Senin, 25 Februari 2013

AGAMA DAN MODERNITAS



EKSISTENSI AGAMA DI ERA
MODERNITAS DAN POS-MODERNITAS



MAKALAH


Untuk Memenuhi Tugas Akhir dalam Mata Kuliah Studi Naskah


uin final.jpg















Oleh:
MAMAN LUKMANUL HAKIM, M.AG.
NIM: 3 212 3 006


PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013




EKSISTENSI AGAMA DI ERA
MODERNITAS DAN POS-MODERNITAS

A.     PENDAHULUAN
Perkembangan sejarah keagamaan manusia, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Keduanya berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Dalam sejarah manusia agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Corak agama suatu kelompok manusia bahkan menentukan sejauh mana peradaban itu dicapai manusia.
Mulai dari peradaban ”kuno” sampai peradaban kontemporer seperti sekarang ini, agama ternyata masih tetap eksis. Beberapa pendapat antropolog dan ahli agama seperti EB Tailor berpendapat bahwa agama ada karena mengisi ruang kosong yang ada dalam peradaban tertentu. Agama berkembang terbalik dengan perkembangan akal dan peradaban manusia. Makin rasional manusia maka makin longgarlah pengaruh agama, bahkan pada satu titik agama sudah tidak diperlukan lagi. Akan tetapi tesis tersebut sampai hari ini belum terbukti, disemua peradaban dan kebudayaan manusia, ternyata agama selalu mengembil peran. Tentunya dengan karakter, bentuk dan modelnya tersendiri. Peradaban-peradaban besar yang dibangun manusia mulai dari Mesir Kuno, Yunani, Timur, dan Barat peran dan sumbangsih  ”agama” cukup besar dalam membangun peradaban tersebut.
Sering berkembangnya peradaban manusia, ternyata agama masih bisa kuat eksis dengan terus-menerus memperbaharui bentuknya yang sesuai dengan ruh zamannya. Dengan demikian agama, masih ”diminati” oleh manusia disetiap zamannya, tentu dengan peran dan fungsinya tersendiri. Agama hadir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan peradaban manusia.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk melihat bentuk/ model agama pada dua era tersebut yakni modern dan post-modern. Selumnya, penulis mencoba memaparkan lebih jauh terkait dua model peradaban manusia, yakni modern dan post-modern. Kedua paradigma tersebut mempengaruhi eksistensi dan model keberagamaan manusia.

B.     MODERENITAS
1.       Perkembangan Moderenitas
Istilah modern berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan pada abad ke-5 M untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart, 1990: 15). Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme. Dalam penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi pengertian diantara berbagai istilah ini.
Secara sederhana, modenenitas merujuk pada ide atau gagasan yang muncul setelah abad Pertengahan.  Istilah ini terkait dengan peralihan dari pandangan tradisional ke pandangan dan cara bertindak yang baru. Periode ini disebut sebagai  zaman  “pencerahan”. Moderenitas hadir sebagai bentuk baru yang menggantikan masa lalu. Kehadirannya merupakan upaya untuk memecahkan kebuntuan yang dialami masa lalu (abad pertengahan). Di tempat lain, moderenitas hadir menggantikan periode jauh sebelumnya yakni “jaman kuno” (klasik). Dalam istilah latin adalah “modernus” yang oleh St. Agustinus diartikan sebagai “dewasa sebelum waktunya”. Yang lainnya menekankan pada pemulihan teks-teks klasik dan munculnya isu humanisme yang terjadi dizaman Renaisance. Secara umum, gerakan Pencerahan di abad ke-18 diidentifikasi sebagai titik balik gerakan modern. Term “modern” akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan pujian yang mengacu pada tindakan inovatif, prograsif dan up to date (lihat, Luckas tahun 1970).
Istilah modernitas diartikan sebagai kondisi sosial budaya masyarakat modern. Ia juga menyiratkan adanya perubahan paradigma yang dilakukan dengan jalan pintas, dari bentuk lama ke bentuk baru. Istilah ini sekaligus menggambarkan hubungan antara masa kini dan masa silam yang tampil dalam bentuknya yang baru  dengan jasa Renaisans abad ke-16 M dan Pencerahan abad ke-18 M. Modernitas inilah merujuk Calinescu  yang merupakan era yang lebih dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (Smart, 1990: 16). Modernitas sekaligus juga menjadi titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, politik serta seni.
Dari sisi kesejarahan, semangat dan jiwa modernisme bisa ditelusuri semenjak era Renaisans pada abad ke-16 M dan  era Pencerahan pada abad ke-18 M. Dalam buku A Study of History (1947) Arnold Toynbee, seorang filsuf sejarawan, menyatakan bahwa awal Era Modern dalam sejarah kebudayaan masyarakat Barat terjadi pada paruh kedua abad ke-15 M di daratan Eropa, dimana saat itu muncul fenomena pharisaisme budaya dan teknologi penguasaan samudera secara ekstensif (Smart, 1990: 16). Kedua fenomena sejarah tersebut, menurut Toynbee, merupakan titik tolak kedewasaan manusia untuk mulai berani menguasai alam dan melepaskan diri dari doktrin-doktrin teologis.
Pendapat lain dikemukakan Marshall Berman, dalam kajiannya tentang modernisme. Ia menyatakan bahwa era modern telah dimulai sejak era Renaisans abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah modernisme yakni:
Fase pertama, adalah modernisme yang berkembang sejak awal abad ke-16 M sampai akhir abad ke-18 M. Modernisme pada tahap ini ditandai oleh penggunaan rasio/ akal manusia secara maksimal, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata,  mulai memudarnya pengaruh agama dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase kedua, modernisme yang ditandai dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan dengan momentum Gelombang Revolusi Besar 1790. Dan fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai ketika terjadi proses globalisasi dan pembentukan kebudayaan dunia modern secara massal. Inilah puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan berbagai masalah besar yang menyengsarakan umat manusia (Smart, 1990: 16).
Modernitas lahir bersamaan dengan menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M; dominasi kapitalisme Eropa Utara,  khususnya di Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton; institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum; serta pembentukan konsep negara-bangsa (nation-state) abad ke-19 M (Turner,1990: 6-10). Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial budaya secara massif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain, modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru Modernisme (Turner, 1990: 4).

