikan sebagai kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan
adanya perubahan paradigma yang dilakukan dengan jalan pintas, dari bentuk lama
ke bentuk baru. Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini
dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru dengan jasa
Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Modernitas inilah merujuk
Calinescu yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan mendasar
dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (Smart,
1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal baru lantaran ia
menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, politik
serta seni.
Dari sisi
kesejarahan, semangat dan jiwa modernisme bisa ditelusuri semenjak era
Renaisans pada abad ke-16 M dan era
Pencerahan pada abad ke-18 M. Dalam buku A Study of History (1947)
Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, menyatakan bahwa awal Era Modern
dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M
di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan
teknologi penguasaan samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua
fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik tolak kedewasaan
manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari
doktrin-doktrin teologis.
Pendapat lain
dikemukakan Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme. Ia menyatakan
bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan berkembang
dalam tiga fase sejarah modernisme yakni:
Fase pertama, adalah
modernisme yang berkembang sejak awal abad ke-16 M sampai akhir abad ke-18 M.
Modernisme pada tahap ini ditandai oleh penggunaan rasio/ akal manusia secara
maksimal, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata, mulai memudarnya
pengaruh agama dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan
kreatif dalam dunia seni. Fase kedua, modernisme yang ditandai
dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang
seringkali dihubungkan dengan momentum Gelombang Revolusi Besar 1790. Dan
fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai ketika terjadi proses
globalisasi dan pembentukan kebudayaan dunia modern secara massal. Inilah
puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan impian
menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan
berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia (Smart, 1990: 16).
Modernitas lahir
bersamaan dengan menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M; dominasi
kapitalisme Eropa Utara, khususnya di Inggris dan Belanda; pengakuan dan
penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton; institusionalisasi
keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep
keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum; serta pembentukan konsep
negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner,1990: 6-10).
Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara massif, pemutusan
hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang
mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama
Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru Modernisme (Turner, 1990: 4).
2.
Beberapa
Peristilahan dalam Term Modern
a.
Moderenisasi
Modernisasi
berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang
digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern. Modernisasi mencakup
proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa lampau dan sejarah
purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan
dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru. Dengan demikian, modernisasi
adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini, yakni
pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini.
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai
tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi
administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197).
Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi
ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep
negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang
tinggi,sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia (Turner,
1990: 137).
b.
Modernisme
Sementara itu
modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia
mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi
perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap
mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia
sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan
Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis
(Featherstone, 1988: 202). Dalam konteks ini, modernisme dianggap bermula pada
akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123). Modernisme merupakan keyakinan yang
cenderung mensubordinasikan yang tradisional di bawah yang baru. Dalam
wilayah seni, ia merupakan tindak diferensiasi terhadap dunia nyata yang
bersifat non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis
tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi
konservatif manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru
menyelamatkan yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal
manakala proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan
penghapusan yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam
lapangan agama.
Sementara
modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan, terutama
seni.Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16
ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan
(Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai
(Wertrationalitat).
Jochen
schulte-sasse mengungkapkan bahwa modernisme dapat dilihat sebagai endapan budaya
modernitas (Schulte-Sasse 1986: 24). Modernisme menjelma
pada tingkat keyakinan, ide, sikap dan cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk fisik
merujuk dalam bentuk, ekonomi, dan perubahan sosial, seperti
industrialisasi dan urbanism, yang melambangkan proses modernisasi. Tentu saja
kasus dapat dibuat untuk mengklaim bahwa modernitas modernisme dan � � � dipandang
sebagai suatu ideologi � berbagi such features sebagai penekanan pada criticai
diri-kesadaran dan reflexivity. Hal ini lebih seperti hal biasa untuk
modernisme terbaik ragu menuju � modernitas � dan seperti yang lebih umum menentang itu, seperti modernisme yang
dipandang sebagai membawa ke depan para romantics � disenchantment
dengan rasionalisme dan empirisisme dari pencerahan. Ironisnya, kemudian, dapat
dijadikan modernisme antitesis modernitas. Adalah rebelliously anti-bourgeois,
modernisme anti-rational, dan anti-scientific, sehingga kehidupan kontemporer
intelektual dipandang sebagai melibatkan benturan � dua budaya
Merujuk Max Weber,
sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara mendalam, karakter pertama
rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian perhitungan yang masuk akal
untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan
sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi
yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara
konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak
formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak
mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter
kedua rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis,
estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan
komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun,
diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas dunia
modern adalah rasionalitas tujuan.
C.
POST MODERNITAS
1.
Pengertian
Post-Modernitas
Post moderenisme pertama
kali digunakan pada wilayah seni sekitar akhir abad ke 19 dan abad awal 20.