2.      Beberapa Peristilahan dalam Term Modern
a.      Moderenisasi           
Modernisasi berarti proses berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang digerakkan oleh semangat rasionalitas instrumental modern. Modernisasi mencakup proses pengucilan karya-karya klasik, warisan masa lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal baru. Dengan demikian, modernisasi adalah pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini, yakni pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini. Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988: 197). Kembali merujuk Berman, realitas modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini memiliki beberapa komponen utama, yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi,sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia (Turner, 1990: 137).

b.      Modernisme           
Sementara itu modernisme umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan, khususnya seni. Ia mengacu pada gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap mewakili gerakan modernisme misalnya adalah Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra; Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik; Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam seni lukis (Featherstone, 1988: 202). Dalam konteks ini, modernisme dianggap bermula pada akhir abad ke-19 M (Lash, 1990: 123). Modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan  yang tradisional di bawah yang baru. Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990: 124). Akibat praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif dan radikal. Modernisme menjadi konservatif manakala proses subordinasi yang lama di bawah yang baru justru menyelamatkan yang lama dari kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang tradisional. Modernisme konservatif seringkali terdapat dalam lapangan agama.
Sementara modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah kebudayaan, terutama seni.Rasionalitas modernisme yang berkembang semenjak era Renaisans abad ke-16 ini memiliki dua karakter mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan (Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas nilai (Wertrationalitat).
Jochen schulte-sasse mengungkapkan bahwa modernisme dapat dilihat sebagai endapan budaya modernitas (Schulte-Sasse 1986: 24). Modernisme menjelma pada tingkat keyakinan, ide, sikap dan cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk fisik merujuk dalam bentuk, ekonomi, dan perubahan sosial, seperti industrialisasi dan urbanism, yang melambangkan proses modernisasi. Tentu saja kasus dapat dibuat untuk mengklaim bahwa modernitas modernisme dan dipandang sebagai suatu ideologi berbagi such features sebagai penekanan pada criticai diri-kesadaran dan reflexivity. Hal ini lebih seperti hal biasa untuk modernisme terbaik ragu menuju modernitas dan seperti yang lebih umum menentang itu, seperti modernisme yang dipandang sebagai membawa ke depan para romantics disenchantment dengan rasionalisme dan empirisisme dari pencerahan. Ironisnya, kemudian, dapat dijadikan modernisme antitesis modernitas. Adalah rebelliously anti-bourgeois, modernisme anti-rational, dan anti-scientific, sehingga kehidupan kontemporer intelektual dipandang sebagai melibatkan benturan dua budaya
Merujuk Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme secara mendalam, karakter pertama rasionalitas modernisme mengacu pada pengertian perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi yang terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut. Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Namun, diantara kedua bentuk rasionalitas ini yang sangat dominan dalam realitas dunia modern adalah rasionalitas tujuan.

C.     POST MODERNITAS
1.       Pengertian Post-Modernitas
Post moderenisme pertama kali digunakan pada wilayah seni sekitar akhir abad ke 19 dan abad awal 20. Istilah ini merujuk pada gerakan baru yang membebeskan diri dari orde lama.  Dari wilayah seni dan arsitektur inilah kemudian post modernisme berkembang pesat pada wilayah lain termasuk filsafat. Secara umum, istilah post-moderenisme sering di lawankan dengan moderenisme. Berlawanana dengan narasi besar (moderenisme), ia lahir di daerah pinggiran, bukan di pusat kebudayaan baik Eropa maupun Amerika, tetapi dari daerah pinggiran seperti Amerika Latin sekitar tahun 1930-an (Ferry Anderson 2008: 2).  Fedrico de Onis yang pertama-tama meperkenalkan istilah Posmoderenismo. Ia memakainya untuk menggambarkan gerakan kembali ke konserfatif dari moderenisme itu sendiri.  
Istilah postmodernisme juga sering dirujuk pada berbagai fenomena masyarakat kontemporer sebagai masyarakat post-industri (post-industrial society), masyarakat komputer (computer society), masyarakat konsumer (consumer society), masyarakat media (media society), masyarakat tontonan (spectacle society) atau masyarakat tanda (semiurgy society). Sementara itu ada beberapa pandangan mengenai post modernisme yakni: Pertama, postmodernisme sebagai bagian dari proyek modernisme yang belum usai (misalnya Juergen Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua). Kedua, postmodernisme sebagai penolakan radikal terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault). Sedangkan ketiga, Pauline M. Rosenau, dalam bukunya Postmodernism and Social Sciences (1992), membedakan postmodernisme menjadi dua bentuk.
a.      Postmodernisme sebagai paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran, postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi, epistemologi serta aksiologi. Ketiga aspek dasar ini menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut postmodernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault).
b.      Postmodernisme sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry dan Baudrillard).
Sedangkan , Frederic Jameson menyatakan bahwa postmodernisme tak lain adalah konsekuensi logis perkembangan kapitalisme lanjut. Melalui tulisannya Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism (1989), Jameson meyakinkan resiko tak terelakkan dari dominasi kapitalisme lanjut yang telah menyempurnakan dirinya, yakni kapitalisme yang telah berubah watak karena telah banyak belajar dari berbagai rongrongan dan kritik. Kapitalisme yang titik beratnya bergeser dari industri manufaktur ke industri jasa dan informasi. Kapitalisme yang, demi kepentingan jangka panjang, secara cerdas mengakomodasikan tuntutan serikat pekerja, kelangsungan hidup lingkungan, dan daya kreatif/kritis konsumen. Kapitalisme yang mengintegrasikan banyak unsur sosialisme ke dalam dirinya. Kapitalisme yang bekerja dengan prinsip desentralisasi dan deregulasi karena sistem terpusat tak sigap menghadapi perubahan cepat. Kapitalisme yang tidak menawarkan keseragaman gaya/citra kultural karena pasar dan tenaga kerja telah mengalami diversifikasi begitu jauh.
Dengan perkembangan kapitalisme lanjut yang tampil dengan kehadiran perusahaan multinasional, jaringan informasi global dan teknologi telekomunikasi, maka whole new type of society pun lahir. Inilah masyarakat yang dihuni oleh subjek-subjek dengan ciri-ciri terbelah, kehilangan rantai hubungan pemaknaan, larut dalam citra-citra dan imaji serta gagal memahami latar belakang sejarah dirinya sendiri (Turner, 1990: 170). Namun untuk memahami postmodernisme secara mendasar  terutama pada dataran ontologis dan epistemologis  adalah mutlak untuk mengetahui asumsi-asumsi dasar serta argumentasi para penyuara postmodernisme dalam wilayah filsafat.