Istilah ini merujuk pada gerakan baru yang membebeskan diri dari orde
lama. Dari wilayah seni dan arsitektur
inilah kemudian post modernisme berkembang pesat pada wilayah lain termasuk
filsafat. Secara umum, istilah post-moderenisme sering di lawankan dengan
moderenisme. Berlawanana dengan narasi besar (moderenisme), ia lahir di daerah
pinggiran, bukan di pusat kebudayaan baik Eropa maupun Amerika, tetapi dari
daerah pinggiran seperti Amerika Latin sekitar tahun 1930-an (Ferry Anderson
2008: 2). Fedrico de Onis yang
pertama-tama meperkenalkan istilah Posmoderenismo. Ia memakainya untuk
menggambarkan gerakan kembali ke konserfatif dari moderenisme itu sendiri.
Istilah
postmodernisme juga sering dirujuk pada berbagai fenomena masyarakat
kontemporer sebagai masyarakat post-industri (post-industrial society),
masyarakat komputer (computer society), masyarakat konsumer (consumer
society), masyarakat media (media society), masyarakat tontonan (spectacle
society) atau masyarakat tanda (semiurgy society). Sementara itu ada
beberapa pandangan mengenai post modernisme yakni: Pertama, postmodernisme
sebagai bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen
Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua). Kedua, postmodernisme
sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme
(misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Sedangkan ketiga, Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism
and Social Sciences (1992), membedakan postmodernisme menjadi dua bentuk.
a. Postmodernisme sebagai paradigma
pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek
ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka
berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama (misalnya
Lyotard, Derrida, Foucault).
b. Postmodernisme sebagai metode analisis
kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan
sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer (misalnya
Rortry dan Baudrillard).
Sedangkan , Frederic Jameson menyatakan
bahwa postmodernisme tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme
lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late
Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi
kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang
telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan
kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri
manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan
jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja,
kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme
yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme
yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem
terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan
keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami
diversifikasi begitu jauh.
Dengan
perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan
multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka
whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh
subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan,
larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah
dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk memahami postmodernisme secara
mendasar terutama pada dataran ontologis dan epistemologis adalah
mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara
postmodernisme dalam wilayah filsafat.
2.
Perkembangan Post
Modernisme
Diskursus
kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi sosio-kultural-filosofisnya justru
dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek
modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini dengan keyakinan
akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak,
keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata
pengetahuan dan sistem produksi yang keras saat ini tengah menghadapi
ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Postmodernisme
mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi
modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis
itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat
dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx
tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi
Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village
dan medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas
kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya
dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan
postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta
didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang
saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang
tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan
sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas
masyarakat dewasa ini.
Lebih lanjut
Baudrillard menyatakan kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri
menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental
culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat
postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam
budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu
merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua,
kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang
petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message),
fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system
of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika
(aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan
postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan
pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara
tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis
karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas,
dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan
lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya
(fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya
massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang
bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan
peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan
peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Dengan upaya ini,
Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama,
keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya
sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua,
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh
rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan
diperhatikan.
D.
AGAMA DI ERA
MODEREN DAN POST MODERN
Akbar S. Ahmed,
dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter
sosiologis postmodernisme. Pertama, timbulnya pemberontakan secara
kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang
bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme
kebenaran. Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah
merupakan perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi
ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa
menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama
dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala
orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang
dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan
menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya kecenderungan
baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme
dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban
area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area)
sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara
maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam,
semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas
untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain,
era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh,
munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai
diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang
sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya
tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan
makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4)
Kehadiran
post-modernisme secara umum menolak meta-narasi (narasi-narasi besar), yang
dibangun moderenisme, termasuk agama. Istilah ini pertama kali diungkapkan
Lyotard untuk merujuk pada sikap keraguan seseorang terhadap agama-agama besar
yang menjadi meta naratif (Lyotard 1984: xxip). Meta narasi yang dibangun
agama-agama besar seperti Keristen, Islam, Budha dan Yahudi dianggap tidak
mempu memberikan solusi. Akhirnya menusia kembali pada inti agama yakni
keyakinan pada “Tuhan” yang bersifat individu. Fenomena ini menggambarkan
ambruknya iman dan religiusitas agama.
Agama
dalam Pandangan Postmodernisme
Perubahan
pemikiran keagamaan yang mencolok dari era sebelum modernisme hingga
postmodernisme nampak terjainya perubahan konsep Tuhan yang sangat drastis.
Munculnya postmodernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika
obyektif dengan sistem baru, tapi juga mengesampingkan doktrin keagamaan yang
berdasarkan pada metafisika. Pandangan para postmodernis tentang agama
tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai. Doktrin yang dipergunakan
para pemikir postmodernisme untuk menggugat agama adalah konsep tentang nilai.