2.      Perkembangan Post Modernisme
Diskursus kebudayaan postmodern mendapatkan legitimasi sosio-kultural-filosofisnya justru dari kegamangan era modern dalam menuntaskan proyek Pencerahan. Proyek modernisme yang dihidupi oleh semangat Pencerahan ini  dengan keyakinan akan prinsip kemajuan sejarah yang linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, keampuhan rekayasa bagi suatu masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan tata pengetahuan dan sistem produksi yang keras  saat ini tengah menghadapi ujian besar dengan menyebarnya berbagai patologi modernitas.
Postmodernisme mencoba mempertanyakan kembali posisi, batas dan implikasi asumsi-asumsi modernisme yang kini telah menjelma menjadi mitos baru. Dalam kerangka kritis itulah Jean Baudrillard mencoba membaca realitas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Dengan mengadopsi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Karl Marx tentang nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), semiologi Roland Barthes, society of spectacle Guy Debord, serta konsep global village dan medium is message Marshal McLuhan, Baudrillard menyatakan bahwa realitas kebudayaan dewasa ini menunjukkan adanya karakter khas yang membedakannya dengan realitas kebudayaan modern masyarakat Barat. Inilah kebudayaan postmodern yang memiliki ciri-ciri hiperrealitas, simulacra dan simulasi, serta didominasi oleh nilai-tanda dan nilai-simbol. Inilah wacana kebudayaan yang saat ini menghidupi dan sekaligus kita hidupi, sebagai sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Wacana kebudayaan inilah yang menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain realitas masyarakat dewasa ini.
Lebih lanjut Baudrillard menyatakan  kebudayaan postmodern memiliki beberapa ciri menonjol. Pertama, kebudayaan postmodern adalah kebudayaan uang, excremental culture. Uang mendapatkan peran yang sangat penting dalam masyarakat postmodern. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, fungsi dan makna uang dalam budaya postmodern tidaklah sekedar sebagai alat-tukar, melainkan lebih dari itu merupakan simbol, tanda dan motif utama berlangsungnya kebudayaan. Kedua, kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda (signifier) ketimbang petanda (signified), media (medium) ketimbang pesan (message), fiksi (fiction) ketimbang fakta (fact), sistem tanda (system of signs) ketimbang sistem objek (system of objects), serta estetika (aesthetic) ketimbang etika (ethic). Ketiga, kebudayaan postmodern adalah sebuah dunia simulasi, yakni dunia yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi maupun reproduksi secara tumpang tindih dan berjalin kelindan. Keempat, sebagai konsekuensi logis karakter simulasi, budaya postmodern ditandai dengan sifat hiperrealitas, dimana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama, dan lebih jauh lagi realitas semu (citra) mengalahkan realitas yang sesungguhnya (fakta). Kelima, kebudayaan postmodern ditandai dengan meledaknya budaya massa, budaya populer serta budaya media massa. Kapitalisme lanjut yang bergandengan tangan dengan pesatnya perkembangan teknologi, telah memberikan peranan penting kepada pasar dan konsumen sebagai institusi kekuasaan baru menggantikan peran negara, militer dan parlemen (Harvey, 1989: 102).
Dengan upaya ini, Foucault memberikan dua sumbangan besar terhadap postmodernisme. Pertama, keberhasilannya menyingkap mitos-mitos modernisme yang menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolut, yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang selama ini ditindas oleh rasionalitas modern, tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dan diperhatikan.

D.    AGAMA DI ERA MODEREN DAN POST MODERN
Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4)
Kehadiran post-modernisme secara umum menolak meta-narasi (narasi-narasi besar), yang dibangun moderenisme, termasuk agama. Istilah ini pertama kali diungkapkan Lyotard untuk merujuk pada sikap keraguan seseorang terhadap agama-agama besar yang menjadi meta naratif (Lyotard 1984: xxip). Meta narasi yang dibangun agama-agama besar seperti Keristen, Islam, Budha dan Yahudi dianggap tidak mempu memberikan solusi. Akhirnya menusia kembali pada inti agama yakni keyakinan pada “Tuhan” yang bersifat individu. Fenomena ini menggambarkan ambruknya iman dan religiusitas agama.