Fenomena
tersebut seolah memberikan ruang untuk melawan ideologi-ideologi sekuler sebagai
produk moderenisme yang masuk pada wilayah agama. Sekularisme membangun tata
nilainya sendiri termasuk nilai-nilai agama banyak dipengaruhi oleh ideologi
sekuler yang dibawa moderenisme. Paradigma Post-moderenisme lahir untuk melawan
ideologi sekuler, tetapi juga tidak untuk mengukuhkan nilai agama tradisional
yang absolut. Postmo melahirkan skeptisisme dalam berbagai bidang termasuk
kebenaran agama.
Post
moderenisme mengadopsi sikap skeptisisme yang bertentangan dengan dengan
moderenisme yang membawa kepastian nilai. Postmoderenisme meragukan segala
bentuk keyakinan agama yang baku,
baginya, kebenaran (termasuk agama) dapat
berkembang. Hal sebada diungkapkan sosiolog Zygmunt Bauman menyatakan
bahwa postmodern telah mengembalikan pandangan dunia yang telah diambil oleh
moderenitas, ia berusaha keras untuk mengambalikannya (Bauman 1992: x). Dengan
demikian Postmoderenitas menolak semua bentuk klaim kebenaran absolut termasuk
kebenaran agama.
Keterasingan
yang dialami agama-agama tradisional terus terjadi hingga masuk pada zaman baru
postmodern. Postmodern seolah memberikan angin segar bagi bangkitnya
kepercayaan-kepercayaan (agama) tradisional, sehingga zaman in juga disebut
dengan zaman spiritualitas baru, ia mendapatkan tempatnya yang sudah direnggut
oleh agama besar. Keterasingan tertsebut kemudian melahirkan label yang
bersipat kontemporer (post) seperti post-kristianity, yang telah digambarkan
oleh para teolog Inggris. Hal ini menggambarkan sensabilitas (agama) modern
telah pindah pada model iman yang lebih individual (lihat Cupitt 1998).
Paul
Heelas sebagai sarjana agama dari Inggris memberikan gambaran dari brbagai
tanggapan tetang era baru ini yakni:
Disintegrasi yang dialami
kristianitas sebagai akibat dari modernitas telah telah melahirkan situasi
dimana agama sebagai bentuk spiritualitas baru berkembang pesat. Di satu pihak
dampak dari modernisme dalam agama Kristiani melahirkan polarisasi yang berakar
dari pramoderenisme. Sedangkan dilain pihak postmoderenisme melahirkan
conter-conter yang beras terhadap moderenisme yang melahirkan romantisisme. Dan ada pihak yang mencoba untuk
memadukan agama dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari
moderenitas dan kapitalisme (Heelas 1998: 1)
Diantara
beberapa alternatif yang dipaparkan Heelas, disarankan bahwa postmoderen adalah
gerakan kembali pada pra modern, kembali pada agama tradisional yang datang
dari masa lalu. Hal ini secara tidak langsung dilihat sebagai konsekwensi logis
dari gerakan menolak moderenismedan kembali pada pandangan abad Pertengahan.
Dari sini kemudian postmoderenisme mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan yang
mengutuk spiritualitas manusia modern yang dualistik dan supra naturalistik.
Postmoderenitas adalah gerakan kembali pada spiritualitas yang menggabungkan
unsur-unsur spiritualitas pra modern (Griffin 1988: 2)
Program
postmodernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan
penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan
merduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai sesuatu yang
absolut oleh agama dan masyarakat. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang
dihadapi dalam pengalaman di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu
penafsiran dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan
nilai-nilai subyektif dalam diri individu. Karena kecenderungan untuk selalu
menafsirkan itulah maka bagi kaum postmodernisme, dunia yang dapat diketahui
hanyalah dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi.
Ernest
Gellner dalam bukunya Menolak Posmodernisme: Antara Fundameltalisme Rasinalisme
dan Fundamentalisme Religius menyatakan bahwa atmosfir pemikiran postmodernisme
dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan
materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu
difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang
realitas obyektif harus dicurigai”. Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam
diskursus para pemikir postmodernisme dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan
segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika
adalah “nabinya”.
Dalam
kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa
postmodernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan
peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab
pikiran postmodernisme berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu
yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai
totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta. Singkatnya,
postmodernisme melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan rujukan segala
bentuk nilai sebagai fondasinya.
Nilai
baru yang diperkenalkan postmodernisme adalah nilai yang memiliki hubungan
dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena memilki status
yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai
adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan
peradaban lain. Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan
postmodernisme adalah agama yang telah diputuskan dari status terdahulunya
sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya sekarang telah
berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep
Tuhan dan karena itu Posmodernisme menjadi eteistik. Pendekatan ini akan
menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini
dipegang oleh masyarakat beragama.
BSA MINTA DAFTAR PUSTAKANYA GK?
BalasHapus