Agama dalam Pandangan Postmodernisme
Perubahan pemikiran keagamaan yang mencolok dari era sebelum modernisme hingga postmodernisme nampak terjainya perubahan konsep Tuhan yang sangat drastis. Munculnya postmodernisme tidak hanya ditandai oleh penghapusan metafisika obyektif dengan sistem baru, tapi juga mengesampingkan doktrin keagamaan yang berdasarkan pada metafisika. Pandangan para postmodernis tentang agama tercermin dari doktrin-doktrin mereka tentang nilai. Doktrin yang dipergunakan para pemikir postmodernisme untuk menggugat agama adalah konsep tentang nilai.
Fenomena tersebut seolah memberikan ruang untuk melawan ideologi-ideologi sekuler sebagai produk moderenisme yang masuk pada wilayah agama. Sekularisme membangun tata nilainya sendiri termasuk nilai-nilai agama banyak dipengaruhi oleh ideologi sekuler yang dibawa moderenisme. Paradigma Post-moderenisme lahir untuk melawan ideologi sekuler, tetapi juga tidak untuk mengukuhkan nilai agama tradisional yang absolut. Postmo melahirkan skeptisisme dalam berbagai bidang termasuk kebenaran agama.
Post moderenisme mengadopsi sikap skeptisisme yang bertentangan dengan dengan moderenisme yang membawa kepastian nilai. Postmoderenisme meragukan segala bentuk keyakinan agama  yang baku, baginya, kebenaran (termasuk agama) dapat  berkembang. Hal sebada diungkapkan sosiolog Zygmunt Bauman menyatakan bahwa postmodern telah mengembalikan pandangan dunia yang telah diambil oleh moderenitas, ia berusaha keras untuk mengambalikannya (Bauman 1992: x). Dengan demikian Postmoderenitas menolak semua bentuk klaim kebenaran absolut termasuk kebenaran agama.
Keterasingan yang dialami agama-agama tradisional terus terjadi hingga masuk pada zaman baru postmodern. Postmodern seolah memberikan angin segar bagi bangkitnya kepercayaan-kepercayaan (agama) tradisional, sehingga zaman in juga disebut dengan zaman spiritualitas baru, ia mendapatkan tempatnya yang sudah direnggut oleh agama besar. Keterasingan tertsebut kemudian melahirkan label yang bersipat kontemporer (post) seperti post-kristianity, yang telah digambarkan oleh para teolog Inggris. Hal ini menggambarkan sensabilitas (agama) modern telah pindah pada model iman yang lebih individual (lihat Cupitt 1998).
Paul Heelas sebagai sarjana agama dari Inggris memberikan gambaran dari brbagai tanggapan tetang era baru ini yakni:
            Disintegrasi yang dialami kristianitas sebagai akibat dari modernitas telah telah melahirkan situasi dimana agama sebagai bentuk spiritualitas baru berkembang pesat. Di satu pihak dampak dari modernisme dalam agama Kristiani melahirkan polarisasi yang berakar dari pramoderenisme. Sedangkan dilain pihak postmoderenisme melahirkan conter-conter yang beras terhadap moderenisme yang melahirkan romantisisme.            Dan ada pihak yang mencoba untuk memadukan agama dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari moderenitas dan kapitalisme (Heelas 1998: 1)

Diantara beberapa alternatif yang dipaparkan Heelas, disarankan bahwa postmoderen adalah gerakan kembali pada pra modern, kembali pada agama tradisional yang datang dari masa lalu. Hal ini secara tidak langsung dilihat sebagai konsekwensi logis dari gerakan menolak moderenismedan kembali pada pandangan abad Pertengahan. Dari sini kemudian postmoderenisme mendeklarasikan dirinya sebagai gerakan yang mengutuk spiritualitas manusia modern yang dualistik dan supra naturalistik. Postmoderenitas adalah gerakan kembali pada spiritualitas yang menggabungkan unsur-unsur spiritualitas pra modern (Griffin 1988: 2) 
Program postmodernisme adalah penghapusan nilai (dissolution of value) dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan merduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai sesuatu yang absolut oleh agama dan masyarakat. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang dihadapi dalam pengalaman di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subyektif dalam diri individu. Karena kecenderungan untuk selalu menafsirkan itulah maka bagi kaum postmodernisme, dunia yang dapat diketahui hanyalah dunia yang berbeda-beda atau dunia interpretasi.
Ernest Gellner dalam bukunya Menolak Posmodernisme: Antara Fundameltalisme Rasinalisme dan Fundamentalisme Religius menyatakan bahwa atmosfir pemikiran postmodernisme dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang berupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesuatu difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai”. Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir postmodernisme dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah “nabinya”.
Dalam kondisi yang seperti ini, Gellner bahkan sampai pada kesimpulan bahwa postmodernisme cenderung memihak kepada relativisme dan bahkan menunjukkan peperangan terhadap ide kebenaran yang ekslusif, obyektif dan transenden. Sebab pikiran postmodernisme berpegang pada pendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang internal dan subyektif sifatnya, sedangkan dunia ini bukan sebagai totalitas dari sesuatu, tapi sebagai totalitas fakta. Singkatnya, postmodernisme melebur nilai tertinggi, menyingkirkan Tuhan rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya.
Nilai baru yang diperkenalkan postmodernisme adalah nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena memilki status yang sama dalam wajah yang universal. Oleh sebab itu bentuk segala macam nilai adalah nilai yang layak untuk saling tukar menukar antara satu peradaban dengan peradaban lain. Jadi gambaran yang menonjol tentang agama dalam pandangan postmodernisme adalah agama yang telah diputuskan dari status terdahulunya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia. Pendekatannya sekarang telah berubah menjadi konsep akal yang dipisahkan dari konsep kepercayaan atau konsep Tuhan dan karena itu Posmodernisme menjadi eteistik. Pendekatan ini akan menggoyang konsep kepercayaan, keberagamaan, dan kebenaran yang selama ini dipegang oleh masyarakat beragama.
 

1 komentar: